Hypeprofil Penulis Skenario Lele Laila: Mengetengahkan Narasi Perempuan di Perfilman Indonesia
21 April 2025 |
15:00 WIB
Nama Laila Nurazizah atau yang karib disapa Lele Laila kian bersinar sebagai salah satu penulis skenario paling produktif dan berpengaruh dalam perfilman Indonesia. Dengan gaya penuturan yang tajam dan emosional, naskah-naskah skenarionya selalu mampu relevan dengan zeitgeist masyarakat.
Perempuan asal Jawa Barat ini telah melahirkan berbagai film yang sukses besar di layar lebar. Rentang genre yang ditanganinya pun luas, mulai drama romansa yang menyentuh hingga thriller psikologis dan horor yang mengguncang jiwa.
Baca juga: Menilik Proses Kreatif Lele Laila Menulis Naskah Film Wanita Ahli Neraka
Berbagai capaian menarik telah diperolehnya. Salah satu karya terbarunya adalah Pabrik Gula, hasil kolaborasi dengan sutradara Awi Suryadi. Naskah film yang digarap olehnya ini telah meraih 4,6 juta penonton. Angkanya yang masih bisa terus bertambah mengingat filmnya masih tayang di bioskop.
Sebelumnya, dia juga terlibat dalam Badarawuhi di Desa Penari yang berhasil menyedot 4 juta penonton. Namanya tercatat pula sebagai penulis naskah KKN di Desa Penari, film dengan rekor tertinggi dalam sejarah perfilman Indonesia, dengan torehan 10 juta penonton.
Beberapa karyanya yang lain juga patut diapresiasi, seperti Danur: I Can See Ghosts, Adriana, Sanubari Jakarta, Asih, Ivanna, Qorin, Sijjin, hingga Pemandi Jenazah.
Bukan hanya dikenal sebagai penulis pencetak box office, Lele juga dikenal sebagai sosok idealis yang memperjuangkan naskah-naskah dengan ruang eksplorasi isu perempuan. Dirinya kerap menempatkan tokoh perempuan sebagai pusat cerita, dengan gambaran karakter yang kuat, mandiri, dan punya kendali atas pilihannya sendiri.
Lele menekankan bahwa menjadi penulis perempuan baginya selalu membawa tanggung jawab untuk menyuarakan isu-isu perempuan secara autentik dan berdaya. Oleh karena itu, dia selalu berusaha menempatkan posisi perempuan tak sekadar pelengkap, tetapi juga bagian penting dalam cerita.
Misalnya, dalam film horor, kerap kali dijumpai perempuan hanya ditempatkan sebagai sosok hantu atau korban belaka. Dirinya mengkritisi narasi horor Indonesia yang kerap menggambarkan perempuan hanya bisa bersuara setelah mati.
Atas alasan itulah, di film-filmnya, dirinya selalu mencoba menjadikan perempuan sebagai tokoh utama yang aktif, punya pilihan, dan mampu menggerakkan cerita. Menurutnya, memang perlu ada porsi yang lebih adil.
“Hal ini jadi tantangan sendiri bagi saya untuk mendobrak cara bertutur dan bercerita agar tak menjadikan perempuan hanya sebelah mata,” ungkap Lele.
Lele yang memulai karier pada usia 21 tahun bahkan mengawalinya dengan menggarap film Sanubari Jakarta, sebuah antologi sepuluh film pendek tentang kisah cinta. Namun, tak dapat dielakan juga, dalam beberapa tahun terakhir, wajah horor Tanah Air semakin kerap diselingi oleh goresan pena Lele.
“Sepertinya memang beberapa tahun terakhir saya cukup berjodoh dengan genre ini, lama-lama ya dinikmati saja setiap kesempatan di depan mata. Tapi pasti pengen nulis drama lagi! Tunggu saja semoga semesta kasih kesempatannya! Amin,” imbuhnya.
Lele mengakui bahwa pada awalnya ia tidak secara khusus mengejar genre horor. Namun, aliran proyek yang datang dan keberhasilannya dalam menghidupkan ketegangan serta emosi dalam cerita mendorongnya terus terlibat dalam film-film menyeramkan.
Beberapa karyanya bahkan menjadi bagian dari deretan film horor lokal yang sukses secara komersial maupun kritik. Hal ini membuat banyak cerita horor mendekat padanya untuk mendapatkan tangan dingin kreativitasnya.
Meski kini namanya identik dengan horor, Lele tetap menyimpan kerinduan untuk kembali menyentuh genre yang lebih personal dan emosional. Sebagai penulis yang terus bereksplorasi, Lele Laila menyebut bahwa keahlian meramu cerita tidak harus terjebak dalam satu genre.
Sebab, dengan semangat dan fleksibilitasnya, apa pun genre yang dikerjakannya, penonton bisa menantikan hasil karya yang autentik dan menggugah.
Lele Laila mengatakan tak ada ramuan pasti yang membuatnya bisa sampai di posisi ini. Namun, dirinya mengingat masa kecil jadi satu hal yang cukup berpengaruh. Lele bercerita bahwa sejak kecil dirinya sudah dekat dengan dunia cerita.
Sebab, sang ibu sering mengajaknya ke toko buku. Dirinya mengingat-ingat, kadang hanya membaca di tempat, meminjam dari perpustakaan, atau bahkan mengoleksi buku di rumah. Dari kebiasaan membaca itulah, Lele mulai gemar mengarang cerita.
"Dulu kalau aku punya cerita, mama suka kirim [tulisan] ke majalah kayak Bobo," kenangnya.
Apresiasi yang dirinya terima dari cerita-cerita pendek itu membuatnya makin semangat. Namun, Lele baru benar-benar jatuh cinta pada dunia film dan skenario sejak duduk di bangku SMP, lalu fokus mendalaminya di SMA lewat ekskul film di SMA 34 Jakarta.
Dalam proses menulis, Lele terbiasa mengawalinya dengan terlebih dahulu melakukan riset mendalam. Mulai dari membaca buku terkait, menonton film, bahkan berjalan kaki atau lari pagi sebagai cara untuk mencari inspirasi.
"Mengajar dan mengulang materi skenario bersama mahasiswa pun menjadi bagian dari proses kreatifku," pungkasnya.
Baca juga: Cara Laila Nurazizah Mengolah Rasa Takut Saat Garap Naskah Film Badarawuhi
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Perempuan asal Jawa Barat ini telah melahirkan berbagai film yang sukses besar di layar lebar. Rentang genre yang ditanganinya pun luas, mulai drama romansa yang menyentuh hingga thriller psikologis dan horor yang mengguncang jiwa.
Baca juga: Menilik Proses Kreatif Lele Laila Menulis Naskah Film Wanita Ahli Neraka
Berbagai capaian menarik telah diperolehnya. Salah satu karya terbarunya adalah Pabrik Gula, hasil kolaborasi dengan sutradara Awi Suryadi. Naskah film yang digarap olehnya ini telah meraih 4,6 juta penonton. Angkanya yang masih bisa terus bertambah mengingat filmnya masih tayang di bioskop.
Sebelumnya, dia juga terlibat dalam Badarawuhi di Desa Penari yang berhasil menyedot 4 juta penonton. Namanya tercatat pula sebagai penulis naskah KKN di Desa Penari, film dengan rekor tertinggi dalam sejarah perfilman Indonesia, dengan torehan 10 juta penonton.
Beberapa karyanya yang lain juga patut diapresiasi, seperti Danur: I Can See Ghosts, Adriana, Sanubari Jakarta, Asih, Ivanna, Qorin, Sijjin, hingga Pemandi Jenazah.
Penulis skenario Laila Nurazizah atau Lele Laila (Sumber gambar: Visinema Pictures)
Bukan hanya dikenal sebagai penulis pencetak box office, Lele juga dikenal sebagai sosok idealis yang memperjuangkan naskah-naskah dengan ruang eksplorasi isu perempuan. Dirinya kerap menempatkan tokoh perempuan sebagai pusat cerita, dengan gambaran karakter yang kuat, mandiri, dan punya kendali atas pilihannya sendiri.
Lele menekankan bahwa menjadi penulis perempuan baginya selalu membawa tanggung jawab untuk menyuarakan isu-isu perempuan secara autentik dan berdaya. Oleh karena itu, dia selalu berusaha menempatkan posisi perempuan tak sekadar pelengkap, tetapi juga bagian penting dalam cerita.
Misalnya, dalam film horor, kerap kali dijumpai perempuan hanya ditempatkan sebagai sosok hantu atau korban belaka. Dirinya mengkritisi narasi horor Indonesia yang kerap menggambarkan perempuan hanya bisa bersuara setelah mati.
Atas alasan itulah, di film-filmnya, dirinya selalu mencoba menjadikan perempuan sebagai tokoh utama yang aktif, punya pilihan, dan mampu menggerakkan cerita. Menurutnya, memang perlu ada porsi yang lebih adil.
“Hal ini jadi tantangan sendiri bagi saya untuk mendobrak cara bertutur dan bercerita agar tak menjadikan perempuan hanya sebelah mata,” ungkap Lele.
Penulis Horor yang Rindu Genre Drama
Lele mengatakan sedari awal terjun ke dunia penulisan skenario, dirinya memang tak membeda-bedakan genre. Sebagai penulis, gaya kepenulisannya mesti versatile dan bisa masuk ke berbagai jenis genre dan penceritaan.Lele yang memulai karier pada usia 21 tahun bahkan mengawalinya dengan menggarap film Sanubari Jakarta, sebuah antologi sepuluh film pendek tentang kisah cinta. Namun, tak dapat dielakan juga, dalam beberapa tahun terakhir, wajah horor Tanah Air semakin kerap diselingi oleh goresan pena Lele.
“Sepertinya memang beberapa tahun terakhir saya cukup berjodoh dengan genre ini, lama-lama ya dinikmati saja setiap kesempatan di depan mata. Tapi pasti pengen nulis drama lagi! Tunggu saja semoga semesta kasih kesempatannya! Amin,” imbuhnya.
Lele mengakui bahwa pada awalnya ia tidak secara khusus mengejar genre horor. Namun, aliran proyek yang datang dan keberhasilannya dalam menghidupkan ketegangan serta emosi dalam cerita mendorongnya terus terlibat dalam film-film menyeramkan.
Penulis skenario film Laila Nurazizah (Sumber gambar: Instagram/lelelaila/armanfebryan)
Beberapa karyanya bahkan menjadi bagian dari deretan film horor lokal yang sukses secara komersial maupun kritik. Hal ini membuat banyak cerita horor mendekat padanya untuk mendapatkan tangan dingin kreativitasnya.
Meski kini namanya identik dengan horor, Lele tetap menyimpan kerinduan untuk kembali menyentuh genre yang lebih personal dan emosional. Sebagai penulis yang terus bereksplorasi, Lele Laila menyebut bahwa keahlian meramu cerita tidak harus terjebak dalam satu genre.
Sebab, dengan semangat dan fleksibilitasnya, apa pun genre yang dikerjakannya, penonton bisa menantikan hasil karya yang autentik dan menggugah.
Lele Laila mengatakan tak ada ramuan pasti yang membuatnya bisa sampai di posisi ini. Namun, dirinya mengingat masa kecil jadi satu hal yang cukup berpengaruh. Lele bercerita bahwa sejak kecil dirinya sudah dekat dengan dunia cerita.
Sebab, sang ibu sering mengajaknya ke toko buku. Dirinya mengingat-ingat, kadang hanya membaca di tempat, meminjam dari perpustakaan, atau bahkan mengoleksi buku di rumah. Dari kebiasaan membaca itulah, Lele mulai gemar mengarang cerita.
"Dulu kalau aku punya cerita, mama suka kirim [tulisan] ke majalah kayak Bobo," kenangnya.
Apresiasi yang dirinya terima dari cerita-cerita pendek itu membuatnya makin semangat. Namun, Lele baru benar-benar jatuh cinta pada dunia film dan skenario sejak duduk di bangku SMP, lalu fokus mendalaminya di SMA lewat ekskul film di SMA 34 Jakarta.
Dalam proses menulis, Lele terbiasa mengawalinya dengan terlebih dahulu melakukan riset mendalam. Mulai dari membaca buku terkait, menonton film, bahkan berjalan kaki atau lari pagi sebagai cara untuk mencari inspirasi.
"Mengajar dan mengulang materi skenario bersama mahasiswa pun menjadi bagian dari proses kreatifku," pungkasnya.
Baca juga: Cara Laila Nurazizah Mengolah Rasa Takut Saat Garap Naskah Film Badarawuhi
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.