Hanung Bramantyo: Industri Film Indonesia Kehilangan Peran Distributor
28 March 2025 |
17:30 WIB
Industri film Indonesia sedang berada pada fase yang menggembirakan. Berbagai film lokal berhasil mencatat rekor penonton hingga menembus festival internasional. Akan tetapi, di balik pencapaian ini, ada satu kepingan yang hilang dalam ekosistem perfilman Indonesia, yakni peran distributor.
Secara umum, distributor bertanggung jawab atas pemasaran, penjadwalan rilis, serta negosiasi dengan bioskop agar film bisa mendapatkan layar yang maksimal. Mereka juga membantu dalam strategi promosi, memastikan film menjangkau target pasar yang tepat, serta menangani aspek administratif seperti pembagian keuntungan.
Namun, dalam dekade terakhir, peran distributor makin hilang dalam ekosistem film Indonesia. Banyak rumah produksi melewati peran distributor dan langsung berkomunikasi dengan bioskop. Ini terjadi karena beberapa faktor.
Baca juga: Sineas Aline Jusria: Jam Kerja Sehat di Industri Film Itu Bisa Dicapai
Salah satunya karena Jaringan bioskop besar seperti XXI, CGV, dan Cinepolis memiliki sistem distribusi sendiri yang memungkinkan PH bernegosiasi langsung tanpa perantara. Dengan melewati distributor, PH juga bisa mengurangi biaya pembagian keuntungan, sehingga profit yang diterima bisa lebih besar.
PH juga dapat mengendalikan strategi promosi dan distribusi sesuai dengan visi mereka tanpa harus mengikuti kebijakan distributor. Namun, di balik hal tersebut, distributor sebenarnya tetaplah memiliki peran penting, terutama untuk film-film independen atau yang membutuhkan jaringan lebih luas.
Sutradara sekaligus pemilik PH Dapur Film, Hanung Bramantyo, mengatakan distributor punya peran penting dalam industri film. Mereka bertugas membeli sebuah film sebelum tayang dan hadir di bioskop.
Di negara-negara dengan industri film yang mapan, seperti Amerika Serikat dan Korea Selatan, proses pembuatan film memang dibagi menjadi dua peran besar. Pertama adalah rumah produksi atau produser yang bertanggung jawab atas produksi sebuah film. Kedua adalah distributor yang mengelola aspek pemasaran, penjualan, dan penempatan film di bioskop maupun platform digital.
Peran ini punya fungsi yang krusial karena menjadi garis api antara urusan kreativitas dan bisnis. Dengan kehadiran stakeholder distributor, sebuah PH bisa lebih fokus pada kreativitas, produksi, skenario, artistik, dan penceritaan, tanpa terbebani oleh tugas pemasaran dan distribusi.
Namun, di Indonesia, rumah produksi harus menjalankan dua peran sekaligus: mereka tidak hanya memproduksi film, tetapi juga bertanggung jawab atas distribusinya.
Akibatnya, beban kerja rumah produksi menjadi sangat berat. Alih-alih fokus pada penciptaan karya berkualitas, mereka harus memikirkan strategi pemasaran, jaringan bioskop, hingga bagaimana film dapat menjangkau penonton yang lebih luas.
“Masalahnya, sekarang ini produksi film per tahun makin bertambah. Sementara asupan etalase kita atau bioskop kita itu masih terbatas. Dari jumlah yang terbatas itu kan masih dibagi lagi, ada film Hollywood, ada non-Hollywood, ada film Indonesia,” ungkap Hanung kepada Hypeabis.id.
Menurut Hanung, situasi ini membuat film cukup menumpuk di bioskop. Persaingan untuk menentukan tanggal tayang pun menjadi lebih kompetitif. Saat ini, per minggu saja ada 4-5 film baru muncul.
Dalam konteks ini, rumah produksi baru pun menjadi cukup menantang saat akan mendistribusikan filmnya ke bioskop. Terlebih, jika rumah produksi itu tidak memiliki produser atau sutradara yang memang punya nama atau relasi yang baik dengan bioskop sebelumnya.
Hanung menyatakan bahwa tanpa adanya distributor, rumah produksi kini harus menangani sendiri aspek distribusi dan pemasaran film mereka. Akibatnya, PH dengan jaringan luas dan modal besar lebih diuntungkan dibandingkan PH kecil yang belum memiliki akses kuat ke jaringan bioskop.
Situasi ini secara tidak langsung menciptakan kesenjangan yang cukup signifikan. Hanung menilai bahwa ekosistem industri film saat ini masih belum berjalan dengan sempurna, dan kondisi yang terjadi bukanlah kesalahan satu atau dua pihak saja.
Menurutnya, bioskop sebagai etalase film juga menghadapi tantangan besar. Dengan jumlah layar yang terbatas, mereka harus menayangkan film Indonesia yang jumlah produksinya bisa mencapai sekitar 250 film per tahun, sambil tetap mengakomodasi film-film internasional.
Pada akhirnya, kata Hanung, ketiadaan distributor juga turut berdampak pada kualitas film yang tayang di bioskop. Dalam sistem yang lebih ideal, distributor akan bertindak sebagai penyaring, memastikan bahwa hanya film-film dengan kualitas terbaik yang masuk ke jaringan bioskop.
Tanpa penyaring ini, banyak film dengan produksi minim dan kualitas rendah tetap bisa masuk ke bioskop hanya karena memiliki koneksi dengan eksibitor.
Hanung menilai menghidupkan kembali distributor dapat menciptakan ekosistem film yang lebih sehat dan terorganisir. Untuk mengatasi tantangan ini, peran distributor harus dihidupkan kembali.
Menurutnya, mesti ada orang atau sebuah perusahaan yang mengisi celah kosong ini. Dengan adanya distributor, film bisa diambil alih terlebih dahulu dengan dibeli, sebelum akhirnya dijual kembali ke bioskop.
Perusahaan distributor ini bisa datang dari berbagai pihak, tetapi yang mengerti bisnis. Jika tidak ada pemain baru, Hanung juga menilai perusahan-perusahaan film besar, bisa menjalankan peran ganda dengan membuat lini bisnis baru, yakni di distributor. Hal ini pula yang terjadi di Warner Bros. Pictures atau 20th Century Studios di Hollywood.
“Kalau ada distributor, PH bisa fokus bikin film bagus, sedangkan distributor yang memikirkan bisnisnya. Dengan begitu, PH akan berkompetisi dalam kualitas biar dilirik distributor. Secara bergaining pun lebih setara, karena distributor tentu punya relasi lebih baik dengan bioskop,” ujarnya.
Baca juga: Eksplorasi Sinematik Mouly Surya dengan Rasio Gambar 4:3 di film Perang Kota
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Secara umum, distributor bertanggung jawab atas pemasaran, penjadwalan rilis, serta negosiasi dengan bioskop agar film bisa mendapatkan layar yang maksimal. Mereka juga membantu dalam strategi promosi, memastikan film menjangkau target pasar yang tepat, serta menangani aspek administratif seperti pembagian keuntungan.
Namun, dalam dekade terakhir, peran distributor makin hilang dalam ekosistem film Indonesia. Banyak rumah produksi melewati peran distributor dan langsung berkomunikasi dengan bioskop. Ini terjadi karena beberapa faktor.
Baca juga: Sineas Aline Jusria: Jam Kerja Sehat di Industri Film Itu Bisa Dicapai
Hanung Bramantyo, sutradara film Rahasia Rasa (Sumber gambar: Chelsea Venda/Hypeabis.id)
PH juga dapat mengendalikan strategi promosi dan distribusi sesuai dengan visi mereka tanpa harus mengikuti kebijakan distributor. Namun, di balik hal tersebut, distributor sebenarnya tetaplah memiliki peran penting, terutama untuk film-film independen atau yang membutuhkan jaringan lebih luas.
Sutradara sekaligus pemilik PH Dapur Film, Hanung Bramantyo, mengatakan distributor punya peran penting dalam industri film. Mereka bertugas membeli sebuah film sebelum tayang dan hadir di bioskop.
Di negara-negara dengan industri film yang mapan, seperti Amerika Serikat dan Korea Selatan, proses pembuatan film memang dibagi menjadi dua peran besar. Pertama adalah rumah produksi atau produser yang bertanggung jawab atas produksi sebuah film. Kedua adalah distributor yang mengelola aspek pemasaran, penjualan, dan penempatan film di bioskop maupun platform digital.
Peran ini punya fungsi yang krusial karena menjadi garis api antara urusan kreativitas dan bisnis. Dengan kehadiran stakeholder distributor, sebuah PH bisa lebih fokus pada kreativitas, produksi, skenario, artistik, dan penceritaan, tanpa terbebani oleh tugas pemasaran dan distribusi.
Namun, di Indonesia, rumah produksi harus menjalankan dua peran sekaligus: mereka tidak hanya memproduksi film, tetapi juga bertanggung jawab atas distribusinya.
Akibatnya, beban kerja rumah produksi menjadi sangat berat. Alih-alih fokus pada penciptaan karya berkualitas, mereka harus memikirkan strategi pemasaran, jaringan bioskop, hingga bagaimana film dapat menjangkau penonton yang lebih luas.
“Masalahnya, sekarang ini produksi film per tahun makin bertambah. Sementara asupan etalase kita atau bioskop kita itu masih terbatas. Dari jumlah yang terbatas itu kan masih dibagi lagi, ada film Hollywood, ada non-Hollywood, ada film Indonesia,” ungkap Hanung kepada Hypeabis.id.
Menurut Hanung, situasi ini membuat film cukup menumpuk di bioskop. Persaingan untuk menentukan tanggal tayang pun menjadi lebih kompetitif. Saat ini, per minggu saja ada 4-5 film baru muncul.
Dalam konteks ini, rumah produksi baru pun menjadi cukup menantang saat akan mendistribusikan filmnya ke bioskop. Terlebih, jika rumah produksi itu tidak memiliki produser atau sutradara yang memang punya nama atau relasi yang baik dengan bioskop sebelumnya.
Hanung menyatakan bahwa tanpa adanya distributor, rumah produksi kini harus menangani sendiri aspek distribusi dan pemasaran film mereka. Akibatnya, PH dengan jaringan luas dan modal besar lebih diuntungkan dibandingkan PH kecil yang belum memiliki akses kuat ke jaringan bioskop.
Situasi ini secara tidak langsung menciptakan kesenjangan yang cukup signifikan. Hanung menilai bahwa ekosistem industri film saat ini masih belum berjalan dengan sempurna, dan kondisi yang terjadi bukanlah kesalahan satu atau dua pihak saja.
Menurutnya, bioskop sebagai etalase film juga menghadapi tantangan besar. Dengan jumlah layar yang terbatas, mereka harus menayangkan film Indonesia yang jumlah produksinya bisa mencapai sekitar 250 film per tahun, sambil tetap mengakomodasi film-film internasional.
Pada akhirnya, kata Hanung, ketiadaan distributor juga turut berdampak pada kualitas film yang tayang di bioskop. Dalam sistem yang lebih ideal, distributor akan bertindak sebagai penyaring, memastikan bahwa hanya film-film dengan kualitas terbaik yang masuk ke jaringan bioskop.
Tanpa penyaring ini, banyak film dengan produksi minim dan kualitas rendah tetap bisa masuk ke bioskop hanya karena memiliki koneksi dengan eksibitor.
Hanung menilai menghidupkan kembali distributor dapat menciptakan ekosistem film yang lebih sehat dan terorganisir. Untuk mengatasi tantangan ini, peran distributor harus dihidupkan kembali.
Suasana bioskop (Sumber gambar: Pexels/Clem Onojeghuo)
Perusahaan distributor ini bisa datang dari berbagai pihak, tetapi yang mengerti bisnis. Jika tidak ada pemain baru, Hanung juga menilai perusahan-perusahaan film besar, bisa menjalankan peran ganda dengan membuat lini bisnis baru, yakni di distributor. Hal ini pula yang terjadi di Warner Bros. Pictures atau 20th Century Studios di Hollywood.
“Kalau ada distributor, PH bisa fokus bikin film bagus, sedangkan distributor yang memikirkan bisnisnya. Dengan begitu, PH akan berkompetisi dalam kualitas biar dilirik distributor. Secara bergaining pun lebih setara, karena distributor tentu punya relasi lebih baik dengan bioskop,” ujarnya.
Baca juga: Eksplorasi Sinematik Mouly Surya dengan Rasio Gambar 4:3 di film Perang Kota
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.