Sineas Aline Jusria: Jam Kerja Sehat di Industri Film Itu Bisa Dicapai
28 March 2025 |
15:30 WIB
Industri perfilman Indonesia terus berkembang dan menunjukkan performa yang positif. Akan tetapi, di balik gemerlap layar lebar, ada tantangan besar yang masih dihadapi oleh para pekerjanya, salah satunya terkait dengan jam kerja yang panjang dan melelahkan.
Aline Jusria, editor film Indonesia, menekankan pentingnya mendiskusikan jam kerja yang lebih manusiawi untuk menjaga kesehatan dan produktivitas para pekerja film. Dia berpendapat bahwa menetapkan jam kerja yang lebih sehat tetap bisa dilakukan, meskipun industri ini bergerak di ranah kreatif.
Aline mengatakan dahulu ada kalanya jam kerja di industri benar-benar tak terkendali. Dia bahkan bercerita punya pengalaman mengedit sebuah film bioskop hanya empat hari. "Banyak editor yang mengalami hal serupa. Tidur hanya sebentar, lalu kembali bekerja tanpa istirahat yang memadai,” ujar Aline kepada Hypeabis.id.
Baca juga: Hypereport: Ekspresi Cinta Sineas untuk Industri Perfilman lewat Regenerasi
Menurutnya, industri film di Indonesia saat ini memang berubah pesat. Hal ini terkadang membuat skema produksi pun jadi berubah. Salah satu yang kerap dikorbankan kemudian adalah soal jam kerja.
Aline menyebut produksi film zaman dahulu itu terkenal akan waktu yang panjang. Satu film bisa dibuat dalam waktu 30 hari sampai 40 hari. Lantaran waktu syuting yang panjang, para kru kemudian jadi punya waktu yang lebih leluasa untuk jeda istirahat yang cukup.
Setidaknya, kata dia, meski sebuah produksi mengharuskan kru untuk pulang pagi, tetapi kru shift tersebut pasti tidak akan dipanggil pagi lagi. Jadi, ada waktu istirahat yang cukup.
Namun, sekarang dengan waktu syuting yang makin pendek, tekanan kerja makin intens. Jadwal produksi pun jadi makin padat. Meski isu jam kerja sudah sering dibahas, hingga kini belum ada kesepakatan bersama mengenai batasan waktu kerja yang ideal.
"Ada yang mengusulkan 12 hingga 14 jam per hari, tapi kenyataannya di lapangan masih banyak yang bekerja lebih lama dari itu," jelas Aline.
Aline mengaku tidak anti untuk lembur. Akan tetapi, dia menyebut perlu ada garis pembatas yang jelas antara lembur dan pola kerja. Jika pola kerja normal, lalu, satu atau dua hari lembur maka tidak masalah. Namun, jika jam kerja berantakan dan membuat lembur sering terjadi, tentu itu perihal lain.
Menurutnya, tidak konsistennya jam kerja kerap terjadi karena perencanaan produksi yang tidak realistis. Padahal, dengan perencanaan timeline yang lebih baik, beban kerja dapat dikurangi tanpa mengorbankan kualitas film. Produksi yang lebih tertata juga akan meningkatkan kesejahteraan pekerja industri film.
"Misalnya, kalau film mau tayang Desember, umumnya film harus sudah siap masuk bioskop tiga bulan sebelumnya. Nah, ini tinggal ditarik mundur saja kan, kapan harus syuting, kapan harus editing, kapan promosi dan sebagainya. Jangan sampai udah tahu kapan mau tayang, tetapi waktu produksi justru dipersingkat,” kata Aline.
Aline menekankan bahwa perubahan harus dilakukan secara kolektif, terutama oleh para pemegang keputusan seperti produser dan sutradara. Sebab, beberapa produksi film sudah mulai menerapkan sistem kerja yang lebih sehat tanpa menghambat jadwal.
Jika semua pihak berkomitmen, standar jam kerja yang lebih manusiawi bisa menjadi kenyataan di industri film Indonesia. Dengan perencanaan timeline yang lebih baik, beban kerja dapat dikurangi tanpa mengorbankan kualitas film. Produksi yang lebih tertata juga akan meningkatkan kesejahteraan pekerja industri film.
“Saat ini beberapa asosiasi terus mulai membahas standar jam kerja yang lebih manusiawi. Salah satu upaya yang mulai dilakukan lainnya ialah memasukkan klausul jam kerja dalam kontrak kru dan pemain film agar ada aturan yang lebih jelas,” tegasnya.
Baca juga: Hypeprofil Sineas Rizal Mantovani: Menyongsong Babak Baru Bangku Produser
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Aline Jusria, editor film Indonesia, menekankan pentingnya mendiskusikan jam kerja yang lebih manusiawi untuk menjaga kesehatan dan produktivitas para pekerja film. Dia berpendapat bahwa menetapkan jam kerja yang lebih sehat tetap bisa dilakukan, meskipun industri ini bergerak di ranah kreatif.
Aline mengatakan dahulu ada kalanya jam kerja di industri benar-benar tak terkendali. Dia bahkan bercerita punya pengalaman mengedit sebuah film bioskop hanya empat hari. "Banyak editor yang mengalami hal serupa. Tidur hanya sebentar, lalu kembali bekerja tanpa istirahat yang memadai,” ujar Aline kepada Hypeabis.id.
Baca juga: Hypereport: Ekspresi Cinta Sineas untuk Industri Perfilman lewat Regenerasi
Menurutnya, industri film di Indonesia saat ini memang berubah pesat. Hal ini terkadang membuat skema produksi pun jadi berubah. Salah satu yang kerap dikorbankan kemudian adalah soal jam kerja.
Aline menyebut produksi film zaman dahulu itu terkenal akan waktu yang panjang. Satu film bisa dibuat dalam waktu 30 hari sampai 40 hari. Lantaran waktu syuting yang panjang, para kru kemudian jadi punya waktu yang lebih leluasa untuk jeda istirahat yang cukup.
Setidaknya, kata dia, meski sebuah produksi mengharuskan kru untuk pulang pagi, tetapi kru shift tersebut pasti tidak akan dipanggil pagi lagi. Jadi, ada waktu istirahat yang cukup.
Namun, sekarang dengan waktu syuting yang makin pendek, tekanan kerja makin intens. Jadwal produksi pun jadi makin padat. Meski isu jam kerja sudah sering dibahas, hingga kini belum ada kesepakatan bersama mengenai batasan waktu kerja yang ideal.
"Ada yang mengusulkan 12 hingga 14 jam per hari, tapi kenyataannya di lapangan masih banyak yang bekerja lebih lama dari itu," jelas Aline.
Aline mengaku tidak anti untuk lembur. Akan tetapi, dia menyebut perlu ada garis pembatas yang jelas antara lembur dan pola kerja. Jika pola kerja normal, lalu, satu atau dua hari lembur maka tidak masalah. Namun, jika jam kerja berantakan dan membuat lembur sering terjadi, tentu itu perihal lain.
Menurutnya, tidak konsistennya jam kerja kerap terjadi karena perencanaan produksi yang tidak realistis. Padahal, dengan perencanaan timeline yang lebih baik, beban kerja dapat dikurangi tanpa mengorbankan kualitas film. Produksi yang lebih tertata juga akan meningkatkan kesejahteraan pekerja industri film.
"Misalnya, kalau film mau tayang Desember, umumnya film harus sudah siap masuk bioskop tiga bulan sebelumnya. Nah, ini tinggal ditarik mundur saja kan, kapan harus syuting, kapan harus editing, kapan promosi dan sebagainya. Jangan sampai udah tahu kapan mau tayang, tetapi waktu produksi justru dipersingkat,” kata Aline.
Aline menekankan bahwa perubahan harus dilakukan secara kolektif, terutama oleh para pemegang keputusan seperti produser dan sutradara. Sebab, beberapa produksi film sudah mulai menerapkan sistem kerja yang lebih sehat tanpa menghambat jadwal.
Jika semua pihak berkomitmen, standar jam kerja yang lebih manusiawi bisa menjadi kenyataan di industri film Indonesia. Dengan perencanaan timeline yang lebih baik, beban kerja dapat dikurangi tanpa mengorbankan kualitas film. Produksi yang lebih tertata juga akan meningkatkan kesejahteraan pekerja industri film.
“Saat ini beberapa asosiasi terus mulai membahas standar jam kerja yang lebih manusiawi. Salah satu upaya yang mulai dilakukan lainnya ialah memasukkan klausul jam kerja dalam kontrak kru dan pemain film agar ada aturan yang lebih jelas,” tegasnya.
Baca juga: Hypeprofil Sineas Rizal Mantovani: Menyongsong Babak Baru Bangku Produser
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.