Pedanaan FIlm (Sumber Foto: Freepik)

Begini Insentif Perfilman yang Ideal Menurut Pengamat Film Hikmat Darmawan

27 May 2023   |   19:57 WIB
Image
Kintan Nabila Jurnalis Hypeabis.id

Industri perfilman Indonesia kian berkembang pesar. Sampai saat ini tak sedikit film-film karya anak bangsa yang berprestasi di kancah internasional. Sepanjang tahun 2022 saja, tercatat ada empat film yang sukses melenggang di berbagai ajang festival film bergengsi di dunia.

Sebut saja Before, Now, and Then (Nana) di Berlin International Film Festival, Inang di Bucheon International Film Festival, Dancing Color di Locarno Film Festival, serta Autobiography di Venice International Film Festival dan Toronto International Film Festival.

Pemerintah pun turut mendorong dalam memajukan industri film nasional. Wujud dari komitmen tersebut salah satunya dalam bentuk bantuan promosi, kemudahan proses perizinan, hingga mendanai proses produksi film karya sineas Tanah Air, misalnya yang terbaru melalui program Dana Indonesiana.

Baca juga: Hadir ke Festival Film Cannes 2023, Bos MVP Pictures Raam Punjabi Cari Film & Benchmark Platform OTT

Dana Indonesiana merupakan kegiatan pendukung berupa fasilitas dana hibah yang diberikan kepada suatu kelompok kebudayaan atau perseorangan di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. 

Sebelum mendapatkan pendanaan tersebut, tim produksi harus melampirkan proposal yang nantinya akan melewati proses kurasi untuk menentukan apakah film tersebut benar-benar layak didanai.

Hikmat Darmawan, pengamat film sekaligus Anggota Komite Film Dewan Kesenian Jakarta, memaparkan bahwa pendanaan dari pemerintah akan melalui proses kurasi, di mana film harus memenuhi standar value tertentu dan punya nilai strategis kebudayaan.

Namun, menurutnya standar pengurasian tersebut masih abu-abu. Apakah filmnya harus bagus? Lantas apa yang dijadikan sebagai tolok ukur bagusnya sebuah film sehingga layak mendapatkan pendanaan tersebut? “Seringkali ada pengertian yang dianut oleh PH (production house) atau pelaku industri perfilman, bahwa film yang bagus itu yang laku,” paparnya. 

Jadi, arah dana atau pembiayaan itu diharapkan menjadi sebuah investasi yang bisa membuat filmnya laku. Misalnya sekelas blockbuster movies di Holywood, sebut saja sejumlah film Marvel Cinematic Universe (MCU) yang biaya produksinya di atas US$250 juta dan diharapkan mandapat revenue US$400 juta-US$700 juta bahkan hingga US$1 miliar.

Selain itu film-film yang sarat akan nilai kebudayaan, biasanya lebih potensial untuk mendapat pendanaan dari pemerintah. Lantaran menurutnya penting juga untuk tujuan diplomasi budaya dan pencapaian estetik film di kancah internasional.

Hikmat mengamati, nantinya ada kemungkinan film-film dengan berbagai genre akan bersaing dengan film blockbuster pada saat pengajuan proposal. Oleh karena itu, menurutnya, dalam mekanisme kurasi untuk pendanaan harus ada kejelasan kategori film dan tujuan strategisnya.

“Karena tidak ada definisi yang jelas terkait film apa yang berhak didanai, orang industri perfilman bisa saling memperebutkan dana,” jelasnya.

Lebih lanjut, Hikmat berujar,  di Indonesia sendiri film yang bagus itu dalam artian punya potensial market blockbuster, menurutnya ini sangat disayangkan karena hanya menyasar satu pasar tunggal saja.

"Misalnya pendanaan dari pemerintah sebesar 150 Miliar, uang tersebut sudah bisa mendanai produksi film tingkat tinggi, katakanlah satu film biaya produksinya mencapai 15 Miliar, berarti hanya ada 10 film yang didanai setiap tahun," jelasnya.

Sementara sekarang banyak sineas film Indonesia yang berharap dapat bantuan pemerintah baik kategori film komersial maupun indie. Padahal menurutnya banyak film-film independen yang sarat dengan nilai kebudayaan dan cukup potensial untuk bersaing di lanskap lokal dan internasional.

“Dengan Rp15 miliar cuma bisa jadi 10 film, tapi hanya dengan Rp1 miliar bisa bikin beberapa film indie seperti short movie yang secara nilai budaya punya potensi lebih strategis,” kata Hikmat.

Dia menyarankan sebaiknya pendanaan film tersebut diperuntukan sesuai kategori film, misalnya 2-3 film komersial lokal dan internasional yang biaya produksinya tinggi di atas Rp12 miliar.

Baca juga: Jakarta Film Week Akan Diadakan Pada 25 - 29 Oktober, Cek Program Barunya

Selain itu, perlu diperbanyak film untuk kategori mid budget movies yang biaya produksinya Rp2 miiar-Rp12 miliar. Lalu untuk kategori film indie atau small budget movies yang biaya produksinya di bawah Rp1 miliar.

“Sebisa mungkin harus bisa membangun pasar majemuk dan bukan pasar tunggal saja, dalam artian jangan hanya untuk film komersial dan film indie saja, tapi dikolaborasikan,” katanya.

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

Rangkaian dan Makna Prosesi Adat Jawa di Pernikahan Putra Komisaris Sahid Group

BERIKUTNYA

Rekam Gestur yang Terabaikan Kala Pandemi Ala Seniman Nindityo Adipurnomo

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: