Editor Aline Jusria (Sumber gambar: Chelsea Venda/Hypeabis.id)

Hypeprofil Editor Aline Jusria: Resep Bercerita dalam Penyuntingan Film

17 September 2024   |   15:00 WIB
Image
Chelsea Venda Jurnalis Hypeabis.id

Sekiranya hampir dua dekade lalu, perempuan yang kerap merombak rambutnya dengan gaya sedikit nyentrik ini memulai segalanya. Aline Jusria, begitu orang mengenalnya, meniti karier secara perlahan, dibangunnya reputasi dari satu film ke film lain, hingga kini tiga Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) sudah nangkring di rumahnya.

Sinar matahari sore cukup terik ketika Hypeabis.id menemui Aline Jusria di sebuah kafe, tepat di bawah ruang kerjanya di Cinere, Depok. Hari itu, Aline memesan jus dan snack potongan buah, perempuan asal Semarang ini belakangan memang cukup getol soal gaya hidup sehat.

Roman semringah tampak dari wajah Aline ketika dirinya mulai bercerita soal awal mula bisa jatuh cinta dengan film, lalu secara spesifik tertarik dengan dunia penyuntingan bahkan sejak masih kanak-kanak. 

Masa kecil Aline banyak dihabiskan di Semarang, Jawa Tengah. Aline kecil memang sudah dekat dengan dunia kesenian berkat orang tuanya. Ayahnya adalah penyanyi, sedangkan ibunya bergelut di dunia teater dan menyukai kesenian. 

Baca juga: Editor Aline Jusria: Regenerasi Penyunting Film Panjang Belum Ideal
 
Editor Aline Jusria (Sumber gambar: Chelsea Venda/Hypeabis.id)
Pada masa itu, Aline sering diajak sang ibu untuk melihat proses latihan. Dia juga kerap datang saat ayahnya bernyanyi, dari panggung-panggung pernikahan hingga acara yang lebih besar. 

Meski cukup berbeda kesenian, ada satu yang menyatukan mereka, yakni film. Saat akhir pekan atau waktu luang, Aline bersama keluarga kerap pergi ke bioskop untuk menonton film.

“Nonton film itu udah kayak budaya yang emang kalau enggak ke mana-mana, yaudah pasti nonton. Mamaku itu suka ngajak nonton film India, kalau papaku lebih ke film Indonesia,” tutur Aline.

Paparan kesenian, khususnya film, datang dari berbagai medium. Tak hanya bioskop maupun penuturan orang tuanya, dari televisi juga. Aline bercerita ada satu program yang dahulu tayang di TVRI, yang membahas soal behind the scene film yang akan tayang. Program itu membuatnya makin tertarik dengan bidang perfilman. 

Ketika Aline kecil mulai tertarik cukup dalam, rasa geregetannya mulai muncul. Suatu waktu, Aline kecil sempat protes ke orang tuanya. Penyebabnya, dia merasa susunan potongan gambar sebuah film atau sinetron yang tayang di televisi kurang enak ditonton. 

“Aku tanya ke ibuku, ini yang nyambung-nyambungin gambar itu siapa? Mamaku jawab “oh itu editor film namanya”. Nah, langsung tuh, aku mau jadi orang itu, jadi orang yang nentuin enak atau tidaknya sebuah potongan,” jelasnya.

Impian masa kecil itu terpupuk hingga dewasa. Meski, kala itu dia belum terlalu tahu jalurnya. Saat masih duduk di sekolah dasar, Aline membaca tabloid Monitor, di sana dia melihat iklan Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Wajahnya berbinar, di sanalah jalan awal menuju impiannya. 

Di IKJ, Aline mengambil sinematografi dan langsung menekuni bidang penyuntingan gambar. Dia sempat menggeluti penyutradaraan sebenarnya, tetapi tujuannya berbeda.

Ketika masa kuliah, Aline sadar betul bahwa dia tentu belum bisa masuk ke proyek film besar dan menjadi editor di sana. Padahal, dirinya sudah ingin mengotak-atik gambar, latihan, dan menjadikannya film ‘beneran’.

Oleh karena itulah, dia beberapa kali menjadi sutradara dan membuat film sendiri. Akan tetapi, eksplorasi ketika menjadi sutradara muaranya satu, yakni untuk menjadi bahan editing-nya, “Jadi, kalau aku mau ambil gambar seperti ini, itu karena aku berpikir editing-nya bakal begini. Memang visi awalnya itu buat editing,” imbuhnya.


Editor Adalah Pencerita 

Dalam masa-masa awal karier editor, Aline lebih banyak bergelut dengan film dokumenter. Kala itu, dirinya mencoba magang ke beberapa kakak kelas yang sudah memiliki proyek. Pada masa itu, film belum terlalu banyak. Kakak-kakak kelasnya justru lebih banyak menggarap FTV, video clip, dan beberapa dokumenter. Kebetulan, yang diambil oleh Aline adalah dokumenter.

Aline mulai menjadi asisten editing film dokumenter kakak-kakak kelasnya pada 1999-an. Butuh enam tahun hingga akhirnya dia dipercaya menjadi editor film. Film yang dieditnya pertama adalah Alexandria (2005) karya sutradara Ody C Harahap.

Perempuan kelahiran 1978 itu mengaku cukup bersyukur karena memulai kariernya dengan film dokumenter. Sebab, mengedit film dokumenter melatihnya banyak hal, terutama insting yang lebih baik dalam bercerita.

“Dulu itu masih zaman kaset kan, itu filenya bisa ratusan. Lalu, kita mesti lihat satu persatu. Kadang enggak ada brief struktur cerita. Jadi, gimana caranya dengan ratusan footage yang mungkin random, tetapi bisa kita susun jadi cerita yang utuh dan bisa dramatik,” jelasnya.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Aline Jusria (@alinejusria)


Dengan pola yang demikian, Aline merasa masa-masa awalnya itu cukup mengubah dirinya, terutama untuk memecahkan masalah struktur cerita. Sebab, baginya, itu sangatlah menantang di dalam dokumenter.

Lantaran sudah disuguhi tantangan beragam di dokumenter, saat mengedit film fiksi pertama, Aline bahkan merasa aneh. Sebab, film fiksi itu semuanya sudah tertata karena semuanya berbasis skenario.

Aline sempat ragu mengedit film fiksi. Sebab, tak cukup menantang baginya. Namun, seiring berjalannya waktu, dia mulai menemukan kliknya dengan film fiksi, yang baginya juga punya tantangan berbeda dalam eksplorasinya.

Dari film-film yang dipercayakan kepadanya itu, Aline juga ikut bertumbuh mematangkan diri. Menurutnya, dalam dunia editing, seorang editor mesti menjaga beberapa poin penting agar sebuah film bisa tersampaikan dengan baik.

Aline mengatakan editor adalah seorang pencerita. Editor juga adalah sutradara kedua. Sebab, setelah produksi selesai, orang yang paling intens dan paling lama kerja bareng sutradara, itu adalah editor. Perannya juga penting, yakni menyusun struktur cerita.

Menurutnya, yang selalu menjadi resep dan poin penting baginya dalam editing adalah merangkai semua gambar menjadi utuh dan berkesinambungan, hingga akhirnya bisa dinikmati penonton. Hal itu bisa dilakukan dengan mengatur tangga dramatik cerita, ritme, hingga pacing.

Aline mengatakan setiap genre film biasanya akan berbeda. Baginya, genre aksi dan horor cukup menantang. Namun, di luar itu, yang lebih menantang adalah film komedi.

“Mungkin yang nonton itu bisa ngakak, tetapi mengedit film komedi itu butuh kemampuan lebih. Logikanya begini, orang bikin takut dan tinggal ditakut-takutin, tetapi komedi itu bicara soal isi kepala banyak orang dan referensinya,” tuturnya.

Hingga hari ini, lebih dari 50 film telah mendapat sentuhan magis editing-nya. Tiga di antaranya bahkan membuatnya memenangi Piala Citra untuk penyunting gambar terbaik versi Festival Film Indonesia. Tiga film tersebut adalah Minggu Pagi di Victoria Park (2010), Catatan (Harian) Si Boy (2011), dan Like & Share (2023). 

Baca juga: Hypeprofil: Pembuktian Diri Baim Wong lewat Film Lembayung

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

Cek Jadwal Pekan 7 MPL ID S14, RRQ Hoshi Masih Pimpin Klasemen Sementara

BERIKUTNYA

Jadwal Liga Champions 2024: Laga Perdana Dibuka AC Milan Kontra Liverpool

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: