Kolektif Hysteria dan Geliat Komunitas Seni di Semarang
07 September 2021 |
12:32 WIB
Perkembangan lanskap kebudayaan—khususnya kontemporer—di Indonesia akhir-akhir ini cukup menggembirakan dengan munculnya berbagai ekosistem kesenian yang dimotori oleh komunitas seni di berbagai daerah di Indonesia. Salah satunya adalah komunitas Hysteria yang bergiat di Semarang, Jawa Tengah.
Co-Founder Kolektif Hysteria Adin mengatakan bahwa pembentukan ruang kolektif Hysteria sejak 2004 didasari atas kondisi masih minimnya support system untuk kelompok-kelompok seni di Semarang.
“Ketika itu kami merasa tidak ada kebijakan negara dalam konteks berkesenian yang bisa diakses secara demokratis dari apa yang sudah kami alami,” ujarnya dalam diskusi virtual, belum lama ini.
Hysteria berawal dari kegiatan menerbitkan zine yang berisi tentang ulasan-ulasan seni, sastra, dan budaya. Ketika itu Adin dan kawan-kawan merasa perlu membuat suatu media yang bisa menampung apresiasi dan karya seni sekaligus mendistribusi informasi dan pengetahuan yang tidak bisa dicakup oleh media massa.
Empat tahun berselang, pada 2008, akhirnya didirikanlah Gerobak Art Kos, sebuah ruang kolektif yang terbuka terhadap tawaran gagasan yang baru dan atau segar serta berpihak pada proses kreatif personal/kolektif yang militan. Ruang tersebut akhirnya dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan seperti pameran, pertunjukan, lokakarya, dan pemutaran film yang berlangsung hingga saat ini.
“Melalui Hysteria kami memiliki visi yaitu terwujudnya ekosistem seni dan kreativitas yang sehat, lestari, dan menyejahterakan. Sebagai jaringan kolektif, Hysteria juga berperan sebagai sebagai penghubung jaringan lintas disiplin serta stakeholder,” imbuhnya.
Namun, pada 2013, Adin mengatakan jejaring Hysteria masih dirasa berjarak dengan persoalan perkotaan. Selain itu, tidak adanya feedback baik secara finansial maupun rekognisi sehingga geliat yang dilakukan dirasa sia-sia.
Co-Founder Kolektif Hysteria Adin mengatakan bahwa pembentukan ruang kolektif Hysteria sejak 2004 didasari atas kondisi masih minimnya support system untuk kelompok-kelompok seni di Semarang.
“Ketika itu kami merasa tidak ada kebijakan negara dalam konteks berkesenian yang bisa diakses secara demokratis dari apa yang sudah kami alami,” ujarnya dalam diskusi virtual, belum lama ini.
Hysteria berawal dari kegiatan menerbitkan zine yang berisi tentang ulasan-ulasan seni, sastra, dan budaya. Ketika itu Adin dan kawan-kawan merasa perlu membuat suatu media yang bisa menampung apresiasi dan karya seni sekaligus mendistribusi informasi dan pengetahuan yang tidak bisa dicakup oleh media massa.
Empat tahun berselang, pada 2008, akhirnya didirikanlah Gerobak Art Kos, sebuah ruang kolektif yang terbuka terhadap tawaran gagasan yang baru dan atau segar serta berpihak pada proses kreatif personal/kolektif yang militan. Ruang tersebut akhirnya dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan seperti pameran, pertunjukan, lokakarya, dan pemutaran film yang berlangsung hingga saat ini.
“Melalui Hysteria kami memiliki visi yaitu terwujudnya ekosistem seni dan kreativitas yang sehat, lestari, dan menyejahterakan. Sebagai jaringan kolektif, Hysteria juga berperan sebagai sebagai penghubung jaringan lintas disiplin serta stakeholder,” imbuhnya.
Namun, pada 2013, Adin mengatakan jejaring Hysteria masih dirasa berjarak dengan persoalan perkotaan. Selain itu, tidak adanya feedback baik secara finansial maupun rekognisi sehingga geliat yang dilakukan dirasa sia-sia.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.