Seni Ternyata Berperan dalam Menstimulasi Daya Analitis dan Imajinatif Anak Lho!
15 June 2021 |
16:27 WIB
Seni atau arts, seringkali terlupakan sebagai komponen penting dalam kurikulum pendidikan dan tumbuh kembang anak. Kerap kali tradisi dan belajar seni menjadi kegiatan tambahan atau sekadar ekstrakurikuler, ketimbang sebagai satu cabang ilmu yang setara dengan sains atau teknologi.
Tak heran jika saat ini postur kurikulum pendidikan di Indonesia masih banyak mengadopsi skema STEM yakni sains, teknologi, teknik, dan matematika ketimbang STEAM yakni sains, teknologi, teknik, seni, dan matematika. Salah satu astrofisikawan Indonesia, Premana W. Premadi mengungkapkan adanya relasi kuat keterlibatan seni dalam pendidikan dan tumbuh kembang anak.
Dia menilai, cabang ilmu seni misalnya seni tari, seni musik, seni lukis, atau seni menyanyi sangat mendorong daya imajinasi anak. Pertumbuhan daya imajinasi siswa diyakini akan sangat membantu perkembangan kemampuan berpikir kritis anak terhadap kondisi di sekitarnya dan mendorong cara dia merespon.
“Saya misalnya sudah lama cinta pada musik, yang ternyata sangat berdampak pada kesukaan saya di bidang astronomi karena membantu saya melihat alam semesta dengan struktur yang lebih jelas sekaligus indah,” kata Nana.
Dia menilai, kehadiran seni atau arts juga sangat mendorong pengembangan akal budi seseorang. Seni sangat mempengaruhi kerja rasio, kejiwaan, dan kemampuan mendeskripsikan, merespons, dan menciptakan hal-hal yang bersifat estetik.
“Makin dini anak terekspose dengan kualitas hidup estetik, maka dia punya kekuatan rasional dan melalui penghalusan dari akal budi,” sambungnya.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Staf Khusus Presiden RI dari golongan milenial, Ayu Kartika Dewi yang mengatakan seni merupakan kemampuan positif yang membuat anak tumbuh lebih percaya diri. Hal ini berangkat dari pengalaman Ayu sendiri saat melalui proses pendidikan pasca sarjana di Amerika Serikat.
“Saya pernah melalui masa titik terendah dalam hidup saat dua tahun kehidupan saya di Amerika Serikat. Saya struggling secara akademis, dan juga pergaulan,” ujar Ayu.
Di tengah menurunnya kepercayaan diri akibat masalah dengan pergaulan dan kehidupan akademil di Amerika yang sulit, Ayu menantang dirinya sendiri untuk bergabung dalam grup komedi di kampusnya.
Menurut Ayu, jika dia bisa bertahan dalam grup komedi dan berkesenian, maka kepercayaan dia akan meningkat. Dengan begitu, dia pun mampu menuntaskan sejumlah tugas-tugas akademik yang menuntutnya untuk kuat dalam berdaya pikir dan membuat persentasi di depan kelas.
“Saya coba belajar dan memang improvisasi yang saya dapatkan melalui komedi itu membantu saya survive, self confidence saya pun meningkat,” katanya.
Pendiri Yayasan Sabang Merauke ini percaya, komedi sebagai sarana berkesenian membantu melatih otak, khususnya untuk merespons sejumlah improvisasi konten lawak yang dilemparkan lawan main secara spontan di atas panggung.
Pada sisi lain, cabang ilmu sains seperti misalnya ekonomi memberikan kesan yang kurang imajinatif dan kurang melibatkan sisi emosional bagi pertumbuhan seorang anak. Rasionalitas dalam ilmu ekonomi juga memberi kesan ilmu ini sangat sulit bagi seorang anak.
Hal itu lantas disanggah oleh Ekonom Chatib Basri. Dia menyebut seni sangat berperan dalam pengembangan logika pikir seorang ekonom. Dia bahkan membeberkan, lebih mencintai seni khususnya seni teater ketimbang harus bergulat dengan ilmu ekonomi.
“Kesenian ini soal imajinasi, mengasah kepekaan, dan ini yang sangat penting dimiliki pada semua bidang,” jelasnya.
Dia membeberkan ada banyak ekonom dunia yang justru memiliki keahlian berpikir dan menghasilkan rumusan dan terobosan ekonomi berkat kecintaan pada cabang seni tertentu. Hal ini dinilai oleh Chatib sebagai kekuatan dari seni sebagai stimulus yang mendorong imajinasi dan daya analisis para ekonom.
Psikolog Anak, Jovita Maria Ferliana menambahkan, orangtua juga harus dilibatkan untuk mengembangkan skema STEAM dalam metode pendidikan anak. Dia menilai, daya imajinatif dan analitis anak akan mendorong anak untuk menjadi pribadi yang kreatif dalam memecahkan masalah.
“Dengan anak memiliki kreativitas yang tinggi, mampu berpikir dan melihat suatu masalah dari berbagai sisi dan sudut pandang hasilnya dia akan menjadi anak yang berpikiran terbuka dalam memecahkan masalah,” tuturnya.
Editor: Roni Yunianto
Tak heran jika saat ini postur kurikulum pendidikan di Indonesia masih banyak mengadopsi skema STEM yakni sains, teknologi, teknik, dan matematika ketimbang STEAM yakni sains, teknologi, teknik, seni, dan matematika. Salah satu astrofisikawan Indonesia, Premana W. Premadi mengungkapkan adanya relasi kuat keterlibatan seni dalam pendidikan dan tumbuh kembang anak.
Dia menilai, cabang ilmu seni misalnya seni tari, seni musik, seni lukis, atau seni menyanyi sangat mendorong daya imajinasi anak. Pertumbuhan daya imajinasi siswa diyakini akan sangat membantu perkembangan kemampuan berpikir kritis anak terhadap kondisi di sekitarnya dan mendorong cara dia merespon.
“Saya misalnya sudah lama cinta pada musik, yang ternyata sangat berdampak pada kesukaan saya di bidang astronomi karena membantu saya melihat alam semesta dengan struktur yang lebih jelas sekaligus indah,” kata Nana.
Dia menilai, kehadiran seni atau arts juga sangat mendorong pengembangan akal budi seseorang. Seni sangat mempengaruhi kerja rasio, kejiwaan, dan kemampuan mendeskripsikan, merespons, dan menciptakan hal-hal yang bersifat estetik.
“Makin dini anak terekspose dengan kualitas hidup estetik, maka dia punya kekuatan rasional dan melalui penghalusan dari akal budi,” sambungnya.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Staf Khusus Presiden RI dari golongan milenial, Ayu Kartika Dewi yang mengatakan seni merupakan kemampuan positif yang membuat anak tumbuh lebih percaya diri. Hal ini berangkat dari pengalaman Ayu sendiri saat melalui proses pendidikan pasca sarjana di Amerika Serikat.
“Saya pernah melalui masa titik terendah dalam hidup saat dua tahun kehidupan saya di Amerika Serikat. Saya struggling secara akademis, dan juga pergaulan,” ujar Ayu.
Di tengah menurunnya kepercayaan diri akibat masalah dengan pergaulan dan kehidupan akademil di Amerika yang sulit, Ayu menantang dirinya sendiri untuk bergabung dalam grup komedi di kampusnya.
Menurut Ayu, jika dia bisa bertahan dalam grup komedi dan berkesenian, maka kepercayaan dia akan meningkat. Dengan begitu, dia pun mampu menuntaskan sejumlah tugas-tugas akademik yang menuntutnya untuk kuat dalam berdaya pikir dan membuat persentasi di depan kelas.
“Saya coba belajar dan memang improvisasi yang saya dapatkan melalui komedi itu membantu saya survive, self confidence saya pun meningkat,” katanya.
Pendiri Yayasan Sabang Merauke ini percaya, komedi sebagai sarana berkesenian membantu melatih otak, khususnya untuk merespons sejumlah improvisasi konten lawak yang dilemparkan lawan main secara spontan di atas panggung.
Pada sisi lain, cabang ilmu sains seperti misalnya ekonomi memberikan kesan yang kurang imajinatif dan kurang melibatkan sisi emosional bagi pertumbuhan seorang anak. Rasionalitas dalam ilmu ekonomi juga memberi kesan ilmu ini sangat sulit bagi seorang anak.
Hal itu lantas disanggah oleh Ekonom Chatib Basri. Dia menyebut seni sangat berperan dalam pengembangan logika pikir seorang ekonom. Dia bahkan membeberkan, lebih mencintai seni khususnya seni teater ketimbang harus bergulat dengan ilmu ekonomi.
“Kesenian ini soal imajinasi, mengasah kepekaan, dan ini yang sangat penting dimiliki pada semua bidang,” jelasnya.
Dia membeberkan ada banyak ekonom dunia yang justru memiliki keahlian berpikir dan menghasilkan rumusan dan terobosan ekonomi berkat kecintaan pada cabang seni tertentu. Hal ini dinilai oleh Chatib sebagai kekuatan dari seni sebagai stimulus yang mendorong imajinasi dan daya analisis para ekonom.
Psikolog Anak, Jovita Maria Ferliana menambahkan, orangtua juga harus dilibatkan untuk mengembangkan skema STEAM dalam metode pendidikan anak. Dia menilai, daya imajinatif dan analitis anak akan mendorong anak untuk menjadi pribadi yang kreatif dalam memecahkan masalah.
“Dengan anak memiliki kreativitas yang tinggi, mampu berpikir dan melihat suatu masalah dari berbagai sisi dan sudut pandang hasilnya dia akan menjadi anak yang berpikiran terbuka dalam memecahkan masalah,” tuturnya.
Editor: Roni Yunianto
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.