Sajian Artistik Agus Suwage dalam Pameran Fragmen di Nadi Gallery
11 March 2025 |
20:00 WIB
Ada yang nuansa berbeda di Nadi Gallery, Jakarta. Saat memasuki lantai 2 galeri ini, Genhype akan bersitatap dengan lukisan gigantik. Terdiri dari dua bingkai (diptych) karya ini menggambarkan seorang lelaki sedang bermain terompet.
Vibrasi nada terlukis dalam getaran-getaran di depan pemain tersebut. Mengantarkannya pada tengkorak manusia dan sejumlah burung gereja. Percik api dan asap membumbung di belakangnya. Berbagai petanda dan idiom saling mengisi bidang.
Lukisan bertajuk Hallelujah, itu hanyalah salah satu karya dari Agus Suwage dalam pameran bertajuk Fragmen. Dihelat di Nadi Gallery, Jakarta, seteleng ini berlangsung pada 13 Februari sampai 13 Maret 2025.
Baca juga: Menikmati Seni Tapestri Gatot Pujiarto dalam Pameran Stitching Gesture
Bukan tanpa alasan seniman asal Purworejo, itu memboyong karya berdimensi 200x400 cm, itu. Sebab, ini adalah semacam dokumen visual tentang benda-benda, dan interior Studio Biru, tempatnya berkarya di Yogyakarta.
Studio yang menjadi saksi bisu tempatnya berkarya itu selalu memberi kejutan. Syahdan, dia melihat burung bersarang di objek tengkorak yang digantung di sana. Benda mati itu, ternyata telah menjadi rumah kehidupan binatang.
"Ini saya sajikan saja apa yang ada. Misalnya foto [bermain terompet] itu saya olah lagi [dari karya lama] untuk menjadi satu hal yang baru, seperti remake," katanya saat ditemui Hypeabis.id.
Selain karya di muka, Agus juga menghadirkan senarai karya lain termasuk instalasi bertajuk Asu Celeng. Ini adalah satu-satunya karya trimatra yang dipacak dalam pameran ini, yang dapat ditemui saat menuju lantai 2 galeri.
Asu Celeng dibuat dalam kurun waktu lama, yakni 15 tahun. Karya ini menampilkan porselen berbentuk kepala di dalam oven. Wajah seluruh karya ini juga dilapisi bunga dan daun keemasan yang menjadi salah satu ciri karya Agus.
Agus mengungkap, karya ini merupakan bentuk 'revitalisasi' karya lama yang sebagai proses artistik yang tak berkesudahan. Keramik tersebut dibuat pada 2010, tapi Agus memperbaruinya dengan menambahkan oven tangkring dan penerangan.
Alhasil nuansa yang muncul adalah semacam ironi. Ada banyak lapisan metafora yang bisa ditangkap. Bumi yang kian panas laiknya dalam oven, atau masalah sosial yang selalu menyilaukan. "Ini adalah apropriasi dari karya-karya lama saya," katanya.
Sementara itu, untuk karya teranyar Agus memboyong 2 lukisan bertajuk I Lick Therefore I am dan Perjalanan ke Timur. Kedua karya ini mengimak gambar sisi negatif tengkorak, dan perahu yang melaju di sebuah sungai. Di atasnya bersedekap sosok tanpa wajah dengan percikan api dan emas.
Berbeda dari karya lain, Perjalanan ke Timur menggunakan medium arang dan akrilik di kertas alih-alih cat minyak di bidang linen. Di atas potongan puluhan kertas itu, Agus seperti menyalurkan energi artistiknya dengan ekspresif, tapi menampilkan citraan yang halus.
"Charcoal adalah bahan yang paling saya suka dalam berkarya, sehingga anak pertama saya beri nama itu,” kata Agus Suwage.
Baca juga: Melihat Keunikan 'Kertas' dalam Pameran The Paper Menagerie di ISA Art Gallery
Apropriasi atau 'pengambil-alihan' imaji dalam sejarah seni rupa bukanlah hal yang baru. Apropriasi biasanya muncul dan bersanding dengan jargon kaum posmodernis, seperti alegori, parodi, eklektik dan bricolage, alias membuat sesuatu yang baru dari apa yang sudah ada.
Karya Perjalanan ke Timur misalnya, dari segi judul sepintas mirip novel Hermann Hesse. Ini juga bentuk apropriasi ulang lukisan bertajuk The Rain Song, yang dilukis sang seniman pada 2024. Tajuk lukisan tersebut diambil dari salah satu lagu populer band Led Zeppelin.
"Pada hemat saya, gambar itu berhasil menggambarkan pokok soal novel alegoris tentang pengembaraan 'aku' yang mencari kebenaran tertinggi, yang dengan sungguh-sungguh melintasi ruang dan waktu" kata Wahyudin.
Lain dari itu, apropriasi juga muncul dalam karya Agus bertajuk Pelesiran (2024). Lukisan ini menganggit ulang karya Olafur Eliasson bertajuk Waterfall (2004). Di bidang yang sama dia juga merangkainya dengan karya Basoeki Abdullah, Joko Tarub (1959).
Tak tanggung-tanggung, sang seniman juga menyematkan karya Edouard Manet bertajuk Déjeuner sur l'Herbe (1863), serta potret-potret lain yang tak terlacak. Menariknya, sang seniman juga menempatkan objek dirinya di tengah lukisan tersebut. Mereka seperti sedang pelesiran.
"Ini jadi semacam 4 petikan menjadi satu karya baru. Dalam hal ini Agus sejatinya juga sedang membuat fragmen yang akhirnya membentuk kebaruan estetik," imbuhnya.
Owner Nadi Gallery, Biantoro Santoso mengatakan, ide awal dari pameran ini adalah menelisik hubungan antara dirinya dan Agus Suwage yang tak hanya sebatas profesional. Seteleng ini nantinya juga menjadi bagian dari film dokumenter dalam memperingati ulang tahun galeri tersebut yang ke-25.
"Ini jadi pameran tunggal kesembilan antara Nadi dengan Agus. Meski tidak semuanya dihelat di Nadi Gallery, melainkan juga Galeri Nasional, Singapura, dan China," katanya.
Baca juga: Nuanu Bakal Hadirkan Art & Bali, Debut Pameran Seni Internasional di Pulau Dewata
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Vibrasi nada terlukis dalam getaran-getaran di depan pemain tersebut. Mengantarkannya pada tengkorak manusia dan sejumlah burung gereja. Percik api dan asap membumbung di belakangnya. Berbagai petanda dan idiom saling mengisi bidang.
Lukisan bertajuk Hallelujah, itu hanyalah salah satu karya dari Agus Suwage dalam pameran bertajuk Fragmen. Dihelat di Nadi Gallery, Jakarta, seteleng ini berlangsung pada 13 Februari sampai 13 Maret 2025.
Baca juga: Menikmati Seni Tapestri Gatot Pujiarto dalam Pameran Stitching Gesture
Bukan tanpa alasan seniman asal Purworejo, itu memboyong karya berdimensi 200x400 cm, itu. Sebab, ini adalah semacam dokumen visual tentang benda-benda, dan interior Studio Biru, tempatnya berkarya di Yogyakarta.
Studio yang menjadi saksi bisu tempatnya berkarya itu selalu memberi kejutan. Syahdan, dia melihat burung bersarang di objek tengkorak yang digantung di sana. Benda mati itu, ternyata telah menjadi rumah kehidupan binatang.
"Ini saya sajikan saja apa yang ada. Misalnya foto [bermain terompet] itu saya olah lagi [dari karya lama] untuk menjadi satu hal yang baru, seperti remake," katanya saat ditemui Hypeabis.id.
Seniman Agus Suwage saat membuka pameran di Nadi Gallery Jakarta, pada Kamis (13/2/2025) malam. (Sumber gambar: Hypeabis.id/Nadhif Alwan)
Asu Celeng dibuat dalam kurun waktu lama, yakni 15 tahun. Karya ini menampilkan porselen berbentuk kepala di dalam oven. Wajah seluruh karya ini juga dilapisi bunga dan daun keemasan yang menjadi salah satu ciri karya Agus.
Agus mengungkap, karya ini merupakan bentuk 'revitalisasi' karya lama yang sebagai proses artistik yang tak berkesudahan. Keramik tersebut dibuat pada 2010, tapi Agus memperbaruinya dengan menambahkan oven tangkring dan penerangan.
Alhasil nuansa yang muncul adalah semacam ironi. Ada banyak lapisan metafora yang bisa ditangkap. Bumi yang kian panas laiknya dalam oven, atau masalah sosial yang selalu menyilaukan. "Ini adalah apropriasi dari karya-karya lama saya," katanya.
Sementara itu, untuk karya teranyar Agus memboyong 2 lukisan bertajuk I Lick Therefore I am dan Perjalanan ke Timur. Kedua karya ini mengimak gambar sisi negatif tengkorak, dan perahu yang melaju di sebuah sungai. Di atasnya bersedekap sosok tanpa wajah dengan percikan api dan emas.
Berbeda dari karya lain, Perjalanan ke Timur menggunakan medium arang dan akrilik di kertas alih-alih cat minyak di bidang linen. Di atas potongan puluhan kertas itu, Agus seperti menyalurkan energi artistiknya dengan ekspresif, tapi menampilkan citraan yang halus.
"Charcoal adalah bahan yang paling saya suka dalam berkarya, sehingga anak pertama saya beri nama itu,” kata Agus Suwage.
Baca juga: Melihat Keunikan 'Kertas' dalam Pameran The Paper Menagerie di ISA Art Gallery
Apropriasi
Kurator pameran Fragmen, Wahyudin mengatakan dalam berkarya, Agus Suwage kerap melakukan apropriasi dari karya seniman atau musisi dunia. Tak jarang Agus juga mengapropriasi karya-karya lamanya dengan sentuhan baru sehingga menimbulkan asosiasi yang berbeda.Apropriasi atau 'pengambil-alihan' imaji dalam sejarah seni rupa bukanlah hal yang baru. Apropriasi biasanya muncul dan bersanding dengan jargon kaum posmodernis, seperti alegori, parodi, eklektik dan bricolage, alias membuat sesuatu yang baru dari apa yang sudah ada.
Karya Perjalanan ke Timur misalnya, dari segi judul sepintas mirip novel Hermann Hesse. Ini juga bentuk apropriasi ulang lukisan bertajuk The Rain Song, yang dilukis sang seniman pada 2024. Tajuk lukisan tersebut diambil dari salah satu lagu populer band Led Zeppelin.
"Pada hemat saya, gambar itu berhasil menggambarkan pokok soal novel alegoris tentang pengembaraan 'aku' yang mencari kebenaran tertinggi, yang dengan sungguh-sungguh melintasi ruang dan waktu" kata Wahyudin.
Seorang pengunjung menganadikan lukisan karya Agus Suwage bertajuk Pelesiran (2024) di Nadi Gallery Jakarta (Sumber gambar: Hypeabis.id/Nadhif Alwan)
Tak tanggung-tanggung, sang seniman juga menyematkan karya Edouard Manet bertajuk Déjeuner sur l'Herbe (1863), serta potret-potret lain yang tak terlacak. Menariknya, sang seniman juga menempatkan objek dirinya di tengah lukisan tersebut. Mereka seperti sedang pelesiran.
"Ini jadi semacam 4 petikan menjadi satu karya baru. Dalam hal ini Agus sejatinya juga sedang membuat fragmen yang akhirnya membentuk kebaruan estetik," imbuhnya.
Owner Nadi Gallery, Biantoro Santoso mengatakan, ide awal dari pameran ini adalah menelisik hubungan antara dirinya dan Agus Suwage yang tak hanya sebatas profesional. Seteleng ini nantinya juga menjadi bagian dari film dokumenter dalam memperingati ulang tahun galeri tersebut yang ke-25.
"Ini jadi pameran tunggal kesembilan antara Nadi dengan Agus. Meski tidak semuanya dihelat di Nadi Gallery, melainkan juga Galeri Nasional, Singapura, dan China," katanya.
Baca juga: Nuanu Bakal Hadirkan Art & Bali, Debut Pameran Seni Internasional di Pulau Dewata
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.