Sejarah & Refleksi Kritis Seniman dalam Pameran Beyond Elasticity: Rubber and Materiality di Jagad Gallery
18 May 2024 |
07:00 WIB
Publik seni di Jakarta ada kabar gembira nih buat kalian. Jagad Gallery kembali menghelat pameran kolektif dengan mengundang seniman lintas generasi di Tanah Air. Total terdapat 11 seniman yang menampilkan karya-karya terbaru mereka pada 17 Mei sampai 30 Juni 2024.
Mengusung tajuk Beyond Elasticity: Rubber and Materiality, para seniman tersebut merespon material karet sebagai basis karya seni. Mereka adalah Agus Suwage, Anusapati, Catur Nugroho, Dolorosa Sinaga, Elyezer, Handiwirman, Iwan Yusuf, Maharani Mancanegara, Septian Harriyoga, Suvi Wahyudianto, dan Yuli Prayitno.
Baca juga: Menyelisik Makna Wirid Visual Butet Kartaredjasa dalam Pameran Melik Nggendong Lali
Ihwal penggunaan karet sebagai medium karya juga bukan tanpa alasan. Sebab, ekshibisi ini merupakan hasil residensi belasan seniman tersebut ke daerah Tulang Bawang Barat di Lampung untuk berkarya menggunakan karet alam (lateks cair dan lembaran karet) serta kemungkinannya untuk dipadu dengan material lain.
Citra tersebut, salah satunya terefleksi dalam karya Agus Suwage, berjudul Jejak Getah (oil on canvas, rubber, 150x340 cm, 2024). Karya ini sepintas menampilkan kekuatan naratif, yang dibangun dari dua komponen utama, yaitu lukisan dan potongan karet yang menunjuk angka tahun pada 1864-2024.
Lukisan ini, tampak ledang menampilkan dua penyadap karet perempuan, dengan dua siluet putih yang sebangun, seperti 'hantu' dari masa lalu. Sementara itu, potongan karet membentuk angka tahun seolah menjadi penanda awal penanaman karet di Indonesia, sejak kali pertama pohon Hevea brasiliensis itu ditanam di Kebun Raya Bogor pada abad ke-17.
Menurut beberapa sumber, perkebunan karet di Lampung dimulai pada 1892-1930 sejak masa kolonial. Ini merupakan imbas pemberlakuan Undang-undang Agraria 1870, hasil produk dari golongan liberal di Parlemen Belanda, yang ingin menjadikan Lampung sebagai komditas hasil bumi lewat praktik merkantilisme.
Ada pula Karya Dolorosa Sinaga, berjudul Land Grabbing Caused Poverty (rubber, plastic, resin, 36x148x54 cm, 2024). Karya trimatra ini menampilkan sosok metalik ringsek berbaring dengan alas lembaran karet kasar dan gelap. Medium metal yang sebenarnya keras juga tampak cair dan kontradiktif.
Tak hanya itu, di atas material itu tampak buku terbuka di dadanya. Ada kegetiran yang kita rasakan, sosok ringsek dan lunglai yang terbenam dalam lembaran karet tampak tidak berdaya dan pasrah. Refleksi yang dihadirkan seperti menggambarkan para petani dan penyadap karet yang selalu kalah ditimpa kekuatan kapital.
Lain lagi dengan Catur Nugroho yang memboyong sembilan panel gambar ada pameran ini. Yaitu lewat karya berjudul Sajak-sajak Petani Karet (cyanotype, latex on paper, 30x40 cm, 2024). Alih-alih menggunakan kanvas sebagai media lukis, sang seniman justru menggunakan cairan lateks sebagai material karya dan mencetak karya fotografi di atasnya.
Mengunjungi Tubaba sejak 2022, seniman yang berbasis di Yogyakarta itu mengaku cukup akrab dengan situasi di daerah pemekaran Provinsi Lampung itu. Termasuk kondisi kebun karet di sana, yang belakangan banyak ditelantarkan oleh penggarapnya, karena harga karet mentah yang sudah tahunan tetap rendah, dan menjadikannya sebagai bahan inspirasi.
Secara umum, karya ini mengambil potret-potret perkebunan yang terlantar atau beralih fungsi menjadi kebun singkong. Kendati begitu, dia juga menambahkan pindaian pohon karet yang sebenarnya tidak ada, untuk ditampilkan dalam lanskap perkebunan. Catur juga menuliskan beberapa puisi pilu yang mengisahkan kehidupan petani karet di sana.
"Karya ini dibuat kurang lebih seminggu dengan eksperimen yang sebelumnya juga banyak yang gagal. Ada juga tiga karya yang prosesnya saya buat di kamar gelap sehingga menimbulkan kesan seperti citra fotografi analog," katanya saat ditemui Hypeabis.id.
Kurator Asmudjo Irianto mengatakan, karya-karya dalam pameran ini memang ingin menunjukkan bagaimana keberadaan karet dapat menjadi kekuatan bentuk, konten dan konteks. Penggunaan karet alam sebagai material diharapkan juga akan menyentuh perbincangan mengenai rematerialisasi dan medium di era pos-medium dalam seni rupa kontemporer.
Dia menjelaskan, konteks juga menjadi bagian penting dari karya-karya yang dipamerkan, dan berkaitan dengan konten, yang menjadi refleksi kritis dari implikasi sejarah, sosial, politik dan ekonomi keberadaan karet sebagai komoditas perkebunan di Indonesia. Sayangnya, ekosistem pasar yang ada di dalam pembentukan industri ini tidak pernah memihak pada para petani.
"Para seniman dalam pameran ini mengangkat narasi persoalan para petani karet, sebagai bentuk refleksi kritis dalam karyanya. Namun, tentu saja karya-karya seniman ini bukan sekadar laporan, jauh dari itu, karena mereka tetap mementingkan gagasan bentuk, rupa serta metafora, yaitu potensi estetiknya sebagai salah satu urgensi seni rupa kontemporer," katanya.
Baca juga: Menyelami Gambaran Manusia Indonesia dalam Pameran Relief Era Bung Karno di Salihara
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Mengusung tajuk Beyond Elasticity: Rubber and Materiality, para seniman tersebut merespon material karet sebagai basis karya seni. Mereka adalah Agus Suwage, Anusapati, Catur Nugroho, Dolorosa Sinaga, Elyezer, Handiwirman, Iwan Yusuf, Maharani Mancanegara, Septian Harriyoga, Suvi Wahyudianto, dan Yuli Prayitno.
Baca juga: Menyelisik Makna Wirid Visual Butet Kartaredjasa dalam Pameran Melik Nggendong Lali
Ihwal penggunaan karet sebagai medium karya juga bukan tanpa alasan. Sebab, ekshibisi ini merupakan hasil residensi belasan seniman tersebut ke daerah Tulang Bawang Barat di Lampung untuk berkarya menggunakan karet alam (lateks cair dan lembaran karet) serta kemungkinannya untuk dipadu dengan material lain.
Citra tersebut, salah satunya terefleksi dalam karya Agus Suwage, berjudul Jejak Getah (oil on canvas, rubber, 150x340 cm, 2024). Karya ini sepintas menampilkan kekuatan naratif, yang dibangun dari dua komponen utama, yaitu lukisan dan potongan karet yang menunjuk angka tahun pada 1864-2024.
Lukisan ini, tampak ledang menampilkan dua penyadap karet perempuan, dengan dua siluet putih yang sebangun, seperti 'hantu' dari masa lalu. Sementara itu, potongan karet membentuk angka tahun seolah menjadi penanda awal penanaman karet di Indonesia, sejak kali pertama pohon Hevea brasiliensis itu ditanam di Kebun Raya Bogor pada abad ke-17.
Menurut beberapa sumber, perkebunan karet di Lampung dimulai pada 1892-1930 sejak masa kolonial. Ini merupakan imbas pemberlakuan Undang-undang Agraria 1870, hasil produk dari golongan liberal di Parlemen Belanda, yang ingin menjadikan Lampung sebagai komditas hasil bumi lewat praktik merkantilisme.
Karya Agus Suwage, berjudul Jejak Getah dalam pameran Beyond Elasticity: Rubber and Materiality di Jagad Gallery (sumber gambar: Hypeabis.id/Eusebio Chrysnamurti)
Tak hanya itu, di atas material itu tampak buku terbuka di dadanya. Ada kegetiran yang kita rasakan, sosok ringsek dan lunglai yang terbenam dalam lembaran karet tampak tidak berdaya dan pasrah. Refleksi yang dihadirkan seperti menggambarkan para petani dan penyadap karet yang selalu kalah ditimpa kekuatan kapital.
Lain lagi dengan Catur Nugroho yang memboyong sembilan panel gambar ada pameran ini. Yaitu lewat karya berjudul Sajak-sajak Petani Karet (cyanotype, latex on paper, 30x40 cm, 2024). Alih-alih menggunakan kanvas sebagai media lukis, sang seniman justru menggunakan cairan lateks sebagai material karya dan mencetak karya fotografi di atasnya.
Mengunjungi Tubaba sejak 2022, seniman yang berbasis di Yogyakarta itu mengaku cukup akrab dengan situasi di daerah pemekaran Provinsi Lampung itu. Termasuk kondisi kebun karet di sana, yang belakangan banyak ditelantarkan oleh penggarapnya, karena harga karet mentah yang sudah tahunan tetap rendah, dan menjadikannya sebagai bahan inspirasi.
Secara umum, karya ini mengambil potret-potret perkebunan yang terlantar atau beralih fungsi menjadi kebun singkong. Kendati begitu, dia juga menambahkan pindaian pohon karet yang sebenarnya tidak ada, untuk ditampilkan dalam lanskap perkebunan. Catur juga menuliskan beberapa puisi pilu yang mengisahkan kehidupan petani karet di sana.
"Karya ini dibuat kurang lebih seminggu dengan eksperimen yang sebelumnya juga banyak yang gagal. Ada juga tiga karya yang prosesnya saya buat di kamar gelap sehingga menimbulkan kesan seperti citra fotografi analog," katanya saat ditemui Hypeabis.id.
Karya Catur Nugroho berjudul Sajak-sajak Petani Karet dalam pameran Beyond Elasticity: Rubber and Materiality di Jagad Gallery (sumber gambar: Hypeabis.id/Eusebio Chrysnamurti)
Dia menjelaskan, konteks juga menjadi bagian penting dari karya-karya yang dipamerkan, dan berkaitan dengan konten, yang menjadi refleksi kritis dari implikasi sejarah, sosial, politik dan ekonomi keberadaan karet sebagai komoditas perkebunan di Indonesia. Sayangnya, ekosistem pasar yang ada di dalam pembentukan industri ini tidak pernah memihak pada para petani.
"Para seniman dalam pameran ini mengangkat narasi persoalan para petani karet, sebagai bentuk refleksi kritis dalam karyanya. Namun, tentu saja karya-karya seniman ini bukan sekadar laporan, jauh dari itu, karena mereka tetap mementingkan gagasan bentuk, rupa serta metafora, yaitu potensi estetiknya sebagai salah satu urgensi seni rupa kontemporer," katanya.
Baca juga: Menyelami Gambaran Manusia Indonesia dalam Pameran Relief Era Bung Karno di Salihara
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.