Teknologi AI Ternyata Bisa Mengalami Gangguan Kognitif
17 February 2025 |
13:36 WIB
Artificial intelligence (AI) selama ini dinilai sebagai alat yang sempurna karena dapat membantu pekerjaan manusia lebih efisien dan cepat. Namun siapa sangka, kecerdasan buatan yang belakangan membuat manusia ketergantungan ini ternyata bisa mengalami gangguan kognitif.
Dalam sebuah studi yang diterbitkan pada 20 Desember 2024 di British Medical Journal (BMJ), ditemukan bahwa teknologi AI seperti model bahasa besar (LLM) dan chatbot, menunjukkan tanda-tanda penurunan kemampuan kognitif, seiring bertambahnya usia.
Baca juga: Hypeprofil Creative Advisor Motulz Anto: Kecerdasan Buatan itu Alat, Bukan Pengganti Manusia
Adapun temuan ini berdasarkan penggunaan AI untuk diagnosis medis, seperti menemukan anomali dan tanda-tanda peringatan dalam riwayat medis, sinar-X, serta kumpulan data medis lainnya. Para penulis di jurnal tersebut menilai bahwa temuan ini menantang asumsi bahwa kecerdasan buatan akan segera menggantikan dokter.
“Karena gangguan kognitif yang terlihat pada chatbot terkemuka dapat memengaruhi keandalannya dalam diagnostik medis dan merusak kepercayaan pasien,” bunyi penelitian di BMJ seperti dikutip dari Live Science, Senin (17/2/2024).
Untuk menarik kesimpulan tersebut, para ilmuwan menguji chatbot berbasis LLM yang tersedia untuk publik termasuk ChatGPT milik OpenAI, Sonnet milik Anthropic, dan Gemini milik Alphabet. Mereka menggunakan tes Penilaian Kognitif Montreal (MoCA).
MoCA diketahui paling sering digunakan untuk menilai atau menguji timbulnya gangguan kognitif dalam kondisi seperti penyakit Alzheimer atau demensia. Tes MoCA berupa serangkaian tugas yang digunakan ahli saraf untuk menguji kemampuan dalam perhatian, memori, bahasa, keterampilan spasial, dan fungsi mental eksekutif.
Dalam uji ini, subjek diberi tugas seperti menggambar waktu pada jam tertentu, hingga mengingat sebanyak mungkin kata dari daftar lisan. Beberapa aspek pengujian seperti penamaan, perhatian, bahasa, dan abstraksi tampak mudah bagi sebagian besar LLM yang digunakan.
Kendati demikian, kinerja LLM ini terlihat buruk dalam keterampilan visual atau spasial dan tugas eksekutif. Model AI ini juga mengalami keterlambatan mengingat. Jika dihitung menggunakan skor, hasilnya, versi terbaru ChatGPT (versi 4) mendapat skor tertinggi yakni 26 dari 30. Kemudian, LLM Gemini 1.0 hanya mendapat skor 16.
Skor ini mengarah pada kesimpulan bahwa LLM yang lebih lama menunjukkan tanda-tanda penurunan kognitif. Adapun pada manusia, skor 26 dari 30 dianggap sebagai skor kelulusan alias subjek tidak memiliki gangguan kognitif.
Dari hasil ini, penulis studi mencatat bahwa temuan mereka hanya bersifat observasional. Perbedaan kritis antara cara kerja AI dan pikiran manusia, tidak dapat dijadikan perbandingan langsung.
Baca juga: Segera! Pemerintah Bakal Terbitkan UU Kecerdasan Buatan yang Atur Etika & Hak Cipta
Hanya saja, para ilmuan memperingatkan bahwa hasil penelitian tersebut menunjukkan kelemahan signifikan yang dapat menghambat penerapan AI dalam pengobatan klinis. Secara khusus, mereka menentang penggunaan AI dalam tugas-tugas yang memerlukan abstraksi visual dan fungsi eksekutif.
Para ilmuwan juga memandang lucu gagasan tentang ahli saraf menggunakan teknologi kecerdasan buatan. Sebab, dari penelitian ini, AI justru menunjukkan tanda-tanda gangguan kognitif.
Editor: Fajar Sidik
Dalam sebuah studi yang diterbitkan pada 20 Desember 2024 di British Medical Journal (BMJ), ditemukan bahwa teknologi AI seperti model bahasa besar (LLM) dan chatbot, menunjukkan tanda-tanda penurunan kemampuan kognitif, seiring bertambahnya usia.
Baca juga: Hypeprofil Creative Advisor Motulz Anto: Kecerdasan Buatan itu Alat, Bukan Pengganti Manusia
Adapun temuan ini berdasarkan penggunaan AI untuk diagnosis medis, seperti menemukan anomali dan tanda-tanda peringatan dalam riwayat medis, sinar-X, serta kumpulan data medis lainnya. Para penulis di jurnal tersebut menilai bahwa temuan ini menantang asumsi bahwa kecerdasan buatan akan segera menggantikan dokter.
“Karena gangguan kognitif yang terlihat pada chatbot terkemuka dapat memengaruhi keandalannya dalam diagnostik medis dan merusak kepercayaan pasien,” bunyi penelitian di BMJ seperti dikutip dari Live Science, Senin (17/2/2024).
Untuk menarik kesimpulan tersebut, para ilmuwan menguji chatbot berbasis LLM yang tersedia untuk publik termasuk ChatGPT milik OpenAI, Sonnet milik Anthropic, dan Gemini milik Alphabet. Mereka menggunakan tes Penilaian Kognitif Montreal (MoCA).
MoCA diketahui paling sering digunakan untuk menilai atau menguji timbulnya gangguan kognitif dalam kondisi seperti penyakit Alzheimer atau demensia. Tes MoCA berupa serangkaian tugas yang digunakan ahli saraf untuk menguji kemampuan dalam perhatian, memori, bahasa, keterampilan spasial, dan fungsi mental eksekutif.
Dalam uji ini, subjek diberi tugas seperti menggambar waktu pada jam tertentu, hingga mengingat sebanyak mungkin kata dari daftar lisan. Beberapa aspek pengujian seperti penamaan, perhatian, bahasa, dan abstraksi tampak mudah bagi sebagian besar LLM yang digunakan.
Kendati demikian, kinerja LLM ini terlihat buruk dalam keterampilan visual atau spasial dan tugas eksekutif. Model AI ini juga mengalami keterlambatan mengingat. Jika dihitung menggunakan skor, hasilnya, versi terbaru ChatGPT (versi 4) mendapat skor tertinggi yakni 26 dari 30. Kemudian, LLM Gemini 1.0 hanya mendapat skor 16.
Skor ini mengarah pada kesimpulan bahwa LLM yang lebih lama menunjukkan tanda-tanda penurunan kognitif. Adapun pada manusia, skor 26 dari 30 dianggap sebagai skor kelulusan alias subjek tidak memiliki gangguan kognitif.
Dari hasil ini, penulis studi mencatat bahwa temuan mereka hanya bersifat observasional. Perbedaan kritis antara cara kerja AI dan pikiran manusia, tidak dapat dijadikan perbandingan langsung.
Baca juga: Segera! Pemerintah Bakal Terbitkan UU Kecerdasan Buatan yang Atur Etika & Hak Cipta
Hanya saja, para ilmuan memperingatkan bahwa hasil penelitian tersebut menunjukkan kelemahan signifikan yang dapat menghambat penerapan AI dalam pengobatan klinis. Secara khusus, mereka menentang penggunaan AI dalam tugas-tugas yang memerlukan abstraksi visual dan fungsi eksekutif.
Para ilmuwan juga memandang lucu gagasan tentang ahli saraf menggunakan teknologi kecerdasan buatan. Sebab, dari penelitian ini, AI justru menunjukkan tanda-tanda gangguan kognitif.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.