Hypeprofil Creative Advisor Motulz Anto: Kecerdasan Buatan itu Alat, Bukan Pengganti Manusia
09 December 2024 |
11:00 WIB
Kecerdasan buatan mulai digunakan untuk membuat film. Creative advisor sekaligus sutradara Motulz Anto, baru-baru ini menjadi salah satu orang pertama Indonesia yang memproduksi film secara penuh dengan bantuan teknologi artificial intelligence (AI).
Lewat AI, Motulz tak perlu pergi ke lokasi syuting, menentukan sekaligus melakukan pendalaman naskah dengan para aktor, atau berdiskusi dengan sinematografer untuk menentukan angle terbaik pengadeganan.
Dia hanya perlu duduk di depan laptopnya, lalu meminta AI melakukan itu semua lewat instruksi yang diberikannya melalui prompt (permintaan natural language) di perangkat yang digunakannya.
Baca juga: Hypeprofil Sutradara Ryan Adriandhy: Merawat Mimpi Masa Kecil Menjadi Animator
Film AI pertamanya berjudul Sejarah Berdirinya TVRI dari Waktu ke Waktu telah dirilis pada 27 Agustus 2024. Film bergenre dokumenter ini menampilkan visual rekaan dari AI serta footage lawas TVRI yang telah direstorasi, juga dengan bantuan AI.
Film tersebut telah tayang di program televisi TVRI. Film ini juga mendapatkan penayangan khusus di festival Jakarta Film Week (JFW) 2024 lewat program Cinema in AI. Bagi Motulz, AI bukan lagi sekadar tren, ini adalah jalan masa depan.
Ditemui di studio kerjanya di PIK 2, Tangerang, Motulz tampak tengah bersantai ketika Hypeabis.id datang. Sebuah laptop berwarna hitam tampak di letakkan di dekat jendela. Di meja kerjanya, sejumlah coretan-coretan sketsa juga bertebaran, beberapa di antaranya dipacak di dinding.
Sebelum merambah ke dunia AI, sketsa memang lebih dahulu akrab dengan Motulz. Dunia sketching bahkan sudah dilakoni olehnya sejak masih kecil. Ini semacam hobi yang kemudian diteruskan menjadi hal yang lebih serius.
Hobi ini pula yang mengantarkan Motulz menyelesaikan pendidikan resminya di Institut Teknologi Bandung jurusan Desain Produk. Lewat dasar visual melalui sketching dan pendidikannya di ITB, Motulz kemudian mengembangkan kebisaannya ke berbagai hal.
“Dari menggambar yang tadinya hobi ini, ternyata perlahan juga mengasah apa yang disebut dengan creative thinking, critical thinking, hingga design thinking,” kata Motulz kepada Hypeabis.id.
Tiga hal itulah yang membuat karya-karya Motulz memang tak bisa lepas dari suguhan yang berbau visual. Dimulai dari, art director periklanan, penulis, travel skecher, komikus, pengajar, bahkan produser sinetron.
Motulz juga sempat beberapa kali terlibat dalam produksi video klip musik dan sekarang lebih banyak menjadi creative advisor. Tak mengherankan, bila pengalaman di dunia visualnya segudang.
Dari gambar, Motulz terus memperdalam permainan visualnya dengan aspek story telling yang kuat. Dia pun sempat mengikuti workshop story telling di India. Pada saat yang sama, keingintahuannya tentang teknologi juga menguat.
Hingga kemudian, pada medio 2016-an, dirinya mendengar ada program kecerdasan buatan AlphaGo yang dikembangkan Google DeepMind telah mengalahkan manusia asli dalam permainan strategi kuno, Go.
Saat itu, mesin komputer ini melawan pemain asal Korsel, Lee Sedol, yang telah memegang 18 gelar internasional. Namun, dia kalah dalam 3 pertandingan sekaligus. Sejak saat itu, Motulz menganggap era baru dunia dengan AI akan segera dimulai.
“Waktu itu kan sudah langsung muncul bahwa ini akan jadi terobosan besar menuju artificial intelligence, karena dia bisa belajar cepat melihat permainan lawan dan menang. Komputer juga makin memungkinkan menghidupkan program itu,” imbuhnya.
Benar saja, tak lama setelah itu, eksplorasi perusahaan mengembangkan AI bermunculan. Sejak 2018-an, Motulz mulai serius mengikuti perkembangan AI. Dia pun mulai mempelajari micro chip.
Dalam periode ke belakang, berbagai jenama AI kemudian mulai mewarnai kehidupan ini, dari Midjourney, DAL-E, hingga yang cukup meledak ialah kelahiran Chat-GPT. Motulz kemudian mulai mencoba-coba dan mengeksplorasi teknologi AI. DALL-e, menjadi jenama pertama yang dicobanya. Kala itu, dia menjajal membuat sebuah gambar dari perintah teks melalui prompt.
Takjub, begitu yang dirasa Motulz. Namun, saat itu dirinya masih belum mengetahui pasti arah teknologi ini akan ke mana. Meski sudah menggunakannya, pemakaiannya masih sekadar untuk kebutuhan kasual, dari pelengkap power point atau main-main saja.
Setelah itu, kehadiran Mid Journey, Sora, maupun produk AI lainnya makin dahsyat. Muncul pula jenama Runway AI, yang bisa mengubah bukan lagi gambar, melainkan video. “Dari semua itu, saya coba satu-satu, eksplorasi semuanya. Kemudian, saya mulai mikir, ketika saya mau bikin konten, nanti butuhnya (aplikasi yang) mana saja?
Baca juga: Hypeprofil Editor Aline Jusria: Resep Bercerita dalam Penyuntingan Film
Motulz mengatakan keberadaan AI di dunia film mulai masif, dan diprediksi akan lebih besar lagi dalam tahun-tahun mendatang. Di beberapa negara, eksplorasi film AI mulai menuju ke tahap yang serius.
Dia menyebut Korea, yang dalam satu tahun bisa sampai memproduksi seribu film AI. Mungkin, lanjutnya, di sana memang eksplorasinya dibuka seluasnya sehingga orang mau mencoba.
Di Indonesia, keberadaan AI di film dilihatnya cukup menarik. Dia merasa secara industri, orang masih wait and see, meski cenderung apatis. Hal itu cukup berbeda misalnya, dengan dunia ilustrator yang cukup menolak.
Motulz melihat AI di dunia film sebagai sebuah keniscayaan. Kecerdasan buatan baginya hanya akan bertindak sebagai alternatif perangkat di dalam bidang kesenian apa pun, termasuk film.
“Fungsinya itu mungkin memang tak akan jauh-jauh sebagai pelengkap atau penambah dari video-video yang sudah dipunya sebelumnya. Jadi, bukan untuk menggantikan,” jelasnya.
Memang, lanjutnya, beberapa fenomena menunjukkan ada intensi film bisa diproduksi oleh AI secara penuh. Di Korea misalnya, mulai banyak film pendek yang diproduksi penuh oleh AI. Motulz pun ketika membuat dokumenter TVRI menggunakan full oleh AI.
Namun, dirinya melihat ini hanyalah bagian dari gejolak teknologi. Ketika teknologi masih baru, orang-orang akan ramai menggunakannya dan mengeksplorasinya. Namun, pada satu titik nanti, akan ada keseimbangan baru dari teknologi ini.
Pencinta kartun Tintin ini menganalogikan seperti teknologi CGI. Keberadaannya sama membuat banyak orang takjub, karena membuat ruang sinema punya eksplorasi yang lebih besar. Film Avatar, misalnya, langsung dibuat dengan permainan CGI yang sangat ekstensif. Teknologi CGI berbasis motion capture digunakan untuk 80 persen dalam film ini
“Namun, setelah itu, apakah film selanjutnya juga menggunakan full CGI? Kan tidak. Pada praktiknya, CGI hanya digunakan untuk membantu adegan-adegan tertentu saja di sebuah film,” imbuhnya.
Ke depan, Motulz memprediksi penggunaan AI akan dapat bersandingan dengan produksi sungguhan. Pada tahap awal, fenomena AI ini mungkin akan menjadi ‘bahan jualan’. Hal ini lantaran teknologi selalu bisa memberikan akselerasi baru. Namun, pada saat teknologi ini mulai masif, orang tidak akan lagi membicarakan AI lagi. Sebab, pada akhirnya, film adalah tentang bercerita.
Hal yang sama juga terjadi pada teknologi CGI. Menurut Motulz, orang sudah tidak peduli film pakai CGI atau tidak. Selama itu kemudian dieksekusi secara realistis, secara cerita pun baik, orang akan menyukainya.
Fenomena AI masuk film dinilai sutradara kelahiran Jakarta ini makin dekat. Sebab, salah satu pendorong ekosistem, yakni kompetisi dan apresiasi mulai bermunculan. Di Korea, Bucheon International Fantastic Film Festival untuk pertama kalinya memunculkan program film untuk menayangkan karya berbasis AI. Di Jakarta Film Week tahun ini juga melakukan hal serupa.
Terkait dengan hak cipta, Motulz mengatakan saat ini hal tersebut memang masih perlu mendapat perhatian sekaligus diskusi yang panjang. Dia memandang etika masih jadi hal penting yang perlu dijaga di tengah deras teknologi ini.
Baca juga: Hypeprofil Sutradara Naya Anindita: Eksplorasi Film Layar Lebar sampai Serial Web Multigenre
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Lewat AI, Motulz tak perlu pergi ke lokasi syuting, menentukan sekaligus melakukan pendalaman naskah dengan para aktor, atau berdiskusi dengan sinematografer untuk menentukan angle terbaik pengadeganan.
Dia hanya perlu duduk di depan laptopnya, lalu meminta AI melakukan itu semua lewat instruksi yang diberikannya melalui prompt (permintaan natural language) di perangkat yang digunakannya.
Baca juga: Hypeprofil Sutradara Ryan Adriandhy: Merawat Mimpi Masa Kecil Menjadi Animator
Film AI pertamanya berjudul Sejarah Berdirinya TVRI dari Waktu ke Waktu telah dirilis pada 27 Agustus 2024. Film bergenre dokumenter ini menampilkan visual rekaan dari AI serta footage lawas TVRI yang telah direstorasi, juga dengan bantuan AI.
Film tersebut telah tayang di program televisi TVRI. Film ini juga mendapatkan penayangan khusus di festival Jakarta Film Week (JFW) 2024 lewat program Cinema in AI. Bagi Motulz, AI bukan lagi sekadar tren, ini adalah jalan masa depan.
Ditemui di studio kerjanya di PIK 2, Tangerang, Motulz tampak tengah bersantai ketika Hypeabis.id datang. Sebuah laptop berwarna hitam tampak di letakkan di dekat jendela. Di meja kerjanya, sejumlah coretan-coretan sketsa juga bertebaran, beberapa di antaranya dipacak di dinding.
Sebelum merambah ke dunia AI, sketsa memang lebih dahulu akrab dengan Motulz. Dunia sketching bahkan sudah dilakoni olehnya sejak masih kecil. Ini semacam hobi yang kemudian diteruskan menjadi hal yang lebih serius.
Hobi ini pula yang mengantarkan Motulz menyelesaikan pendidikan resminya di Institut Teknologi Bandung jurusan Desain Produk. Lewat dasar visual melalui sketching dan pendidikannya di ITB, Motulz kemudian mengembangkan kebisaannya ke berbagai hal.
“Dari menggambar yang tadinya hobi ini, ternyata perlahan juga mengasah apa yang disebut dengan creative thinking, critical thinking, hingga design thinking,” kata Motulz kepada Hypeabis.id.
Tiga hal itulah yang membuat karya-karya Motulz memang tak bisa lepas dari suguhan yang berbau visual. Dimulai dari, art director periklanan, penulis, travel skecher, komikus, pengajar, bahkan produser sinetron.
Motulz juga sempat beberapa kali terlibat dalam produksi video klip musik dan sekarang lebih banyak menjadi creative advisor. Tak mengherankan, bila pengalaman di dunia visualnya segudang.
Dari gambar, Motulz terus memperdalam permainan visualnya dengan aspek story telling yang kuat. Dia pun sempat mengikuti workshop story telling di India. Pada saat yang sama, keingintahuannya tentang teknologi juga menguat.
Hingga kemudian, pada medio 2016-an, dirinya mendengar ada program kecerdasan buatan AlphaGo yang dikembangkan Google DeepMind telah mengalahkan manusia asli dalam permainan strategi kuno, Go.
Saat itu, mesin komputer ini melawan pemain asal Korsel, Lee Sedol, yang telah memegang 18 gelar internasional. Namun, dia kalah dalam 3 pertandingan sekaligus. Sejak saat itu, Motulz menganggap era baru dunia dengan AI akan segera dimulai.
“Waktu itu kan sudah langsung muncul bahwa ini akan jadi terobosan besar menuju artificial intelligence, karena dia bisa belajar cepat melihat permainan lawan dan menang. Komputer juga makin memungkinkan menghidupkan program itu,” imbuhnya.
Benar saja, tak lama setelah itu, eksplorasi perusahaan mengembangkan AI bermunculan. Sejak 2018-an, Motulz mulai serius mengikuti perkembangan AI. Dia pun mulai mempelajari micro chip.
Dalam periode ke belakang, berbagai jenama AI kemudian mulai mewarnai kehidupan ini, dari Midjourney, DAL-E, hingga yang cukup meledak ialah kelahiran Chat-GPT. Motulz kemudian mulai mencoba-coba dan mengeksplorasi teknologi AI. DALL-e, menjadi jenama pertama yang dicobanya. Kala itu, dia menjajal membuat sebuah gambar dari perintah teks melalui prompt.
Takjub, begitu yang dirasa Motulz. Namun, saat itu dirinya masih belum mengetahui pasti arah teknologi ini akan ke mana. Meski sudah menggunakannya, pemakaiannya masih sekadar untuk kebutuhan kasual, dari pelengkap power point atau main-main saja.
Setelah itu, kehadiran Mid Journey, Sora, maupun produk AI lainnya makin dahsyat. Muncul pula jenama Runway AI, yang bisa mengubah bukan lagi gambar, melainkan video. “Dari semua itu, saya coba satu-satu, eksplorasi semuanya. Kemudian, saya mulai mikir, ketika saya mau bikin konten, nanti butuhnya (aplikasi yang) mana saja?
Baca juga: Hypeprofil Editor Aline Jusria: Resep Bercerita dalam Penyuntingan Film
Keberadaan AI di Dunia Film
Motulz mengatakan keberadaan AI di dunia film mulai masif, dan diprediksi akan lebih besar lagi dalam tahun-tahun mendatang. Di beberapa negara, eksplorasi film AI mulai menuju ke tahap yang serius.Dia menyebut Korea, yang dalam satu tahun bisa sampai memproduksi seribu film AI. Mungkin, lanjutnya, di sana memang eksplorasinya dibuka seluasnya sehingga orang mau mencoba.
Di Indonesia, keberadaan AI di film dilihatnya cukup menarik. Dia merasa secara industri, orang masih wait and see, meski cenderung apatis. Hal itu cukup berbeda misalnya, dengan dunia ilustrator yang cukup menolak.
Motulz melihat AI di dunia film sebagai sebuah keniscayaan. Kecerdasan buatan baginya hanya akan bertindak sebagai alternatif perangkat di dalam bidang kesenian apa pun, termasuk film.
“Fungsinya itu mungkin memang tak akan jauh-jauh sebagai pelengkap atau penambah dari video-video yang sudah dipunya sebelumnya. Jadi, bukan untuk menggantikan,” jelasnya.
Memang, lanjutnya, beberapa fenomena menunjukkan ada intensi film bisa diproduksi oleh AI secara penuh. Di Korea misalnya, mulai banyak film pendek yang diproduksi penuh oleh AI. Motulz pun ketika membuat dokumenter TVRI menggunakan full oleh AI.
Namun, dirinya melihat ini hanyalah bagian dari gejolak teknologi. Ketika teknologi masih baru, orang-orang akan ramai menggunakannya dan mengeksplorasinya. Namun, pada satu titik nanti, akan ada keseimbangan baru dari teknologi ini.
Pencinta kartun Tintin ini menganalogikan seperti teknologi CGI. Keberadaannya sama membuat banyak orang takjub, karena membuat ruang sinema punya eksplorasi yang lebih besar. Film Avatar, misalnya, langsung dibuat dengan permainan CGI yang sangat ekstensif. Teknologi CGI berbasis motion capture digunakan untuk 80 persen dalam film ini
“Namun, setelah itu, apakah film selanjutnya juga menggunakan full CGI? Kan tidak. Pada praktiknya, CGI hanya digunakan untuk membantu adegan-adegan tertentu saja di sebuah film,” imbuhnya.
Ke depan, Motulz memprediksi penggunaan AI akan dapat bersandingan dengan produksi sungguhan. Pada tahap awal, fenomena AI ini mungkin akan menjadi ‘bahan jualan’. Hal ini lantaran teknologi selalu bisa memberikan akselerasi baru. Namun, pada saat teknologi ini mulai masif, orang tidak akan lagi membicarakan AI lagi. Sebab, pada akhirnya, film adalah tentang bercerita.
Hal yang sama juga terjadi pada teknologi CGI. Menurut Motulz, orang sudah tidak peduli film pakai CGI atau tidak. Selama itu kemudian dieksekusi secara realistis, secara cerita pun baik, orang akan menyukainya.
Fenomena AI masuk film dinilai sutradara kelahiran Jakarta ini makin dekat. Sebab, salah satu pendorong ekosistem, yakni kompetisi dan apresiasi mulai bermunculan. Di Korea, Bucheon International Fantastic Film Festival untuk pertama kalinya memunculkan program film untuk menayangkan karya berbasis AI. Di Jakarta Film Week tahun ini juga melakukan hal serupa.
Terkait dengan hak cipta, Motulz mengatakan saat ini hal tersebut memang masih perlu mendapat perhatian sekaligus diskusi yang panjang. Dia memandang etika masih jadi hal penting yang perlu dijaga di tengah deras teknologi ini.
Baca juga: Hypeprofil Sutradara Naya Anindita: Eksplorasi Film Layar Lebar sampai Serial Web Multigenre
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.