Bawa Tema Akulturasi, Karya Eldwin Pradipta Nangkring di Pameran Kongsi Museum Nasional
13 February 2025 |
22:00 WIB
Kiprah seniman Eldwin Pradipta sepertinya kian moncer belakangan ini. Sebab, setelah berhasil menggelar pameran tunggal di KiN Space, perupa muda itu membawa project karya terbarunya pada pameran Kongsi: Akulturasi Tionghoa di Nusantara, di Museum Nasional Indonesia.
Pada pameran yang berlangsung 11 Februari sampai Mei 2025 itu, Eldwin membawa instalasi bertajuk Pola-pola Bejana. Instalasi ini adalah hasil interpretasi seniman dalam memandang sejarah dan budaya Indonesia yang terbentuk dari akulturasi, atau pertemuan dengan budaya lain di dunia.
Baca juga: Pameran Arung di Can's Gallery: Saat Pulau Dewata Direfleksikan Lewat Karya Seni
Berbeda dengan sebelumnya, instalasi yang dipacak di salah satu ruang dekat taman arca ini terlihat lebih ngejreng. Jika karya sebelumnya didominasi warna biru dari bunga lili, kini Genhype akan menemukan kembang lain, yakni mawar yang menyimbolkan ungkapan cinta dari orang-orang peranakan.
Eldwin mengatakan, inovasi dari karya ini berangkat dari pemerannya beberapa tahun silam di Galeri Nasional Indonesia. Kala itu dia ingin mengurai kelindan sejarah mengenai guci yang ditemukan dari kapal-kapal kuno yang karam di perairan Nusantara.
Nusantara, pada masanya menurut Eldwin adalah salah satu tujuan utama perdagangan dunia. Sebagai penghasil rempah terbesar, berbagai bangsa dari belahan bumi lain lalu berbondong-bondong ke sini, untuk mencari rempah dan menukarnya dengan komoditas lain yang mereka bawa, salah satunya guci.
Guci, sejarah, dan akulturasi inilah yang kemudian menginspirasi Eldwin untuk dipresentasikan ulang lewat karya seni. Namun, karena guci rentan pecah maka, materialnya diubah dengan pvc balon, yang selain aman untuk anak juga dapat dimainkan untuk melatih sensorik dan motorik.
"Karena ini didesain untuk anak-anak aku juga mempertimbangkan keamanannya. Jadi, sambil bermain mereka juga bisa diajak untuk belajar sejarah," kata seniman jebolan Institut Teknologi Bandung, itu saat ditemui Hypeabis.id belum lama ini.
Selain karya Eldwin, pengunjung juga dapat berinteraksi dengan senarai hasil akulturasi budaya Tionghoa dengan kebudayaan lokal. Misal, dengan hadirnya alat musik seperti tehyan, rebab dan senarai alat musik lain yang galib digunakan dalam orkes gambang kromong.
Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon mengungkap ihwal dihelatnya pameran ini adalah untuk mengajak masyarakat mengenal lebih jauh tentang sejarah, peran dan warisan budaya masyarakat Tionghoa dalam membentuk keberagaman budaya di Nusantara.
Menurutnya Indonesia yang kita kenal sekarang adalah hasil olah budaya dan pertemuan dari ragam budaya lain di dunia. Nusantara dari zaman baheula sampai era kiwari adalah wilayah melting pot, atau panci lebur yang kelak membentuk budaya-budaya baru.
"Kita merayakan ini sebagai peringatan Imlek dan Cap Go Meh, yang merupakan bentuk akulturasi dengan budaya lokal, yang menambah kekayaan budaya kita, baik dalam karya sastra, lukisan, dan yang lain," katanya.
Diketahui, Cap Go Meh adalah akhir dari rangkaian perayaan tahun baru Imlek yang dilakukan tiap tanggal 15 pada bulan pertama penanggalan Tionghoa. Cap Go Meh adalah perayaan khas di Indonesia dan Malaysia, di China perayaan ini disebut Yuan Xiao Jie.
Pameran Kongsi akan berlangsung selama tiga bulan ke depan. Adapun harga tiket bagi masyarakat yang tertarik datang adalah Rp25.000. Akan tetapi, sebelum menikmati pameran ini masyarakat diwajibkan membeli tiket masuk ke MNI sebesar Rp15.000 bagi anak usia 3-12 tahun, Rp25.000 untuk dewasa dan Rp50.000 untuk WNA.
Pembelian tiket pameran dapat dilakukan secara langsung di tempat yakni di loket museum ataupun melalui aplikasi Traveloka. Dihelatnya pameran ini adalah upaya dari Museum dan Cagar Budaya (IHA) dalam melakukan tugasnya dalam mempromosikan kegiatan budaya sebagai upaya penguatan wawasan masyarakat.
Baca juga: Duplikat Karya Seni Berlisensi, Strategi Baru Tingkatkan Ekonomi Kreatif
Editor: Dika Irawan
Pada pameran yang berlangsung 11 Februari sampai Mei 2025 itu, Eldwin membawa instalasi bertajuk Pola-pola Bejana. Instalasi ini adalah hasil interpretasi seniman dalam memandang sejarah dan budaya Indonesia yang terbentuk dari akulturasi, atau pertemuan dengan budaya lain di dunia.
Baca juga: Pameran Arung di Can's Gallery: Saat Pulau Dewata Direfleksikan Lewat Karya Seni
Berbeda dengan sebelumnya, instalasi yang dipacak di salah satu ruang dekat taman arca ini terlihat lebih ngejreng. Jika karya sebelumnya didominasi warna biru dari bunga lili, kini Genhype akan menemukan kembang lain, yakni mawar yang menyimbolkan ungkapan cinta dari orang-orang peranakan.
Eldwin mengatakan, inovasi dari karya ini berangkat dari pemerannya beberapa tahun silam di Galeri Nasional Indonesia. Kala itu dia ingin mengurai kelindan sejarah mengenai guci yang ditemukan dari kapal-kapal kuno yang karam di perairan Nusantara.
Nusantara, pada masanya menurut Eldwin adalah salah satu tujuan utama perdagangan dunia. Sebagai penghasil rempah terbesar, berbagai bangsa dari belahan bumi lain lalu berbondong-bondong ke sini, untuk mencari rempah dan menukarnya dengan komoditas lain yang mereka bawa, salah satunya guci.
Guci, sejarah, dan akulturasi inilah yang kemudian menginspirasi Eldwin untuk dipresentasikan ulang lewat karya seni. Namun, karena guci rentan pecah maka, materialnya diubah dengan pvc balon, yang selain aman untuk anak juga dapat dimainkan untuk melatih sensorik dan motorik.
"Karena ini didesain untuk anak-anak aku juga mempertimbangkan keamanannya. Jadi, sambil bermain mereka juga bisa diajak untuk belajar sejarah," kata seniman jebolan Institut Teknologi Bandung, itu saat ditemui Hypeabis.id belum lama ini.
Selain karya Eldwin, pengunjung juga dapat berinteraksi dengan senarai hasil akulturasi budaya Tionghoa dengan kebudayaan lokal. Misal, dengan hadirnya alat musik seperti tehyan, rebab dan senarai alat musik lain yang galib digunakan dalam orkes gambang kromong.
Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon mengungkap ihwal dihelatnya pameran ini adalah untuk mengajak masyarakat mengenal lebih jauh tentang sejarah, peran dan warisan budaya masyarakat Tionghoa dalam membentuk keberagaman budaya di Nusantara.
Menurutnya Indonesia yang kita kenal sekarang adalah hasil olah budaya dan pertemuan dari ragam budaya lain di dunia. Nusantara dari zaman baheula sampai era kiwari adalah wilayah melting pot, atau panci lebur yang kelak membentuk budaya-budaya baru.
"Kita merayakan ini sebagai peringatan Imlek dan Cap Go Meh, yang merupakan bentuk akulturasi dengan budaya lokal, yang menambah kekayaan budaya kita, baik dalam karya sastra, lukisan, dan yang lain," katanya.
Diketahui, Cap Go Meh adalah akhir dari rangkaian perayaan tahun baru Imlek yang dilakukan tiap tanggal 15 pada bulan pertama penanggalan Tionghoa. Cap Go Meh adalah perayaan khas di Indonesia dan Malaysia, di China perayaan ini disebut Yuan Xiao Jie.
Pameran Kongsi akan berlangsung selama tiga bulan ke depan. Adapun harga tiket bagi masyarakat yang tertarik datang adalah Rp25.000. Akan tetapi, sebelum menikmati pameran ini masyarakat diwajibkan membeli tiket masuk ke MNI sebesar Rp15.000 bagi anak usia 3-12 tahun, Rp25.000 untuk dewasa dan Rp50.000 untuk WNA.
Pembelian tiket pameran dapat dilakukan secara langsung di tempat yakni di loket museum ataupun melalui aplikasi Traveloka. Dihelatnya pameran ini adalah upaya dari Museum dan Cagar Budaya (IHA) dalam melakukan tugasnya dalam mempromosikan kegiatan budaya sebagai upaya penguatan wawasan masyarakat.
Baca juga: Duplikat Karya Seni Berlisensi, Strategi Baru Tingkatkan Ekonomi Kreatif
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.