Pameran Arung di Can's Gallery: Saat Pulau Dewata Direfleksikan Lewat Karya Seni
06 February 2025 |
08:00 WIB
Can's Gallery kembali menggelar seteleng seni yang dapat menjadi acuan Genhype untuk menikmati waktu senggang. Terbaru, salah satu galeri seni di Jakarta itu menghelat pameran grup dari para seniman terkemuka di Tanah Air bertajuk Arung yang berlangsung hingga 24 Februari 2025.
Sesuai tajuknya, pameran ini mengajak Genhype untuk 'mengarungi' perkembangan seni rupa Bali yang lekat akan tradisi. Lain dari itu ekshibisi ini juga mengetengahkan isu bagaimana seniman kontemporer merespon tradisi tersebut dengan pendekatan mutakhir.
Baca juga: Bermain dengan Data Ala Seniman Ryoji Ikeda di Pameran Scan.Tron.Flux.
Terdapat 11 seniman yang membedah tema tersebut dengan teknik, material dan medium beragam. Ada yang mengungkai dekolonisasi dan isu identitas, hingga bagaimana memandang dinamika sosial, serta budaya adat yang kian tergerus.
Sejumlah seniman itu adalah Budi Agung Kuswara, I Gede Sukarya, Kuncir Sathya Viku, Made Valasara, dan Darmika Solar. Ada pula Jemana Murti, Kemalezedine, Kun Adnyana, Nyoman Darmawan, Putu Sutawijaya, dan Wayan Upadana.
Salah satu yang menggugah mata pengunjung dalam pameran ini adalah karya Budi Agung Kuswara. Seniman jebolan Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, itu memboyong lukisan bertajuk Anonymous Deities from the East.
Dari segi ukuran, karya ini sudah meneror. Berdimensi 200 X 145 cm, si empu lukisan seperti merefleksikan bagaimana Bali yang kita kenal sekarang, justru dibentuk oleh orang-orang 'anonim' yang kala itu tanpa disadari memperkenalkan Island of Paradise.
Di bidang kanvasnya, kita akan melihat sosok-sosok anonim, baik masyarakat lokal yang menjadi objek, atau orang-orang di baliknya. Mereka yang pada suatu masa mempromosikan Bali sebagai destinasi wisata dengan keeksotisan dan kemolekannya.
Senarai idiom dan penanda juga dihadirkan oleh si seniman. Iklim yang tropis hadir dari buah nanas yang mengkilap. Tumbuh-tumbuhan hijau yang asri tampil di atas guci-guci China, serta arsip-arsip kolonisasi dalam bingkai pigura.
Yang terang, kolase yang ditata sebagai komposisi itu seolah menjadi gugatan, atau mungkin, rasa terimakasih sang seniman dalam melihat situasi Bali di masa sekarang. Bali dengan segala pertemuan budaya dan pluralitas yang melebur menjadi sebuah brand.
Dalam pengkaryaannya, seniman yang karib sisapa Kabul itu, juga menggunakan teknik cetak fotografi cyanotype, dari hasil pencahayaan matahari. Pilihan ini juga bukan tanpa alasan. Sebab, peredaran matahari sendiri juga dimaknai sebagai gerak waktu.
Budi mengatakan, cyanotype awalnya difungsikan untuk merekam the other atau liyan, dalam konteks kolonial Eropa. Dari sinilah dia membalikkan narasinya dengan merekam ulang data-data arsip tersebut dengan sinar matahari kembali sebagai penanda waktu.
"Ini tentang bagaimana mereka [Eropa] memotret tentang Bali di zaman itu, dan memunculkannya sebagai konsumsi publik untuk orang punya panduan melihat Bali secara tidak langsung," katanya.
Corak berbeda yang masih mengetengahkan isu sosial atau mungkin gugatan, juga terekam dalam karya I Gede Sukarya. Seniman yang beberapa tahun terakhir menekuni material kulit itu, menghadirkan semacam protes terhadap tradisi Bali yang luntur oleh modernisasi.
Dikemas dalam karya Woman and Man from Maduekarang, tatahan kulit yang terdiri dari 2 bidang ini mengimak objek lelaki dan perempuan dalam balutan baju adat Bali. Di sana terdapat stilisasi ornamen yang lazimnya ditemukan di pura-pura tempat sembahyang umat Hindu.
Apa yang dihadirkan dalam karya ini, menurut Sukarya, berangkat dari keresahannya saat sebuah pura dipugar cenderung menghilangkan pahatan-pahatan relief yang terpacak. Ironisnya, peristiwa ini terjadi justru saat pihak pura mendapatkan bantuan sosial terkait pemugaran.
Perubahan Kultur
Tak dapat dimungkiri Bali terus berevolusi sejak 'surga' itu berhasil memikat bangsa Eropa dengan eksotismenya. Namun, di tengah tempik sorak tersebut juga terjadi perubahan sosial, dari masyarakat dengan budaya agraris yang beralih menjadi industri wisata.
Tak ayal, senarai masalah sosial-lingkungan turut menyeruak. Alih fungsi lahan produktif menjadi lahan hunian sangat masif di sana. Pendek kata, terjadi perubahan cara pandang masyarakat dalam memaknai warisan budaya di tengah modernitas.
Momen ini, dengan cergas diejawantahkan oleh Darmika Solar dan Wayan Kun Adnyana. Dua seniman yang, meski usianya terpaut jauh itu sepertinya menyadari ada sesuatu yang salah dari dampak pariwisata Bali yang kian hari makin over kapasitas.
Lewat karya Guardian of Holly Water (2025), Darmika Solar mengkritisi bagaimana penggunaan sumber daya air di Bali yang dimonopoli oleh industri pariwisata. Padahal, air bagi masyarakat Bali memiliki makna spiritual sekaligus sumber utama kehidupan makhluk hidup.
Dengan stilisasi kekhasan masing-masing, Darmika cenderung berkolase bersama objek-objek yang dilukis. Salah satunya dengan menghadirkan perkembangan estetika seni yang dikenal sampai saat ini seperti realisme, pixel art, dan pop art.
Sementara itu, Kun bercerita lewat figur-figur bersayap dalam karya bertajuk Winged Soldier Waiting A Rain (2024). Menggunakan semiotika dengan sentuhan yang puitis, Kun menghadirkan objek pohon besar tanpa daun, dengan malaikat pendoa yang mendambakan hujan.
Warna biru yang merefleksikan air, dilukis dinamis untuk mengajak pengunjung berkaca dan melihat kembali realitas air di Bali. Idiom pohon sebagai sumber kehidupan, yang kian menipis di akibat alih fungsional lahan. Atau, tentang pohon tempat air diperam yang daunnya meranggas.
Savitri Sastrawan, penulis pameran mengatakan, seteleng ini memang ingin merefleksikan kembali Bali lewat capaian-capaian estetika para perupa di dalamnya. Karya-karya yang disuguhkan diharap juga dapat mengundang pengunjung dalam sebuah perbincangan tentang situasi Bali hari ini.
"Setelah mengarungi cerita-cerita mereka, kiranya dapat menjadi bekal untuk kita semua, tentang identitas, budaya, seni dan manusia," katanya.
Baca juga: Pameran Imersif This Is Taylor Swift Hadir di Jakarta, Begini Cara Dapat Tiketnya
Editor: Dika Irawan
Sesuai tajuknya, pameran ini mengajak Genhype untuk 'mengarungi' perkembangan seni rupa Bali yang lekat akan tradisi. Lain dari itu ekshibisi ini juga mengetengahkan isu bagaimana seniman kontemporer merespon tradisi tersebut dengan pendekatan mutakhir.
Baca juga: Bermain dengan Data Ala Seniman Ryoji Ikeda di Pameran Scan.Tron.Flux.
Terdapat 11 seniman yang membedah tema tersebut dengan teknik, material dan medium beragam. Ada yang mengungkai dekolonisasi dan isu identitas, hingga bagaimana memandang dinamika sosial, serta budaya adat yang kian tergerus.
Sejumlah seniman itu adalah Budi Agung Kuswara, I Gede Sukarya, Kuncir Sathya Viku, Made Valasara, dan Darmika Solar. Ada pula Jemana Murti, Kemalezedine, Kun Adnyana, Nyoman Darmawan, Putu Sutawijaya, dan Wayan Upadana.
Salah satu yang menggugah mata pengunjung dalam pameran ini adalah karya Budi Agung Kuswara. Seniman jebolan Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, itu memboyong lukisan bertajuk Anonymous Deities from the East.
Dari segi ukuran, karya ini sudah meneror. Berdimensi 200 X 145 cm, si empu lukisan seperti merefleksikan bagaimana Bali yang kita kenal sekarang, justru dibentuk oleh orang-orang 'anonim' yang kala itu tanpa disadari memperkenalkan Island of Paradise.
Di bidang kanvasnya, kita akan melihat sosok-sosok anonim, baik masyarakat lokal yang menjadi objek, atau orang-orang di baliknya. Mereka yang pada suatu masa mempromosikan Bali sebagai destinasi wisata dengan keeksotisan dan kemolekannya.
Karya Budi Agung Kuswara bertajuk Anonymous Deities from the East, yang dipamerkan dalam seteleng Arung di Can's Gallery (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Yang terang, kolase yang ditata sebagai komposisi itu seolah menjadi gugatan, atau mungkin, rasa terimakasih sang seniman dalam melihat situasi Bali di masa sekarang. Bali dengan segala pertemuan budaya dan pluralitas yang melebur menjadi sebuah brand.
Dalam pengkaryaannya, seniman yang karib sisapa Kabul itu, juga menggunakan teknik cetak fotografi cyanotype, dari hasil pencahayaan matahari. Pilihan ini juga bukan tanpa alasan. Sebab, peredaran matahari sendiri juga dimaknai sebagai gerak waktu.
Budi mengatakan, cyanotype awalnya difungsikan untuk merekam the other atau liyan, dalam konteks kolonial Eropa. Dari sinilah dia membalikkan narasinya dengan merekam ulang data-data arsip tersebut dengan sinar matahari kembali sebagai penanda waktu.
"Ini tentang bagaimana mereka [Eropa] memotret tentang Bali di zaman itu, dan memunculkannya sebagai konsumsi publik untuk orang punya panduan melihat Bali secara tidak langsung," katanya.
Corak berbeda yang masih mengetengahkan isu sosial atau mungkin gugatan, juga terekam dalam karya I Gede Sukarya. Seniman yang beberapa tahun terakhir menekuni material kulit itu, menghadirkan semacam protes terhadap tradisi Bali yang luntur oleh modernisasi.
Dikemas dalam karya Woman and Man from Maduekarang, tatahan kulit yang terdiri dari 2 bidang ini mengimak objek lelaki dan perempuan dalam balutan baju adat Bali. Di sana terdapat stilisasi ornamen yang lazimnya ditemukan di pura-pura tempat sembahyang umat Hindu.
karya I Gede Sukarya bertajuk Woman and Man from Maduekarang yang dipamerkan dalam seteleng Arung di Can's Gallery (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Perubahan Kultur
Tak dapat dimungkiri Bali terus berevolusi sejak 'surga' itu berhasil memikat bangsa Eropa dengan eksotismenya. Namun, di tengah tempik sorak tersebut juga terjadi perubahan sosial, dari masyarakat dengan budaya agraris yang beralih menjadi industri wisata.
Tak ayal, senarai masalah sosial-lingkungan turut menyeruak. Alih fungsi lahan produktif menjadi lahan hunian sangat masif di sana. Pendek kata, terjadi perubahan cara pandang masyarakat dalam memaknai warisan budaya di tengah modernitas.
Momen ini, dengan cergas diejawantahkan oleh Darmika Solar dan Wayan Kun Adnyana. Dua seniman yang, meski usianya terpaut jauh itu sepertinya menyadari ada sesuatu yang salah dari dampak pariwisata Bali yang kian hari makin over kapasitas.
Lewat karya Guardian of Holly Water (2025), Darmika Solar mengkritisi bagaimana penggunaan sumber daya air di Bali yang dimonopoli oleh industri pariwisata. Padahal, air bagi masyarakat Bali memiliki makna spiritual sekaligus sumber utama kehidupan makhluk hidup.
Dengan stilisasi kekhasan masing-masing, Darmika cenderung berkolase bersama objek-objek yang dilukis. Salah satunya dengan menghadirkan perkembangan estetika seni yang dikenal sampai saat ini seperti realisme, pixel art, dan pop art.
karya Wayan Kun Adnyana bertajuk Winged Soldier Waiting A Rain, yang dipamerkan dalam seteleng Arung di Can's Gallery (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Warna biru yang merefleksikan air, dilukis dinamis untuk mengajak pengunjung berkaca dan melihat kembali realitas air di Bali. Idiom pohon sebagai sumber kehidupan, yang kian menipis di akibat alih fungsional lahan. Atau, tentang pohon tempat air diperam yang daunnya meranggas.
Savitri Sastrawan, penulis pameran mengatakan, seteleng ini memang ingin merefleksikan kembali Bali lewat capaian-capaian estetika para perupa di dalamnya. Karya-karya yang disuguhkan diharap juga dapat mengundang pengunjung dalam sebuah perbincangan tentang situasi Bali hari ini.
"Setelah mengarungi cerita-cerita mereka, kiranya dapat menjadi bekal untuk kita semua, tentang identitas, budaya, seni dan manusia," katanya.
Baca juga: Pameran Imersif This Is Taylor Swift Hadir di Jakarta, Begini Cara Dapat Tiketnya
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.