Duplikat Karya Seni Berlisensi, Strategi Baru Tingkatkan Ekonomi Kreatif
18 January 2025 |
14:17 WIB
Di tengah upaya mendongkrak kontribusi seni terhadap ekonomi kreatif Indonesia, Kementerian Ekonomi Kreatif (Kemenekraf) memperkenalkan gagasan baru: penjualan duplikat karya seni berlisensi resmi. Selain membuka peluang royalti bagi seniman, langkah ini juga bertujuan membuat seni lebih terjangkau bagi masyarakat luas.
Wakil Menteri Ekonomi Kreatif Irene Umar menjelaskan bahwa konsep ini tidak hanya membantu seniman meningkatkan pendapatan, tetapi juga memperluas akses masyarakat terhadap karya seni berkualitas. Menurutnya, dengan lisensi resmi, seniman dapat memperoleh royalti sebesar 10 persen dari harga jual setiap duplikat yang terjual.
“Dengan begitu, seniman dapat memperoleh royalti, misalnya 10 persen dari harga jual. Langkah ini juga membuat karya seni lebih terjangkau bagi masyarakat,” ujar Irene dalam pertemuan dengan tim ARTJOG di Jakarta, seperti dikutip melalui siaran pers, Sabtu (18/1/2025).
Baca juga: Kolaborasi UMKM dan Wisata Dorong Ekraf, Pendopo Bawa Produk Sarat Budaya ke TMII
Irene juga menyampaikan apresiasinya atas kesuksesan ARTJOG dalam mengembangkan ekosistem seni di Yogyakarta. Dia berharap konsep ARTJOG dapat direplikasi di kota-kota lain dengan dukungan pemerintah untuk memperkuat ekonomi kreatif berbasis seni di Indonesia.
Menanggapi hal ini, Pendiri ARTJOG Heri Pemad menegaskan bahwa kolaborasi antara pemerintah dan pelaku seni sangat penting untuk membangun ekosistem seni yang berkelanjutan. Menurutnya, dukungan pemerintah dapat meningkatkan infrastruktur, memperluas pasar, serta memperkuat regulasi di sektor kreatif.
“Peran aktif pemerintah sangat dibutuhkan. Kolaborasi ini tidak hanya memperkuat posisi seniman di pasar lokal, tetapi juga membuka peluang lebih besar untuk mengembangkan seni Indonesia di kancah internasional,” jelas Heri.
Irene juga menyampaikan bahwa pertemuan dengan tim ARTJOG di Jakarta baru-baru ini bertujuan untuk mempelajari kesuksesan salah satu pameran seni terkemuka di Indonesia tersebut.
Irene berharap bisa memahami konsep di balik pameran ARTJOG, sehingga dapat mengadaptasi dan menerapkannya di kota-kota lain. Selain itu, pertemuan tersebut juga bertujuan untuk mengeksplorasi peluang kerja sama yang dapat mendukung perkembangan seni di berbagai daerah.
"Kami ingin belajar dari kesuksesan ARTJOG, memahami konsepnya, dan mengadaptasikannya di kota-kota lain, serta mencari peluang kerja sama untuk meningkatkan ekonomi kreatif melalui seni sehingga dapat meningkatkan destinasi Yogyakarta dan ekonomi kreatif di Indonesia," kata Wamenekraf Irene.
Pada 20 Juni 2025 mendatang, ARTJOG akan mengadakan pameran ARTJOG pada 2025 dengan tema Motif: Amalan, yang berangkat dari dua pertanyaan penting.
Pertama, apakah praktik seniman dan karya seni mereka dapat dianggap sebagai suatu amalan? Kedua, apakah amalan seni hanya terbatas pada dunia seni itu sendiri, ataukah bisa memberi dampak pada kehidupan bersama yang lebih luas?
Menurut Kurator Tamara ARTJOG 2025, Hendro Wijayanto, tema ini bukanlah sesuatu yang dapat dilihat secara langsung. Penilaiannya dapat berubah seiring waktu dan hanya bisa dinilai melalui konteks masa dan ekosistem yang ada.
"Dia tidak ditentukan oleh pribadi, tetapi diuji oleh masanya, oleh waktu, dan oleh ekosistem yang bekerja," ujarnya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Wakil Menteri Ekonomi Kreatif Irene Umar menjelaskan bahwa konsep ini tidak hanya membantu seniman meningkatkan pendapatan, tetapi juga memperluas akses masyarakat terhadap karya seni berkualitas. Menurutnya, dengan lisensi resmi, seniman dapat memperoleh royalti sebesar 10 persen dari harga jual setiap duplikat yang terjual.
“Dengan begitu, seniman dapat memperoleh royalti, misalnya 10 persen dari harga jual. Langkah ini juga membuat karya seni lebih terjangkau bagi masyarakat,” ujar Irene dalam pertemuan dengan tim ARTJOG di Jakarta, seperti dikutip melalui siaran pers, Sabtu (18/1/2025).
Baca juga: Kolaborasi UMKM dan Wisata Dorong Ekraf, Pendopo Bawa Produk Sarat Budaya ke TMII
Irene juga menyampaikan apresiasinya atas kesuksesan ARTJOG dalam mengembangkan ekosistem seni di Yogyakarta. Dia berharap konsep ARTJOG dapat direplikasi di kota-kota lain dengan dukungan pemerintah untuk memperkuat ekonomi kreatif berbasis seni di Indonesia.
Menanggapi hal ini, Pendiri ARTJOG Heri Pemad menegaskan bahwa kolaborasi antara pemerintah dan pelaku seni sangat penting untuk membangun ekosistem seni yang berkelanjutan. Menurutnya, dukungan pemerintah dapat meningkatkan infrastruktur, memperluas pasar, serta memperkuat regulasi di sektor kreatif.
“Peran aktif pemerintah sangat dibutuhkan. Kolaborasi ini tidak hanya memperkuat posisi seniman di pasar lokal, tetapi juga membuka peluang lebih besar untuk mengembangkan seni Indonesia di kancah internasional,” jelas Heri.
Irene juga menyampaikan bahwa pertemuan dengan tim ARTJOG di Jakarta baru-baru ini bertujuan untuk mempelajari kesuksesan salah satu pameran seni terkemuka di Indonesia tersebut.
Irene berharap bisa memahami konsep di balik pameran ARTJOG, sehingga dapat mengadaptasi dan menerapkannya di kota-kota lain. Selain itu, pertemuan tersebut juga bertujuan untuk mengeksplorasi peluang kerja sama yang dapat mendukung perkembangan seni di berbagai daerah.
"Kami ingin belajar dari kesuksesan ARTJOG, memahami konsepnya, dan mengadaptasikannya di kota-kota lain, serta mencari peluang kerja sama untuk meningkatkan ekonomi kreatif melalui seni sehingga dapat meningkatkan destinasi Yogyakarta dan ekonomi kreatif di Indonesia," kata Wamenekraf Irene.
Pada 20 Juni 2025 mendatang, ARTJOG akan mengadakan pameran ARTJOG pada 2025 dengan tema Motif: Amalan, yang berangkat dari dua pertanyaan penting.
Pertama, apakah praktik seniman dan karya seni mereka dapat dianggap sebagai suatu amalan? Kedua, apakah amalan seni hanya terbatas pada dunia seni itu sendiri, ataukah bisa memberi dampak pada kehidupan bersama yang lebih luas?
Menurut Kurator Tamara ARTJOG 2025, Hendro Wijayanto, tema ini bukanlah sesuatu yang dapat dilihat secara langsung. Penilaiannya dapat berubah seiring waktu dan hanya bisa dinilai melalui konteks masa dan ekosistem yang ada.
"Dia tidak ditentukan oleh pribadi, tetapi diuji oleh masanya, oleh waktu, dan oleh ekosistem yang bekerja," ujarnya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.