Hypereport: Dedikasi Teater untuk Seni dan Pemberdayaan
14 February 2025 |
14:08 WIB
Lebih dari sekadar profesi, seni pertunjukan teater adalah kehidupan bagi para seniman di dalamnya. Dengan rasa cinta dan kasih sayang, mereka telah melakukan banyak hal terhadap seni pertunjukan atau menggunakannya untuk tujuan lebih mulia—membantu dan memberdayakan masyarakat luas.
Di antara nama seniman pertunjukan teater, nama Jose Rizal Manua adalah salah satu tokoh yang ada di dalamnya. Pria kelahiran Padang, Sumatra Barat, pada 14 September 1954 itu telah mencurahkan seluruh hidup yang dimiliki untuk seni pertunjukan teater.
Pada usianya yang tidak lagi muda, dia masih terus berkarya dan menjadi pemimpin Teater Tanah Air. Selain di dalam negeri, teater anak-anak itu telah tampil di berbagai negara dan membanggakan nama Indonesia.
Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Ragam Ekspresi Cinta Para Musisi Terhadap Dunia Musik
2. Hypereport: Cinta & Dedikasi Para Seniman Visual dalam Berbagai Rupa
3. Hypereport: Daftar 10 Selebritas Dunia yang Aktif di Bidang Filantropi
4. Hypereport: Deretan Karya & Alat Musik yang Dilelang untuk Amal dengan Harga Tinggi
Lebih dari itu, Jose telah mencetak generasi penerus di seni teater. Banyak nama besar dalam dunia pertunjukan pernah menjadi bagian dari teater yang ia dirikan dan memperoleh pendidikan darinya.
Perjalanannya di dunia teater dimulai pada 1970-an, ketika ia bergabung dengan grup teater untuk menghindari lingkungan yang dipenuhi narkoba dan krisis ekonomi. Menemukan kenyamanan di Taman Ismail Marzuki, ia mulai menekuni seni pertunjukan secara serius.
“Untuk menghindari itu [narkoba] saya ke Taman Ismail Marsuki. Saya gabung dengan grup teater. Di sana, bagi saya nyaman, ternyata belajar main teater itu asyik,” katanya ke Hypeabis.id.
Seiring waktu, Jose bekerja di Taman Ismail Marzuki, bergabung dengan berbagai kelompok teater, termasuk Bengkel Teater Rendra. Ia kemudian melanjutkan pendidikan formalnya di Institut Kesenian Jakarta dan ISI Surakarta, mendalami ilmu penyutradaraan.
“Jadi, betul-betul saya mendalami ilmu teater itu untuk bisa survive,” ujarnya.
Pada 1975, ia mendirikan Teater Adinda yang sempat berjaya sebelum meredup di era 1980-an. Tak ingin berhenti, Jose membentuk Teater Tanah Air pada 1988 seorang diri agar dapat mengembangkan teater tanpa bergantung pada orang lain.
Jose memilih teater anak karena melihat minimnya pemahaman terhadap psikologi anak dalam pertunjukan. Banyak grup melatih anak-anak agar tampil seperti orang dewasa, bukan sebagai diri mereka sendiri. Metode Teater Tanah Air justru menonjolkan kreativitas anak, membawanya tampil di berbagai festival dunia.
“Kebanyakan kalau kita lihat pertunjukan-pertunjukan apakah itu di televisi, di Youtube, di mana-mana, itu anak-anak itu menjadi dewasa di atas panggung ketika mereka garap. Jadi, anak-anak tidak mempresentasikan kreativitasnya sebagai anak,” ujarnya.
Kondisi anak di atas panggung yang tidak merepresentasikan kreativitas sebagai anak-anak dapat terjadi lantaran cara melatih yang diterapkan oleh grup tersebut. Berbeda dengan banyak grup teater, cara melatih Teater Tanah Air tetap menonjolkan kreativitas mereka sebagai anak-anak. Metode itu membuat Teater Tanah Air kerap tampil berbagai festival di dunia.
Awalnya, ia tidak menarik biaya dari anggota. Baru setelah 15 tahun, iuran mulai diberlakukan, meski jumlahnya tidak mencukupi. Ia bahkan sering menggunakan uang pribadinya untuk mendukung keberlangsungan teater.
Lebih dari sekadar akting, Teater Tanah Air mengajarkan anak-anak tentang kehidupan, bersosialisasi, dan bekerja sama. Bagi Jose, teater bukan hanya seni, tetapi juga alat pembelajaran karakter dan etika sejak dini.
Ia menilai teater penting bagi anak-anak Indonesia. Sayangnya, pelajaran seni peran yang ada di tingkat TK tidak berlanjut ke SD dan jenjang lebih tinggi. Padahal, jika terus dikembangkan, anak-anak akan tumbuh menjadi individu yang kreatif dan berempati.
Saat ini, teater semakin berkembang di Jakarta dengan banyak festival dan kelompok di sekolah. Namun, di daerah lain, pertumbuhan masih terbatas karena minimnya dukungan dan dana.
Meski menghadapi berbagai keterbatasan, Jose tetap berkomitmen memaksimalkan yang ada untuk menciptakan seni pertunjukan yang bermakna. Ia bersama Teater Tanah Air terus menggelar pentas gratis, membuktikan bahwa seni adalah bentuk cinta dan pengabdian.
“Di teater, mereka belajar bekerja sama, menghormati, dan menghargai orang lain, yang merupakan manfaat utama teater dalam kehidupan,” katanya.
Rasa cinta seniman dan juga sutradara seni pertunjukan teater Lena Simanjuntak terhadap seni pertunjukan berbeda lagi. Wanita yang kini tinggal di Jerman itu menggunakan teater sebagai pendidikan dan penguatan masyarakat termarjinalkan, khususnya perempuan.
Lewat yayasan yang didirikan bernama Cahaya Perempuan dan Budaya Indonesia, wanita yang aktif di seni pertunjukan teater itu fokus terhadap masyarakat termarjinalkan lantaran kerap tidak tersentuh oleh banyak orang.
Lena mulai berpikir menggunakan seni pertunjukan teater untuk memberdayakan masyarakat atau teater pemberdayaan ketika berada di Jerman. Kala itu, kesadarannya tentang fungsi lain seni pertunjukan itu muncul ketika membuat pertunjukan di penjara pada 1990an.
“Saya melihat mulanya di Jerman saya itu sebagai orang teater biasa, orang seni teater yang main di panggung dan apa. Entah kenapa saya membutuhkan panggung yang lebih luas,” ujarnya kepada Hypeabis.id di Jakarta.
Dia pun memutuskan untuk terjun ke masyarakat dan menjadikannya sebagai panggung yang lebih luas lantaran banyak yang bisa dibuat melalui pertunjukan teater. Seni pertunjukan ini lebih efektif dalam menyampaikan pesan atau memberikan pengaruh kepada masyarakat dibandingkan dengan ceramah atau lainnya.
Beberapa faktor membuat seni pertunjukan teater menjadi sarana yang efektif. Pertama, dalam teater, para pemain berinteraksi langsung dengan penonton, memungkinkan pesan yang disampaikan lebih terasa nyata dan menggugah.
Kedua, budaya lisan dan kebiasaan menonton masih sangat kuat di masyarakat Indonesia, bahkan sejak dulu, jika dibandingkan dengan budaya membaca. Karena itu, teater menjadi medium yang lebih mudah diterima.
Selain itu, sebagai lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), ia menyadari bahwa masyarakat Indonesia telah lama mengenal teater rakyat. Hal ini mendorongnya untuk mengembangkan teater sebagai sarana pemberdayaan, dengan melibatkan masyarakat secara langsung dalam proses kreatifnya.
Dalam menjalankan programnya, Lena menghadapi berbagai tantangan, termasuk jarak antara Indonesia dan Jerman yang mengharuskannya sering bolak-balik. Perjalanan ini memakan waktu dan membuatnya harus meninggalkan keluarga dalam waktu lama.
Selain itu, ia juga menyadari bahwa dirinya tidak mengetahui banyak tentang Indonesia secara langsung. Namun, melalui interaksi dengan masyarakat termarjinalkan, ia belajar bahwa mereka sangat cerdas dan kreatif, hanya saja tidak memiliki ruang untuk mengekspresikan diri.
"Mereka sebenarnya sangat jenius dan Indonesia begitu kaya, tapi tidak diberi ruang. Begitu kesempatan berteater diberikan, mereka langsung bisa mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka. Itu luar biasa," ungkapnya.
Pendanaan menjadi tantangan lain, tetapi Lena dan timnya tetap berkomitmen melanjutkan program mereka, dengan atau tanpa dana. Mereka bahkan sering membiayai sendiri kegiatan mereka demi memastikan teater pemberdayaan tetap berjalan.
Persinggungan dengan pihak-pihak tertentu yang tidak senang dengan tema pertunjukan mereka juga menjadi risiko yang harus dihadapi. Topik-topik seperti buruh perkebunan, nelayan, pelacuran, dan pertanian kerap menimbulkan ketegangan dengan kelompok-kelompok berkepentingan.
Selama lebih dari 20 tahun, Lena bersama Yayasan Cahaya Perempuan dan Budaya Indonesia telah memberdayakan banyak masyarakat. Metode teater yang diterapkannya telah mengubah banyak perempuan menjadi individu yang lebih kuat dan berani mengambil peran dalam pengambilan kebijakan.
Hasil dari perjuangannya terlihat jelas: perempuan yang dahulu terpinggirkan kini memiliki suara dalam masyarakat, bahkan di pemerintahan. Lena terus berjuang untuk memberikan ruang bagi mereka, memastikan bahwa teater bukan hanya seni, tetapi juga alat perubahan sosial yang nyata.
Baca juga: Ekspresi Anak Pejuang Kanker dalam Teater Simfoni Suara-Suara Tak Terdengar
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Di antara nama seniman pertunjukan teater, nama Jose Rizal Manua adalah salah satu tokoh yang ada di dalamnya. Pria kelahiran Padang, Sumatra Barat, pada 14 September 1954 itu telah mencurahkan seluruh hidup yang dimiliki untuk seni pertunjukan teater.
Pada usianya yang tidak lagi muda, dia masih terus berkarya dan menjadi pemimpin Teater Tanah Air. Selain di dalam negeri, teater anak-anak itu telah tampil di berbagai negara dan membanggakan nama Indonesia.
Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Ragam Ekspresi Cinta Para Musisi Terhadap Dunia Musik
2. Hypereport: Cinta & Dedikasi Para Seniman Visual dalam Berbagai Rupa
3. Hypereport: Daftar 10 Selebritas Dunia yang Aktif di Bidang Filantropi
4. Hypereport: Deretan Karya & Alat Musik yang Dilelang untuk Amal dengan Harga Tinggi
Lebih dari itu, Jose telah mencetak generasi penerus di seni teater. Banyak nama besar dalam dunia pertunjukan pernah menjadi bagian dari teater yang ia dirikan dan memperoleh pendidikan darinya.
Perjalanannya di dunia teater dimulai pada 1970-an, ketika ia bergabung dengan grup teater untuk menghindari lingkungan yang dipenuhi narkoba dan krisis ekonomi. Menemukan kenyamanan di Taman Ismail Marzuki, ia mulai menekuni seni pertunjukan secara serius.
“Untuk menghindari itu [narkoba] saya ke Taman Ismail Marsuki. Saya gabung dengan grup teater. Di sana, bagi saya nyaman, ternyata belajar main teater itu asyik,” katanya ke Hypeabis.id.
Seiring waktu, Jose bekerja di Taman Ismail Marzuki, bergabung dengan berbagai kelompok teater, termasuk Bengkel Teater Rendra. Ia kemudian melanjutkan pendidikan formalnya di Institut Kesenian Jakarta dan ISI Surakarta, mendalami ilmu penyutradaraan.
“Jadi, betul-betul saya mendalami ilmu teater itu untuk bisa survive,” ujarnya.
Pada 1975, ia mendirikan Teater Adinda yang sempat berjaya sebelum meredup di era 1980-an. Tak ingin berhenti, Jose membentuk Teater Tanah Air pada 1988 seorang diri agar dapat mengembangkan teater tanpa bergantung pada orang lain.
Jose memilih teater anak karena melihat minimnya pemahaman terhadap psikologi anak dalam pertunjukan. Banyak grup melatih anak-anak agar tampil seperti orang dewasa, bukan sebagai diri mereka sendiri. Metode Teater Tanah Air justru menonjolkan kreativitas anak, membawanya tampil di berbagai festival dunia.
“Kebanyakan kalau kita lihat pertunjukan-pertunjukan apakah itu di televisi, di Youtube, di mana-mana, itu anak-anak itu menjadi dewasa di atas panggung ketika mereka garap. Jadi, anak-anak tidak mempresentasikan kreativitasnya sebagai anak,” ujarnya.
Kondisi anak di atas panggung yang tidak merepresentasikan kreativitas sebagai anak-anak dapat terjadi lantaran cara melatih yang diterapkan oleh grup tersebut. Berbeda dengan banyak grup teater, cara melatih Teater Tanah Air tetap menonjolkan kreativitas mereka sebagai anak-anak. Metode itu membuat Teater Tanah Air kerap tampil berbagai festival di dunia.
Awalnya, ia tidak menarik biaya dari anggota. Baru setelah 15 tahun, iuran mulai diberlakukan, meski jumlahnya tidak mencukupi. Ia bahkan sering menggunakan uang pribadinya untuk mendukung keberlangsungan teater.
Lebih dari sekadar akting, Teater Tanah Air mengajarkan anak-anak tentang kehidupan, bersosialisasi, dan bekerja sama. Bagi Jose, teater bukan hanya seni, tetapi juga alat pembelajaran karakter dan etika sejak dini.
Ia menilai teater penting bagi anak-anak Indonesia. Sayangnya, pelajaran seni peran yang ada di tingkat TK tidak berlanjut ke SD dan jenjang lebih tinggi. Padahal, jika terus dikembangkan, anak-anak akan tumbuh menjadi individu yang kreatif dan berempati.
Saat ini, teater semakin berkembang di Jakarta dengan banyak festival dan kelompok di sekolah. Namun, di daerah lain, pertumbuhan masih terbatas karena minimnya dukungan dan dana.
Meski menghadapi berbagai keterbatasan, Jose tetap berkomitmen memaksimalkan yang ada untuk menciptakan seni pertunjukan yang bermakna. Ia bersama Teater Tanah Air terus menggelar pentas gratis, membuktikan bahwa seni adalah bentuk cinta dan pengabdian.
“Di teater, mereka belajar bekerja sama, menghormati, dan menghargai orang lain, yang merupakan manfaat utama teater dalam kehidupan,” katanya.
Cahaya Perempuan dan Budaya Indonesia
Rasa cinta seniman dan juga sutradara seni pertunjukan teater Lena Simanjuntak terhadap seni pertunjukan berbeda lagi. Wanita yang kini tinggal di Jerman itu menggunakan teater sebagai pendidikan dan penguatan masyarakat termarjinalkan, khususnya perempuan.Lewat yayasan yang didirikan bernama Cahaya Perempuan dan Budaya Indonesia, wanita yang aktif di seni pertunjukan teater itu fokus terhadap masyarakat termarjinalkan lantaran kerap tidak tersentuh oleh banyak orang.
Lena mulai berpikir menggunakan seni pertunjukan teater untuk memberdayakan masyarakat atau teater pemberdayaan ketika berada di Jerman. Kala itu, kesadarannya tentang fungsi lain seni pertunjukan itu muncul ketika membuat pertunjukan di penjara pada 1990an.
“Saya melihat mulanya di Jerman saya itu sebagai orang teater biasa, orang seni teater yang main di panggung dan apa. Entah kenapa saya membutuhkan panggung yang lebih luas,” ujarnya kepada Hypeabis.id di Jakarta.
Dia pun memutuskan untuk terjun ke masyarakat dan menjadikannya sebagai panggung yang lebih luas lantaran banyak yang bisa dibuat melalui pertunjukan teater. Seni pertunjukan ini lebih efektif dalam menyampaikan pesan atau memberikan pengaruh kepada masyarakat dibandingkan dengan ceramah atau lainnya.
Beberapa faktor membuat seni pertunjukan teater menjadi sarana yang efektif. Pertama, dalam teater, para pemain berinteraksi langsung dengan penonton, memungkinkan pesan yang disampaikan lebih terasa nyata dan menggugah.
Kedua, budaya lisan dan kebiasaan menonton masih sangat kuat di masyarakat Indonesia, bahkan sejak dulu, jika dibandingkan dengan budaya membaca. Karena itu, teater menjadi medium yang lebih mudah diterima.
Selain itu, sebagai lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), ia menyadari bahwa masyarakat Indonesia telah lama mengenal teater rakyat. Hal ini mendorongnya untuk mengembangkan teater sebagai sarana pemberdayaan, dengan melibatkan masyarakat secara langsung dalam proses kreatifnya.
Dalam menjalankan programnya, Lena menghadapi berbagai tantangan, termasuk jarak antara Indonesia dan Jerman yang mengharuskannya sering bolak-balik. Perjalanan ini memakan waktu dan membuatnya harus meninggalkan keluarga dalam waktu lama.
Selain itu, ia juga menyadari bahwa dirinya tidak mengetahui banyak tentang Indonesia secara langsung. Namun, melalui interaksi dengan masyarakat termarjinalkan, ia belajar bahwa mereka sangat cerdas dan kreatif, hanya saja tidak memiliki ruang untuk mengekspresikan diri.
"Mereka sebenarnya sangat jenius dan Indonesia begitu kaya, tapi tidak diberi ruang. Begitu kesempatan berteater diberikan, mereka langsung bisa mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka. Itu luar biasa," ungkapnya.
Pendanaan menjadi tantangan lain, tetapi Lena dan timnya tetap berkomitmen melanjutkan program mereka, dengan atau tanpa dana. Mereka bahkan sering membiayai sendiri kegiatan mereka demi memastikan teater pemberdayaan tetap berjalan.
Persinggungan dengan pihak-pihak tertentu yang tidak senang dengan tema pertunjukan mereka juga menjadi risiko yang harus dihadapi. Topik-topik seperti buruh perkebunan, nelayan, pelacuran, dan pertanian kerap menimbulkan ketegangan dengan kelompok-kelompok berkepentingan.
Selama lebih dari 20 tahun, Lena bersama Yayasan Cahaya Perempuan dan Budaya Indonesia telah memberdayakan banyak masyarakat. Metode teater yang diterapkannya telah mengubah banyak perempuan menjadi individu yang lebih kuat dan berani mengambil peran dalam pengambilan kebijakan.
Hasil dari perjuangannya terlihat jelas: perempuan yang dahulu terpinggirkan kini memiliki suara dalam masyarakat, bahkan di pemerintahan. Lena terus berjuang untuk memberikan ruang bagi mereka, memastikan bahwa teater bukan hanya seni, tetapi juga alat perubahan sosial yang nyata.
Baca juga: Ekspresi Anak Pejuang Kanker dalam Teater Simfoni Suara-Suara Tak Terdengar
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.