Ilustrasi Gig Economy (Sumber gambar: Unsplash/Austin Distel)

Hypereport: Angka Gig Economy Global Makin Tinggi, Peluang atau Kerentanan?

14 January 2025   |   15:00 WIB
Image
Chelsea Venda Jurnalis Hypeabis.id

Kecenderungan perusahaan merekrut pekerja lepas (freelance), yang kini dikenal dengan istilah gig economy, terus menunjukkan tren peningkatan. Jumlahnya tak sedikit dengan jutaan orang kini telah menjadi pelaku gig economy dan menganggap pola baru dalam bekerja ini sebagai salah satu opsi menarik.

Gig economy memang telah jadi fenomena unik sejak era internet dan digitalisasi muncul. Ketika pembatasan sosial terjadi akibat pandemi Covid-19 merebak, jenis pekerjaan ini makin populer. Akan tetapi, saat dunia mulai terkoneksi kembali, gig economy nyatanya masih diminati.

Secara perlahan, orang-orang tampak mulai meninggalkan pola kerja konvensional. Orang-orang di dunia tak lagi bekerja di kantor dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore, dan memilih sistem kerja baru ala gig economy ini. 

Baca juga laporan terkait:  Laporan bertajuk Gig Economy Market Size dari Business Research Insight mengungkap sepanjang 2024, pangsa pasar model kerja ini mencapai US$556,7 miliar. Mereka memprediksi pada 2032 nanti, jumlahnya bakal meningkat tiga kali lipat menjadi US$1.847 miliar. 

Gig economy secara sederhana dapat diartikan sebagai sistem tenaga kerja yang mempertemukan antara individu dengan pemberi kerja melalui platform digital. Kerja sama antara pemberi dan pekerja umumnya berdurasi singkat dan pembayaran akan langsung diberikan setelah proyek selesai (bukan gaji per bulan).

Menurut World Bank, pada 2023, gig economy telah mencakup hingga 12 persen pasar tenaga kerja global. Angka ini jauh lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya. Meski pandemi mereda, permintaan terhadap pekerjaan gig ini masih terus bertumbuh.


Diminati Pekerja Negara Berkembang

 
Gig Economy (Sumber gambar: Unsplash/ Stefen Tan)
World Bank menilai gig economy bisa tumbuh pesat karena dianggap jadi sistem yang menjanjikan bagi pekerja perempuan dan anak-anak muda di negara berkembang. Dalam laporannya, mereka menemukan bahwa permintaan pekerja di negara-negara berkembang punya pertumbuhan yang lebih tinggi dan cepat. 

Di negara-negara Afrika misalnya, lowongan pekerjaan di platform digital tumbuh sebesar 130 persen. Sementara itu, pasar serupa di Amerika Utara hanya bertumbuh sekitar 14 persen saja.

Di luar itu, pertumbuhan para pekerja lepas di dunia juga diakibatkan makin mudahnya koneksi di dunia digital. Saat ini, ada sekitar 545 platform kerja gig di seluruh dunia. Platform tersebut pun telah menjangkau lebih dari 186 negara.

Dalam hal ini, pekerja perempuan dan anak muda di negara berkembang memang ‘seolah’ mendapat keuntungan. Sebab, saat mencari pekerjaan di negaranya sulit, mereka bisa beralih ke gig economy dan bekerja secara remote.

World Bank menyebut negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah saat ini menyumbang 40 persen lalu lintas ke platform gig. Pekerjaan gig seperti ini seolah menjadi jalan keluar tambahan bagi masyarakat di negara berpendapatan rendah. Sebab, dengan bekerja remote, mereka bisa digaji dengan Dolar.

"Pekerjaan serabutan daring dapat membantu mengatasi pengangguran di kalangan pemuda dan dapat mendukung peningkatan partisipasi pasar tenaga kerja bagi perempuan," Wakil Presiden Bidang Pembangunan Manusia World Bank Mamta Murthi dalam keterangan tertulisnya. 

Dalam laporan yang sama, diketahui anak-anak muda di negara berkembang tertarik dengan pekerjaan gig karena bisa mendapatkan penghasilan, mempelajari keterampilan baru, dan fleksibilitas yang tinggi.

Selain bisa bekerja remote dan tak perlu ke kantor, pekerjaan gig ini juga relatif mudah dikerjakan jika si pekerja masih sekolah atau bahkan jika dia ingin bekerja di dua tempat sekaligus.

Laporan dari McKinsey bertajuk Independent Work: Choice, Necessity, and the Gig Economy menyebut ada beberapa kriteria pekerja pada era digital seperti saat ini. Meski secara jumlah besar, pelaku gig economy tidak bisa hanya dipandang sebatas hitam atau putih.

McKinsey membagi pekerja era digital yang akhirnya menjadi pelaku gig economy menjadi empat bagian. Pertama adalah pekerja bebas. Mereka adalah orang-orang yang memang berniat menjadi freelancer dan mencari pendapatan utama dari gig economy.

Kedua adalah pekerja sambilan. Seperti namanya, orang-orang ini sebenarnya punya pekerjaan penuh waktu, tetapi mencoba gig economy hanya sebagai penghasilan tambahan. Ketiga adalah pekerja terpaksa. Orang-orang ini sebenarnya ingin punya pekerjaan penuh waktu, tetapi belum bisa. Akhirnya, mereka mencoba peruntungan di gig economy.

Keempat adalah pekerja yang memang butuh uang. Mereka adalah orang-orang yang mencari pekerjaan di gig economy hanya karena tengah kesulitan keuangan. 

Dalam gig economy, ada pandangan berbeda dari setiap generasi. Dalam laporan yang diambil di Amerika tersebut, sebanyak 45 persen pekerja gig merupakan generasi milenial. Kemudian, 15 persen di antaranya adalah generasi Z dan sisanya, 9 persen datang dari generasi baby boomer

Terkait dengan pekerjaan, menurut survei Master Card bertajuk Fueling the Global Gig Economy, diketahui bahwa 58 persen pendapatan gig economy global masih didominasi oleh layanan berbagi penumpang atau transportasi.


Rawan Kerentanan Pekerja

Gig Economy (Sumber gambar: Unsplash/ Austin Distel)
Meski terdengar menjanjikan dan mulai diminati banyak orang, gig economy menyisakan sejumlah permasalahan. Dalam laporan World Bank bertajuk Working Without Borders: The Promise and Peril of Online Gig Work, mereka memperingatkan potensi kerentanan para pekerja pada era digital.

Pasalnya, di negara-negara berpenghasilan rendah, para pekerja umumnya tidak memiliki peraturan ketenagakerjaan yang mumpuni untuk mengatur gig economy. Selain itu, para pekerja pun terkadang tak memiliki akses ke asuransi sosial dan tunjangan.

Dalam penelitian di beberapa platform, diketahui bahwa kesenjangan gaji antara perempuan dan laki-laki masih cukup tinggi, mencapai 68 persen. Meski mengakomodir pekerja perempuan, kesenjangan gaji perlu ditinjau ulang, sehingga tak terkesan eksploitasi.

Mereka juga menyarankan platform digital untuk menjadi penengah antara pemberi kerja dan pekerja. Dengan demikian, ada aturan yang lebih adil dan bisa menjadi acuan bersama ketika terjadi permasalahan.

“Platform digital dapat membantu meningkatkan visibilitas pekerja informal mendukung upaya perluasan cakupan perlindungan sosial untuk semua,” ucap Namita Datta, Manajer program S4YE World Bank

Baca juga: Hypereport: Menilik Kondisi Pekerja dan Prospek Ekonomi Gig di Indonesia

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

Meraup Cuan Bisnis Percetakan Daring pada Era Serba Digital

BERIKUTNYA

Lee Min-ho Siap Gelar Fan Meeting MINHOVERSE di Jakarta Mei 2025

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: