Hypereport: Meningkatnya Profesi Asisten Virtual di Dunia Kerja Digital
13 January 2025 |
13:00 WIB
Bekerja jarak jauh (remote working) yang belakangan makin marak di era digital saat ini, telah membuka peluang besar bertumbuhnya profesi asisten virtual. Seperti namanya, profesi ini bekerja membantu pekerjaan klien secara jarak jauh tanpa perlu hadir secara fisik di kantor.
Di Indonesia, profesi asisten virtual mulai dikenal luas baru dalam beberapa tahun terakhir, semenjak pandemi Covid-19. Namun, sebenarnya pertumbuhan asisten virtual secara global telah cukup masif dalam satu dekade terakhir, ketika era internet dan digitalitalisasi merebak.
Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Menilik Kondisi Pekerja dan Prospek Ekonomi Gig di Indonesia
2. Hypereport: Cerita hingga Potensi Cuan dari Profesi Content Creator
3. Hypereport: Mengintip Dunia Profesi Streamer di Era Digital
Salah satu pekerja asisten virtual, Indriyas, bercerita kalau dirinya mulai menggeluti profesi ini sejak 2016 lalu. Kala itu, setelah lepas dari pekerjaan kantoran, dirinya iseng ingin menjajal dunia yang baru.
Namun, rupanya dunia freelancer remote sangatlah berbeda. Alih-alih langsung mencari pekerjaan, dirinya terlebih dahulu melakukan beberapa riset kecil-kecilan sebelum terjun ke dunia freelancer remote ini.
Proses riset dan pendalaman ini dilakukannya dengan santai. Barulah pada 2017, dirinya mulai memberanikan diri terjun ke dunia freelancer remote. Dimulai dengan membuat akun di platform Upwork, lalu secara aktif mulai melamar beberapa pekerjaan.
Pada fase-fase awal ini, dirinya masih membuat tawaran kerja yang cukup rendah, yakni sekitar US$8 per jam. Waktu itu, fokusnya ialah memperbanyak kesempatan dan membangun portofolio terlebih dahulu.
“Akhirnya, setelah banyak apply, sekitar tiga bulan setelahnya baru dapat pekerjaan pertama. Waktu itu nilainya masih sangat kecil, sekitar US$5 saja,” ungkap Indriyas kepada Hypeabis.id.
Menurut Indriyas, salah satu tantangan awal ketika terjun ke dunia remote seperti ini adalah mencari kesempatan. Sebab, jika portofolio belum terlalu banyak, tentu klien tak akan terlalu meliriknya. Terlebih, jika di awal, pencari kerja sudah mematok harga yang tinggi.
Oleh karena itu, untuk menghindari hal tersebut, dirinya rela dibayar di bawah rata-rata pada masa awal. Hal ini dilakukan agar ada sisi pembeda dan daya tarik dibanding pencari kerja yang lain.
Kemudian, tantangan lain yang didapatnya di fase awal ini ialah kendala bahasa dan budaya. Sebab, semua komunikasi menggunakan bahasa Inggris. Padahal, menurutnya, bahasa Inggris sehari-hari dan formal dalam bekerja, itu punya beberapa perbedaan yang signifikan.
Kendati demikian, hal itu tak mengurangi minatnya untuk terus belajar. Seiring waktu, jasa asisten virtual yang digelutinya makin dilirik oleh para klien. Seiring portofolio pekerjaannya yang bertambah, pendapatannya pun ikut naik.
“Sekitar dua tahun lalu, aku dapat invitation dari Adobe. Itu per jam dapat US$25 dan per minggunya itu 30 jam,” imbuhnya.
Indriyas mengatakan pekerjaan asisten virtual memang cukup menjanjikan. Meski pandemi telah mereda, bukan berarti pekerjaan ini ditinggalkan. Sebab, asisten virtual bukanlah jenis profesi yang muncul karena tren.
Menurutnya, jika ditarik lebih jauh, pekerjaan ini telah ada sejak medio 2000-an ketika internet dan digitalisasi mulai marak. Pandemi beberapa tahun lalu, katanya, hanya menjadi momentum profesi ini naik.
Indriyas bercerita pekerjaan asisten virtual pada dasarnya menyangkut kerja-kerja administratif. Mulai dari email management, travel planner, inbox management, media sosial dan masih banyak lagi. Adapun dirinya lebih banyak menggeluti ke bidang SEO.
Sejauh ini, klien-klien yang ditanganinya lebih banyak berada di Amerika dan Eropa. Indriyas menyebut jenis pekerjaan asisten virtual di Amerika dan Eropa kebutuhannya sudah sangat tinggi. Di samping itu, pendapatan yang bisa diterima juga cukup baik.
Jika dianalogikan, di Amerika dan Eropa seseorang bisa mendapatkan US$25 per jam, tetapi jika di Asia, seseorang hanya mendapat bayaran US$5 per jam saja. Oleh karena itu, biasanya para asisten virtual pun lebih banyak mencari di Amerika dan Eropa.
Untuk Indonesia, kata Indriyas, ekosistemnya memang belum terbentuk dengan baik. Dengan demikian, para pekerja asisten virtual di Indonesia pun lebih banyak mencari klien di luar.
Indriyas mengatakan peluang menjadi asisten virtual saat ini sudah sangat terbuka. Selain Upwork, ada banyak platform lain yang menjadi jembatan antara pekerja dan klien untuk bertemu dan menjalin relasi, seperti Fiverr, Indeed, People per Hour, dan masih banyak lagi.
Untuk pemula, dirinya menyarankan untuk piawai dalam mengatur range harga untuk jasa yang ditawarkan. Kemudian, cobalah untuk tidak gampang menyerah ketika tengah mencari job pertama. Sebab, fase awal memang biasanya membutuhkan sedikit kesabaran.
Di luar itu, dirinya juga menyarankan agar para pekerja untuk lebih berhati-hati terhadap scam. Sebaiknya, teliti lebih jauh untuk jenis pekerjaan yang menuntut kecepatan dan harga tidak masuk akal.
Career coach Aditiyo Indrasanto menyarankan calon pekerja mesti mendalami jenis pekerjaan yang ingin dijalani sebagai pilihan karier terlebih dahulu sebelum memulainya. Sebab, keviralan di media sosial dan kebutuhan nyata di industri belum tentu sama.
Aditiyo mencontohkan tren entrepreneur yang mulai mewabah pada medio 2000-an awal atau perusahaan startup yang naik daun pada 2015-an. Tren pekerjaan tersebut sempat begitu naik, sebelum akhirnya mulai mencari titik keseimbangan alaminya.
“Yang saya lihat asisten virtual naik memang gegara pandemi. Ada keterbatasan pertemuan secara nyata, yang mendorong fenomena ini. Orang kan butuh kerja, sedangkan ada yang membutuhkan peran asisten pribadi secara virtual, ya klop,” ujarnya.
Kendati demikian, apakah kebutuhan pekerjaan ini akan tetap berkelanjutan atau tidak, perlu ada pendalaman riset yang perlu dilakukan. Selain itu, Aditiyo juga menyarankan para pekerja juga memikirkan jenjang karier.
Dengan demikian, bukan hanya kebutuhan pekerjanya saja yang dipikirkan, tetapi apakah ada peluang jenjang karier atau pendapatan meningkat ke depan.
“So, perkaya dirimu dengan segala macam pengalaman, skill, supaya dinamika apa pun di masa depan, kami bisa lebih agile. Berhenti cari profesi dengan mindset mau enak,” jelasnya.
Aditiyo mengatakan dalam membangun karier, jalan yang perlu ditempuh memang tak selalu mulus. Dirinya menyarankan agar karier diangun perlahan meski itu berarti satu langkah per satu langkah. Yang penting, katanya, selalu ada peningkatan.
Alih-alih memikirkan pendapatan, Aditiyo menyarankan para pencari kerja untuk memikirkan hal yang lebih jauh. Dalam artian, di masa depan, dengan pekerjaan yang dipilih ini, apakah bisa membuat tanggung jawabmu bertambah atau peran di dunia kerja bertambah?
Baca juga: Tanpa Ribet Urus Visa, Cek 5 Kiat Kerja Remote dari Luar Negeri
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Di Indonesia, profesi asisten virtual mulai dikenal luas baru dalam beberapa tahun terakhir, semenjak pandemi Covid-19. Namun, sebenarnya pertumbuhan asisten virtual secara global telah cukup masif dalam satu dekade terakhir, ketika era internet dan digitalitalisasi merebak.
Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Menilik Kondisi Pekerja dan Prospek Ekonomi Gig di Indonesia
2. Hypereport: Cerita hingga Potensi Cuan dari Profesi Content Creator
3. Hypereport: Mengintip Dunia Profesi Streamer di Era Digital
Salah satu pekerja asisten virtual, Indriyas, bercerita kalau dirinya mulai menggeluti profesi ini sejak 2016 lalu. Kala itu, setelah lepas dari pekerjaan kantoran, dirinya iseng ingin menjajal dunia yang baru.
Namun, rupanya dunia freelancer remote sangatlah berbeda. Alih-alih langsung mencari pekerjaan, dirinya terlebih dahulu melakukan beberapa riset kecil-kecilan sebelum terjun ke dunia freelancer remote ini.
Proses riset dan pendalaman ini dilakukannya dengan santai. Barulah pada 2017, dirinya mulai memberanikan diri terjun ke dunia freelancer remote. Dimulai dengan membuat akun di platform Upwork, lalu secara aktif mulai melamar beberapa pekerjaan.
Pada fase-fase awal ini, dirinya masih membuat tawaran kerja yang cukup rendah, yakni sekitar US$8 per jam. Waktu itu, fokusnya ialah memperbanyak kesempatan dan membangun portofolio terlebih dahulu.
“Akhirnya, setelah banyak apply, sekitar tiga bulan setelahnya baru dapat pekerjaan pertama. Waktu itu nilainya masih sangat kecil, sekitar US$5 saja,” ungkap Indriyas kepada Hypeabis.id.
Menurut Indriyas, salah satu tantangan awal ketika terjun ke dunia remote seperti ini adalah mencari kesempatan. Sebab, jika portofolio belum terlalu banyak, tentu klien tak akan terlalu meliriknya. Terlebih, jika di awal, pencari kerja sudah mematok harga yang tinggi.
Oleh karena itu, untuk menghindari hal tersebut, dirinya rela dibayar di bawah rata-rata pada masa awal. Hal ini dilakukan agar ada sisi pembeda dan daya tarik dibanding pencari kerja yang lain.
Kemudian, tantangan lain yang didapatnya di fase awal ini ialah kendala bahasa dan budaya. Sebab, semua komunikasi menggunakan bahasa Inggris. Padahal, menurutnya, bahasa Inggris sehari-hari dan formal dalam bekerja, itu punya beberapa perbedaan yang signifikan.
Kendati demikian, hal itu tak mengurangi minatnya untuk terus belajar. Seiring waktu, jasa asisten virtual yang digelutinya makin dilirik oleh para klien. Seiring portofolio pekerjaannya yang bertambah, pendapatannya pun ikut naik.
“Sekitar dua tahun lalu, aku dapat invitation dari Adobe. Itu per jam dapat US$25 dan per minggunya itu 30 jam,” imbuhnya.
Peluang Profesi Asisten Virtual Kini
Indriyas mengatakan pekerjaan asisten virtual memang cukup menjanjikan. Meski pandemi telah mereda, bukan berarti pekerjaan ini ditinggalkan. Sebab, asisten virtual bukanlah jenis profesi yang muncul karena tren.Menurutnya, jika ditarik lebih jauh, pekerjaan ini telah ada sejak medio 2000-an ketika internet dan digitalisasi mulai marak. Pandemi beberapa tahun lalu, katanya, hanya menjadi momentum profesi ini naik.
Indriyas bercerita pekerjaan asisten virtual pada dasarnya menyangkut kerja-kerja administratif. Mulai dari email management, travel planner, inbox management, media sosial dan masih banyak lagi. Adapun dirinya lebih banyak menggeluti ke bidang SEO.
Sejauh ini, klien-klien yang ditanganinya lebih banyak berada di Amerika dan Eropa. Indriyas menyebut jenis pekerjaan asisten virtual di Amerika dan Eropa kebutuhannya sudah sangat tinggi. Di samping itu, pendapatan yang bisa diterima juga cukup baik.
Jika dianalogikan, di Amerika dan Eropa seseorang bisa mendapatkan US$25 per jam, tetapi jika di Asia, seseorang hanya mendapat bayaran US$5 per jam saja. Oleh karena itu, biasanya para asisten virtual pun lebih banyak mencari di Amerika dan Eropa.
Untuk Indonesia, kata Indriyas, ekosistemnya memang belum terbentuk dengan baik. Dengan demikian, para pekerja asisten virtual di Indonesia pun lebih banyak mencari klien di luar.
Indriyas mengatakan peluang menjadi asisten virtual saat ini sudah sangat terbuka. Selain Upwork, ada banyak platform lain yang menjadi jembatan antara pekerja dan klien untuk bertemu dan menjalin relasi, seperti Fiverr, Indeed, People per Hour, dan masih banyak lagi.
Untuk pemula, dirinya menyarankan untuk piawai dalam mengatur range harga untuk jasa yang ditawarkan. Kemudian, cobalah untuk tidak gampang menyerah ketika tengah mencari job pertama. Sebab, fase awal memang biasanya membutuhkan sedikit kesabaran.
Di luar itu, dirinya juga menyarankan agar para pekerja untuk lebih berhati-hati terhadap scam. Sebaiknya, teliti lebih jauh untuk jenis pekerjaan yang menuntut kecepatan dan harga tidak masuk akal.
Dalami Sebelum Terjun ke Industri
Career coach Aditiyo Indrasanto menyarankan calon pekerja mesti mendalami jenis pekerjaan yang ingin dijalani sebagai pilihan karier terlebih dahulu sebelum memulainya. Sebab, keviralan di media sosial dan kebutuhan nyata di industri belum tentu sama.Aditiyo mencontohkan tren entrepreneur yang mulai mewabah pada medio 2000-an awal atau perusahaan startup yang naik daun pada 2015-an. Tren pekerjaan tersebut sempat begitu naik, sebelum akhirnya mulai mencari titik keseimbangan alaminya.
“Yang saya lihat asisten virtual naik memang gegara pandemi. Ada keterbatasan pertemuan secara nyata, yang mendorong fenomena ini. Orang kan butuh kerja, sedangkan ada yang membutuhkan peran asisten pribadi secara virtual, ya klop,” ujarnya.
Kendati demikian, apakah kebutuhan pekerjaan ini akan tetap berkelanjutan atau tidak, perlu ada pendalaman riset yang perlu dilakukan. Selain itu, Aditiyo juga menyarankan para pekerja juga memikirkan jenjang karier.
Dengan demikian, bukan hanya kebutuhan pekerjanya saja yang dipikirkan, tetapi apakah ada peluang jenjang karier atau pendapatan meningkat ke depan.
“So, perkaya dirimu dengan segala macam pengalaman, skill, supaya dinamika apa pun di masa depan, kami bisa lebih agile. Berhenti cari profesi dengan mindset mau enak,” jelasnya.
Aditiyo mengatakan dalam membangun karier, jalan yang perlu ditempuh memang tak selalu mulus. Dirinya menyarankan agar karier diangun perlahan meski itu berarti satu langkah per satu langkah. Yang penting, katanya, selalu ada peningkatan.
Alih-alih memikirkan pendapatan, Aditiyo menyarankan para pencari kerja untuk memikirkan hal yang lebih jauh. Dalam artian, di masa depan, dengan pekerjaan yang dipilih ini, apakah bisa membuat tanggung jawabmu bertambah atau peran di dunia kerja bertambah?
Baca juga: Tanpa Ribet Urus Visa, Cek 5 Kiat Kerja Remote dari Luar Negeri
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.