Meraup Cuan Bisnis Percetakan Daring pada Era Serba Digital
14 January 2025 |
20:50 WIB
Inovasi usaha berlabel daring makin menggeser lini produksi maupun jasa tradisional. Terlebih selepas pandemi Covid-19. Ini tak terkecuali usaha percetakan tradisional mulai beralih menjadi unit percetakan berbasis daring, yang menjangkau lebih luas konsumen.
Redemptus Rangga Raditya (26) dan Naufal Nabilah (28), sekawan perintis percetakan daring bernama JADIPrint jadi salah satu contohnya. Brand itu berdiri sejak 2020 sebagai induk perusahaan percetakan tradisional PT. Dasa Prima di kawasan Margonda, Depok.
Keduanya hendak membawa pengalaman cetak tradisional dari toko fisik menuju gerai daring. Rangga menyebut JADIPrint berupaya hadir memenuhi web to print kebutuhan pelanggan secara daring. Layanan seperti akses platform, desain sesuai kebutuhan pelanggan, hingga pemesanan produk anytime anywhere menjadi keunggulan yang mereka suguhkan.
“Online printing itu sudah common ya [sekarang] di Jepang, Malaysia, Singapura, Jerman. Cuma di Indonesia belum. Kita jadi salah satu yang pertama dan lengkap dengan pabrikasinya,” ujar Rangga.
Baca juga: Prediksi Bisnis 2025: Sektor Potensial dan Strategi Menghadapi Daya Beli yang Menurun
Pabrikasi mereka mencakup berbagai kebutuhan percetakan umum. Mulai dari cetak kemasan (makanan, minuman, produk), stiker, garmen (tas, pakaian, topi), tumbler, hingga lanyard.
Antusiasme tinggi dari konsumen muda berpengaruh terhadap pilihan produk terlaris JADIPrint, yakni lanyard, kartu nama, dan stiker. Momen meluapnya pesanan pun turut dijabarkan Rangga ke dalam beberapa fase.
Puncak pertama terjadi pada momen menjelang imlek. Puncak kedua yakni masa tahun ajaran baru sekolah. Adapun, fase ketiga adalah akhir tahun sekitar bulan September, Oktober, dan November. “Kalau udah ber-ber-ber itu akhir tahun dana pemerintah turun. Banyak kegiatan, makanya printing gak terlalu terpengaruh dengan momentum,” imbuhnya.
Soal konsumen, JADIPrint tidak bergantung pada situasi yang terjadi di Jabodetabek saja. Penjualan daring mereka sudah menjangkau pasar Indonesia Timur. Sementara di luar negeri klien mereka sudah sampai ke Malaysia, Singapura dan Belanda.
Mereka fokus menyasar model business to business (B2B) sehingga target audiens mereka utamanya adalah brand dan korporasi ketimbang konsumen personal. “Adapun B2C yang kontak kita itu kadang seniman. Tahu bahan, udah tahu maunya apa,” ucap Rangga.
Bukan hanya, itu mereka menguatkan diri melalui berbagai kegiatan sponsorship. Band musik Lomba Sihir, platform pendidikan kreatif Lingkaran.co, hingga beberapa pameran seni menjadi target sponsorship mereka beberapa tahun terakhir.
Empat tahun lebih beroperasi, JADIPrint sudah memiliki lima unit usaha di bawahnya yakni JADI Packaging, JADI Sticker, JADI Garment, JADI Tumbler, dan JADI Lanyard. Walau enggan merinci, Rangga menyebut dari salah satu lini unit saja, mereka dapat meraup omzet setara Rp9 miliar per tahun.
Ada pula Grace Felicia (25) sebagai pemilik Magihae Printing, yang berdiri sejak 2023 sebagai anak usaha Magicrylic dengan fokus ke merch printing. Dia memulai debutnya di dunia percetakan setelah mengamati tren LED Acrylic Album yang viral semasa Pandemi.
Berbekal kemampuan mendesain secara digital, dia memulai usaha percetakan daring menggunakan desain mandiri dan bekerja sama dengan vendor percetakan lain. Selang 9 bulan berjalan, dirinya melakukan akselerasi bisnis dengan mulai menyewa tempat hingga membeli mesin cetaknya sendiri.
“Sebelum bergelut di digital printing sebenarnya sudah ingin berbisnis tapi setiap kali kurang berhasil, jadi ketika dapat opportunity ini langsung digas terus,” kata Grace.
Berbeda dengan JADIPrint yang menjajal hampir seluruh medium produk mulai dari dua hingga tiga dimensi, Magihae sejak pendiriannya berpusat pada medium utama yakni akrilik. Meski begitu, dia berkeinginan untuk menambah produknya ke depan dengan menyasar media cetak lain seperti PVC, kulit, bantal, dan lain sebagainya.
Beberapa produk yang dapat dikerjakan oleh Magihae antara lain gantungan kunci, gantungan ponsel, tempat foto, acrylic standee dan masih banyak lagi. Dari semua itu, pilihan produk yang paling laris adalah gantungan kunci.
Magihae punya lebih banyak konsumen personal dan beberapa di antaranya adalah kreator seni. Dia menambahkan kebanyakan target audiens mereka adalah wanita berusia 18-34 tahun.
Grace bercerita bahwa di Indonesia vendor percetakan kreatif masih minim. Hal tersebut jadi peluang peluang bagi dirinya karena dapat fokus menyasar konsumen di bidang seni kreatif. “Vendor kreatif masih minim. Positifnya bisa bermain di desain, Harapannya Magihae bisa memberi support kepada kreator lokal,” lanjutnya.
Selain pasar nasional, Magihae turut melakukan ekspor ke beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Brunei, India, Malaysia, dan Singapura. “Salah satu negara unik yang kita ekspor adalah ke Kuwait. Kita sampai menggunakan jasa warehouse lokal untuk bisa shipping kesana,” tuturnya.
Magihae berencana melebarkan namanya lewat keikutsertaan mereka di beberapa event serta ragam kegiatan aktivasi luar ruang lainnya. Walau tak merinci berapa pastinya omzet Magihae, Grace bercerita pada bulan ke 3 pendiriannya, dia sudah meraup omzet 3 digit karena dorongan konsumen B2B kala itu.
Adapun, Tantangan yang dihadapi Grace di bidang produksi antara lain mahalnya bahan baku berupa mesin cetak yang harus diimpor. Selain itu, keterbatasan kompetensi talenta dalam negeri juga membuat kemampuan produksi di Indonesia sedikit banyak tertinggal.
Sementara Rangga harus menghadapi beberapa masalah krusial seperti konsumen usia muda yang umumnya punya gap pengetahuan antara desain digital dan realisasi teknis dalam proses percetakan fisik. Sementara itu, konsumen usia menengah dan yang lebih tua cenderung terganjal dengan masalah daya beli dan negosiasi metode bayar.
Tak cuma itu, JADIPrint masih harus menghadapi tantangan utama di industri percetakan daring, yakni membangun kepercayaan konsumen dalam negeri. Rangga menyebut dibutuhkan upaya proaktif untuk menjangkau audiens yang belum awam akan hadirnya inovasi web to print.
Program edukasi berkelanjutan ini mereka tuangkan lewat beragam upaya seperti chat konsultasi bersama konsumen, hingga layanan publik berupa laman edukasi daring melalui situs web mereka. Situs tersebut dibuat guna memberikan beragam informasi gratis kepada konsumen terkait berbagai fakta menarik dunia percetakan.
Baca juga: 4 Tip Menghindari Penipuan Berkedok Bisnis
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Redemptus Rangga Raditya (26) dan Naufal Nabilah (28), sekawan perintis percetakan daring bernama JADIPrint jadi salah satu contohnya. Brand itu berdiri sejak 2020 sebagai induk perusahaan percetakan tradisional PT. Dasa Prima di kawasan Margonda, Depok.
Keduanya hendak membawa pengalaman cetak tradisional dari toko fisik menuju gerai daring. Rangga menyebut JADIPrint berupaya hadir memenuhi web to print kebutuhan pelanggan secara daring. Layanan seperti akses platform, desain sesuai kebutuhan pelanggan, hingga pemesanan produk anytime anywhere menjadi keunggulan yang mereka suguhkan.
“Online printing itu sudah common ya [sekarang] di Jepang, Malaysia, Singapura, Jerman. Cuma di Indonesia belum. Kita jadi salah satu yang pertama dan lengkap dengan pabrikasinya,” ujar Rangga.
Baca juga: Prediksi Bisnis 2025: Sektor Potensial dan Strategi Menghadapi Daya Beli yang Menurun
Pabrikasi mereka mencakup berbagai kebutuhan percetakan umum. Mulai dari cetak kemasan (makanan, minuman, produk), stiker, garmen (tas, pakaian, topi), tumbler, hingga lanyard.
Antusiasme tinggi dari konsumen muda berpengaruh terhadap pilihan produk terlaris JADIPrint, yakni lanyard, kartu nama, dan stiker. Momen meluapnya pesanan pun turut dijabarkan Rangga ke dalam beberapa fase.
Puncak pertama terjadi pada momen menjelang imlek. Puncak kedua yakni masa tahun ajaran baru sekolah. Adapun, fase ketiga adalah akhir tahun sekitar bulan September, Oktober, dan November. “Kalau udah ber-ber-ber itu akhir tahun dana pemerintah turun. Banyak kegiatan, makanya printing gak terlalu terpengaruh dengan momentum,” imbuhnya.
Soal konsumen, JADIPrint tidak bergantung pada situasi yang terjadi di Jabodetabek saja. Penjualan daring mereka sudah menjangkau pasar Indonesia Timur. Sementara di luar negeri klien mereka sudah sampai ke Malaysia, Singapura dan Belanda.
Mereka fokus menyasar model business to business (B2B) sehingga target audiens mereka utamanya adalah brand dan korporasi ketimbang konsumen personal. “Adapun B2C yang kontak kita itu kadang seniman. Tahu bahan, udah tahu maunya apa,” ucap Rangga.
Bukan hanya, itu mereka menguatkan diri melalui berbagai kegiatan sponsorship. Band musik Lomba Sihir, platform pendidikan kreatif Lingkaran.co, hingga beberapa pameran seni menjadi target sponsorship mereka beberapa tahun terakhir.
Empat tahun lebih beroperasi, JADIPrint sudah memiliki lima unit usaha di bawahnya yakni JADI Packaging, JADI Sticker, JADI Garment, JADI Tumbler, dan JADI Lanyard. Walau enggan merinci, Rangga menyebut dari salah satu lini unit saja, mereka dapat meraup omzet setara Rp9 miliar per tahun.
Ada pula Grace Felicia (25) sebagai pemilik Magihae Printing, yang berdiri sejak 2023 sebagai anak usaha Magicrylic dengan fokus ke merch printing. Dia memulai debutnya di dunia percetakan setelah mengamati tren LED Acrylic Album yang viral semasa Pandemi.
Berbekal kemampuan mendesain secara digital, dia memulai usaha percetakan daring menggunakan desain mandiri dan bekerja sama dengan vendor percetakan lain. Selang 9 bulan berjalan, dirinya melakukan akselerasi bisnis dengan mulai menyewa tempat hingga membeli mesin cetaknya sendiri.
“Sebelum bergelut di digital printing sebenarnya sudah ingin berbisnis tapi setiap kali kurang berhasil, jadi ketika dapat opportunity ini langsung digas terus,” kata Grace.
Berbeda dengan JADIPrint yang menjajal hampir seluruh medium produk mulai dari dua hingga tiga dimensi, Magihae sejak pendiriannya berpusat pada medium utama yakni akrilik. Meski begitu, dia berkeinginan untuk menambah produknya ke depan dengan menyasar media cetak lain seperti PVC, kulit, bantal, dan lain sebagainya.
Beberapa produk yang dapat dikerjakan oleh Magihae antara lain gantungan kunci, gantungan ponsel, tempat foto, acrylic standee dan masih banyak lagi. Dari semua itu, pilihan produk yang paling laris adalah gantungan kunci.
Magihae punya lebih banyak konsumen personal dan beberapa di antaranya adalah kreator seni. Dia menambahkan kebanyakan target audiens mereka adalah wanita berusia 18-34 tahun.
Grace bercerita bahwa di Indonesia vendor percetakan kreatif masih minim. Hal tersebut jadi peluang peluang bagi dirinya karena dapat fokus menyasar konsumen di bidang seni kreatif. “Vendor kreatif masih minim. Positifnya bisa bermain di desain, Harapannya Magihae bisa memberi support kepada kreator lokal,” lanjutnya.
Selain pasar nasional, Magihae turut melakukan ekspor ke beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Brunei, India, Malaysia, dan Singapura. “Salah satu negara unik yang kita ekspor adalah ke Kuwait. Kita sampai menggunakan jasa warehouse lokal untuk bisa shipping kesana,” tuturnya.
Magihae berencana melebarkan namanya lewat keikutsertaan mereka di beberapa event serta ragam kegiatan aktivasi luar ruang lainnya. Walau tak merinci berapa pastinya omzet Magihae, Grace bercerita pada bulan ke 3 pendiriannya, dia sudah meraup omzet 3 digit karena dorongan konsumen B2B kala itu.
Tantangan Bisnis
Adapun, Tantangan yang dihadapi Grace di bidang produksi antara lain mahalnya bahan baku berupa mesin cetak yang harus diimpor. Selain itu, keterbatasan kompetensi talenta dalam negeri juga membuat kemampuan produksi di Indonesia sedikit banyak tertinggal. Sementara Rangga harus menghadapi beberapa masalah krusial seperti konsumen usia muda yang umumnya punya gap pengetahuan antara desain digital dan realisasi teknis dalam proses percetakan fisik. Sementara itu, konsumen usia menengah dan yang lebih tua cenderung terganjal dengan masalah daya beli dan negosiasi metode bayar.
Tak cuma itu, JADIPrint masih harus menghadapi tantangan utama di industri percetakan daring, yakni membangun kepercayaan konsumen dalam negeri. Rangga menyebut dibutuhkan upaya proaktif untuk menjangkau audiens yang belum awam akan hadirnya inovasi web to print.
Program edukasi berkelanjutan ini mereka tuangkan lewat beragam upaya seperti chat konsultasi bersama konsumen, hingga layanan publik berupa laman edukasi daring melalui situs web mereka. Situs tersebut dibuat guna memberikan beragam informasi gratis kepada konsumen terkait berbagai fakta menarik dunia percetakan.
Baca juga: 4 Tip Menghindari Penipuan Berkedok Bisnis
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.