Hypereport: Menilik Kondisi Pekerja dan Prospek Ekonomi Gig di Indonesia
11 January 2025 |
16:04 WIB
Kemajuan teknologi dan kecerdasan buatan telah mendorong penciptaan baru bagi kehidupan manusia, termasuk dalam urusan dunia kerja yang melahirkan sistem baru bernama gig economy atau ekonomi gig. Istilah ini merujuk pada pekerjaan berbasis tugas jangka pendek yang dimediasi oleh platform digital.
Secara sederhana, ekonomi gig adalah praktik ekonomi berbasis platform internet dan berpusat pada kemampuan individu untuk mendapatkan upah, dengan otonomi dan kekuasaan untuk merancang jadwal serta lokasinya untuk bekerja.
Selama beberapa tahun terakhir, ekonomi gig tengah menjadi perbincangan. Sebagian mengatakan ekonomi gig sejalan dengan semangat fleksibilitas dan kewirausahaan sehingga relevan dengan tren ragam pekerjaan di masa depan. Ekonomi gig dipandang sebagai alternatif pekerjaan bagi mereka yang tidak menyukai pola bekerja tradisional kantoran dengan waktu kerja yang kaku.
Baca juga: Gig Economy Berkembang di Indonesia, Tren Usaha Sewa Pasangan Menjamur
Di sisi lain, sebagian mengatakan ekonomi gig merupakan kelanjutan dari praktik eksploitasi neoliberalisme di mana pemilik kapital mengendalikan para pekerja secara tidak langsung, dengan memanfaatkan kerancuan istilah ‘kemitraan’.
Ekonomi gig muncul akibat pola kontrak dan organisasi kerja baru yang ditopang oleh perubahan teknologi, globalisasi, dan melemahnya serikat pekerja. Dalam perspektif ini, ekonomi gig erat kaitannya dengan pekerja prekariat yang dibayar murah, pekerjaannya berbasis kontrak yang tidak menentu, serta tingkat keamanan pekerjaannya yang rendah.
Di Indonesia, wacana mengenai ekonomi gig bergeliat dalam beberapa tahun terakhir. Tren ini diawali dengan munculnya ojek online awal tahun 2015 yang menawarkan skema kemitraan kepada para pekerjanya. Selain model bisnis ojek yang mengantarkan penumpang, pola aplikasi perantara ini kemudian direplikasi untuk taksi mobil, pengantar makanan, dan jasa kurir.
Secara umum, ekonomi gig dipandang sebagai sebuah peluang baru di tengah terbatasnya pekerjaan di sektor formal di Indonesia. Selain pekerja ojek online, muncul juga tren pekerjaan jarak jauh (remote work) dengan memanfaatkan aplikasi digital sebagai media perantara. Dengan pola kerja ini, pekerjaan tidak lagi dibatasi oleh jarak geografis.
Menurut Center For Digital Society, diperkirakan kehadiran gig economy ataupun ekonomi digital memberikan dampak yang positif terhadap perekonomian di Indonesia dengan estimasi valuasi pasar mencapai US$100 miliar pada 2025.
Tren pasar tenaga kerja dan ancaman terhadap resesi ekonomi telah berkontribusi dalam pertumbuhan sistem gig economy. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menemukan bahwa jumlah pekerja lepas (freelance) di Indonesia mencapai 46,47 juta orang, atau memiliki proporsi sebesar 32 persen dari total angkatan kerja yang mencaai 146,62 juta jiwa pada Februari 2023.
Angka tersebut mengalami kenaikan yang cukup signifikan dibandingkan data 2022 di mana terdapat 34 juta orang atau 24 persen dari jumlah angkatan kerja merupakan pekerja lepas.
Pada 2023, jurnal penelitian berjudul Mengukur Ekonomi Gig di Indonesia: Tipologi, Karakteristik, dan Distribusi menemukan bahwa jumlah angkatan kerja Indonesia yang menjadikan aktivitas gig sebagai pekerjaan utamanya diperkirakan mencapai 430.000 hingga 2,3 juta orang.
Dengan kata lain, 0,3 sampai dengan 1,7 persen dari total angkatan kerja di Indonesia tahun 2019 yang besarnya 134 juta orang, bekerja penuh waktu di sektor ekonomi gig. Rasio tersebut mirip dengan rasio pekerja gig penuh waktu di Amerika Serikat, Eropa, dan Inggris Raya yang berkisar di antara 0,5 persen hingga 2 persen dari angkatan kerja atau dari populasi dewasa.
Penelitian itu menyebutkan bahwa pekerja gig di Indonesia dikategorikan sebagai mereka yang berusaha sendiri (self-employed) di sektor jasa, mengikuti definisi bahwa yang diperjual-belikan di dalam ekonomi gig adalah jasa tenaga kerja, bukan produk.
Oleh karena itu, dari klasifikasi 17 sektor pekerjaan, pekerja gig bisa dikategorikan ke sebagian pekerja di sektor jasa, antara lain sektor transportasi dan pergudangan, informasi dan komunikasi, jasa keuangan dan asuransi, real estate, jasa perusahaan, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan jasa lainnya.
Baca juga: Hypereport: Karakteristik Gen Z, Profesi yang Diminati sampai Tingkat Kesejahteraan Hidup
Secara umum, pekerja gig di Indonesia yang bekerja di sektor transportasi memiliki jam kerja panjang yakni mencapai 54 jam, dibandingkan dengan pekerja lainnya. Hal ini sejalan dengan banyak riset terdahulu yang menggambarkan kondisi pekerjaan pengemudi ojek online dan kurir yang terpaksa bekerja hingga larut malam, untuk mencapai target dan bonus harian.
Sementara itu, jam kerja pekerja gig di sektor jasa lainnya rata-rata adalah 37 jam per pekan, relatif lebih rendah daripada pekerja di sektor formal maupun pekerja informal.
Dari segi rata-rata pendapatan, pekerja gig transportasi maupun jasa lainnya mencapai Rp3,05 juta per bulan. Angka ini melebihi pekerja di sektor informal yang rerata mendapatkan penghasilan mulai dari Rp2,09 juta per bulan hingga Rp2,92 juta per bulan.
Sementara dari segi demografi, pekerja gig di sektor transportasi didominasi oleh laki-laki, yakni mencapai 97,6 persen. Sementara itu, rasio gender pekerja gig di sektor jasa lainnya mirip dengan pekerja formal, dengan tingkat partisipasi perempuan sebanyak 36,4 persen.
Selain itu, yang cukup membedakan pekerja gig di sektor transportasi adalah tingkat pendidikannya yang mayoritas didominasi oleh lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA). Hanya 10,9 persen di antaranya yang merupakan lulusan perguruan tinggi, di mana lebih rendah daripada pekerja di sektor formal (25,8 persen) tetapi lebih tinggi daripada pekerja di sektor informal secara umum (6 persen).
Dari tingkat pendidikan, pekerja gig di sektor jasa lainnya lebih mirip dengan karakteristik pekerja formal, di mana 23,8 persen di antaranya merupakan lulusan perguruan tinggi. Hal ini bisa menggambarkan sebagian kelompok terdidik yang lebih memilih pekerjaan gig online berketerampilan tinggi yang menawarkan penghasilan lebih tinggi, daripada di pasar kerja lokal dan juga menawarkan otonomi dan fleksibilitas kerja.
Laporan itu juga menemukan bahwa rata-rata usia pekerja gig lebih muda daripada pekerja informal secara umum. Hal ini dapat dijelaskan dengan keharusan seorang pekerja gig untuk melek teknologi dan bisa menggunakan aplikasi dalam telepon genggam atau perangkat komputer mereka, sehingga tak heran pekerjaan ini lebih banyak diminati oleh pekerja dengan usia yang lebih muda.
Studi yang disusun oleh 3 orang peneliti itu juga menemukan bahwa ekonomi gig adalah fenomena urban. Sebanyak 88 persen pekerja gig di sektor transportasi dan 80,7 persen pekerja gig di sektor jasa lainnya tinggal di perkotaan. Angka ini jauh lebih besar daripada pekerja formal (73 persen) dan pekerja informal (66 persen) yang tinggal di area urban.
Didapatkan bahwa jumlah pekerja gig di setiap daerah berkorelasi kuat dengan jumlah populasi perkotaan. Fenomena ekonomi gig di Tanah Air juga menunjukkan dominasi Pulau Jawa dan area ibu kota. Sebanyak 1,7 juta atau sebanyak 74 persen pekerja gig berada di Pulau Jawa, sementara sebanyak 480.000 (39 persen) pekerja gig di sektor transportasi terkonsentrasi di kawasan metropolitan (Jabodetabek).
Studi ini juga memetakan sebaran pekerja gig di tingkat kota/kabupaten. Pekerja gig di Pulau Jawa mencapai 74 persen dari keseluruhan pekerja gig se-Indonesia, di mana rasio ini lebih tinggi daripada rasio penduduk Pulau Jawa yang hanya sebesar 60 persen.
Selain itu, didapatkan fakta bahwa pekerja gig di sektor transportasi terkonsentrasi di kota-kota metropolitan. Di sisi lain, pekerja gig di sektor jasa lainnya lebih tersebar ke kota-kota tier dua lainnya di Pulau Jawa.
Baca juga: Hypereport: Self Improvement Gen Z di Dunia Karier 2025
Di sektor transportasi, pekerja gig paling banyak terkonsentrasi di ibu kota provinsi seperti Manado, Bandar Lampung, dan Surabaya, serta di wilayah Jabodetabek. Hal ini sejalan dengan ukuran pasar yang dilayani oleh jasa transportasi berbasis gig seperti ojek online, kurir, maupun pengantaran makanan. Hal ini sejalan dengan kecenderungan ekonomi gig di sektor transportasi yang fokus melayani konsumen di tingkat lokal.
Sebaliknya, di sektor jasa lainnya, pekerja gig terdistribusi juga di kota-kota tier kedua yang ukuran populasinya lebih kecil seperti Salatiga, Pasuruan, Madiun, dan Solok. Selain itu, pekerja gig juga tersebar di kota yang identik dengan kota kreativitas, pariwisata, dan pendidikan seperti Denpasar, Malang, Yogyakarta, dan Bandung.
Meski demikian, ada sebagian pekerja gig di kelompok ini yang bekerja berbasis online dan tidak melayani pasar lokal. Kota-kota tersebut menjadi pilihan utama para pekerja gig terdidik berketerampilan tinggi ini yang identik dengan pekerja kreatif dan lebih cocok tinggal di kota kreatif.
Di balik potensi dan peluangnya yang besar, sektor ekonomi gig di Indonesia juga masih menghadapi sejumlah tantangan, utamanya dalam hal pengupahan. Pengupahan dalam sitem ekonomi gig yang menekankan pada fleksibilitas membuat perusahaan dapat memberikan upah berdasarkan ketentuan pengupahan tiap perusahaan terhadap pekerja.
Hasilnya, tidak sedikit pekerja yang mendapatkan upah di bawah standar pengupahan yang berlaku (UMP), sedangkan beban kerja yang dilakukan cukup berat. Kelemahan lain yakni terkait dengan jaminan kesejahteraan pekerja di mana seringkali pekerja tidak mendapatkan jaminan lain di luar gaji pokok seperti jaminan kesehatan, uang lembur, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kesejahteraan pekerja lainnya.
Selain itu, kontrak kerja bagi pekerja gig juga mengalami situasi yang rentan dikarenakan kebanyakan perusahaan tidak membuat aturan yang jelas dalam kontrak kerja. Akibatnya, pekerja akan rentan mengalami eksploitasi baik dalam hal pengupahan, jam kerja yang overtime, maupun tuntutan untuk melakukan pekerjaan di luar deskripsi kerja.
Termasuk, tidak adanya jenjang karier dikarenakan status pekerja gig yang didasarkan pada work on-demand, belum terdapat payung hukum dalam mengatur hubungan kemitraan yang terbentuk di dalamnya, serta minimnya jaminan nasib pekerja gig sehingga dapat menjadi ruang bagi praktik eksploitasi.
Terlebih lagi, pada kondisi di mana lapangan pekerjaan menjadi semakin sedikit dan sulit untuk dicapai, sehingga membuat pekerja gig rela untuk bekerja di dalam kondisi yang memunculkan kerentanan pada dirinya daripada tidak bekerja sama sekali.
Baca juga: Hypereport Resolusi 2025: Menanti Kejutan Karya Segar Para Musisi Sambut Warsa Anyar
Dengan berbagai peluang dan tantangannya, fenomena ekonomi gig ini tidak dapat dihindari sejalan dengan kian masifnya inovasi teknologi digital yang berkembang pesat. Berikut adalah daftar pekerjaan di gig economy yang tetap memiliki peluang menarik pada 2025, yang umumnya membutuhkan keahlian khusus.
Editor: Fajar Sidik
Secara sederhana, ekonomi gig adalah praktik ekonomi berbasis platform internet dan berpusat pada kemampuan individu untuk mendapatkan upah, dengan otonomi dan kekuasaan untuk merancang jadwal serta lokasinya untuk bekerja.
Selama beberapa tahun terakhir, ekonomi gig tengah menjadi perbincangan. Sebagian mengatakan ekonomi gig sejalan dengan semangat fleksibilitas dan kewirausahaan sehingga relevan dengan tren ragam pekerjaan di masa depan. Ekonomi gig dipandang sebagai alternatif pekerjaan bagi mereka yang tidak menyukai pola bekerja tradisional kantoran dengan waktu kerja yang kaku.
Baca juga: Gig Economy Berkembang di Indonesia, Tren Usaha Sewa Pasangan Menjamur
Di sisi lain, sebagian mengatakan ekonomi gig merupakan kelanjutan dari praktik eksploitasi neoliberalisme di mana pemilik kapital mengendalikan para pekerja secara tidak langsung, dengan memanfaatkan kerancuan istilah ‘kemitraan’.
Ekonomi gig muncul akibat pola kontrak dan organisasi kerja baru yang ditopang oleh perubahan teknologi, globalisasi, dan melemahnya serikat pekerja. Dalam perspektif ini, ekonomi gig erat kaitannya dengan pekerja prekariat yang dibayar murah, pekerjaannya berbasis kontrak yang tidak menentu, serta tingkat keamanan pekerjaannya yang rendah.
Di Indonesia, wacana mengenai ekonomi gig bergeliat dalam beberapa tahun terakhir. Tren ini diawali dengan munculnya ojek online awal tahun 2015 yang menawarkan skema kemitraan kepada para pekerjanya. Selain model bisnis ojek yang mengantarkan penumpang, pola aplikasi perantara ini kemudian direplikasi untuk taksi mobil, pengantar makanan, dan jasa kurir.
Secara umum, ekonomi gig dipandang sebagai sebuah peluang baru di tengah terbatasnya pekerjaan di sektor formal di Indonesia. Selain pekerja ojek online, muncul juga tren pekerjaan jarak jauh (remote work) dengan memanfaatkan aplikasi digital sebagai media perantara. Dengan pola kerja ini, pekerjaan tidak lagi dibatasi oleh jarak geografis.
Menurut Center For Digital Society, diperkirakan kehadiran gig economy ataupun ekonomi digital memberikan dampak yang positif terhadap perekonomian di Indonesia dengan estimasi valuasi pasar mencapai US$100 miliar pada 2025.
Tren pasar tenaga kerja dan ancaman terhadap resesi ekonomi telah berkontribusi dalam pertumbuhan sistem gig economy. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menemukan bahwa jumlah pekerja lepas (freelance) di Indonesia mencapai 46,47 juta orang, atau memiliki proporsi sebesar 32 persen dari total angkatan kerja yang mencaai 146,62 juta jiwa pada Februari 2023.
Angka tersebut mengalami kenaikan yang cukup signifikan dibandingkan data 2022 di mana terdapat 34 juta orang atau 24 persen dari jumlah angkatan kerja merupakan pekerja lepas.
Layanan kurir adalah salah satu pekerjaan ekonomi gig. (Sumber gambar: Rdne/Pexels)
Kondisi Pekerja Ekonomi Gig di Idonesia
Pada 2023, jurnal penelitian berjudul Mengukur Ekonomi Gig di Indonesia: Tipologi, Karakteristik, dan Distribusi menemukan bahwa jumlah angkatan kerja Indonesia yang menjadikan aktivitas gig sebagai pekerjaan utamanya diperkirakan mencapai 430.000 hingga 2,3 juta orang. Dengan kata lain, 0,3 sampai dengan 1,7 persen dari total angkatan kerja di Indonesia tahun 2019 yang besarnya 134 juta orang, bekerja penuh waktu di sektor ekonomi gig. Rasio tersebut mirip dengan rasio pekerja gig penuh waktu di Amerika Serikat, Eropa, dan Inggris Raya yang berkisar di antara 0,5 persen hingga 2 persen dari angkatan kerja atau dari populasi dewasa.
Penelitian itu menyebutkan bahwa pekerja gig di Indonesia dikategorikan sebagai mereka yang berusaha sendiri (self-employed) di sektor jasa, mengikuti definisi bahwa yang diperjual-belikan di dalam ekonomi gig adalah jasa tenaga kerja, bukan produk.
Oleh karena itu, dari klasifikasi 17 sektor pekerjaan, pekerja gig bisa dikategorikan ke sebagian pekerja di sektor jasa, antara lain sektor transportasi dan pergudangan, informasi dan komunikasi, jasa keuangan dan asuransi, real estate, jasa perusahaan, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan jasa lainnya.
Baca juga: Hypereport: Karakteristik Gen Z, Profesi yang Diminati sampai Tingkat Kesejahteraan Hidup
Secara umum, pekerja gig di Indonesia yang bekerja di sektor transportasi memiliki jam kerja panjang yakni mencapai 54 jam, dibandingkan dengan pekerja lainnya. Hal ini sejalan dengan banyak riset terdahulu yang menggambarkan kondisi pekerjaan pengemudi ojek online dan kurir yang terpaksa bekerja hingga larut malam, untuk mencapai target dan bonus harian.
Sementara itu, jam kerja pekerja gig di sektor jasa lainnya rata-rata adalah 37 jam per pekan, relatif lebih rendah daripada pekerja di sektor formal maupun pekerja informal.
Dari segi rata-rata pendapatan, pekerja gig transportasi maupun jasa lainnya mencapai Rp3,05 juta per bulan. Angka ini melebihi pekerja di sektor informal yang rerata mendapatkan penghasilan mulai dari Rp2,09 juta per bulan hingga Rp2,92 juta per bulan.
Sementara dari segi demografi, pekerja gig di sektor transportasi didominasi oleh laki-laki, yakni mencapai 97,6 persen. Sementara itu, rasio gender pekerja gig di sektor jasa lainnya mirip dengan pekerja formal, dengan tingkat partisipasi perempuan sebanyak 36,4 persen.
Selain itu, yang cukup membedakan pekerja gig di sektor transportasi adalah tingkat pendidikannya yang mayoritas didominasi oleh lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA). Hanya 10,9 persen di antaranya yang merupakan lulusan perguruan tinggi, di mana lebih rendah daripada pekerja di sektor formal (25,8 persen) tetapi lebih tinggi daripada pekerja di sektor informal secara umum (6 persen).
Dari tingkat pendidikan, pekerja gig di sektor jasa lainnya lebih mirip dengan karakteristik pekerja formal, di mana 23,8 persen di antaranya merupakan lulusan perguruan tinggi. Hal ini bisa menggambarkan sebagian kelompok terdidik yang lebih memilih pekerjaan gig online berketerampilan tinggi yang menawarkan penghasilan lebih tinggi, daripada di pasar kerja lokal dan juga menawarkan otonomi dan fleksibilitas kerja.
Laporan itu juga menemukan bahwa rata-rata usia pekerja gig lebih muda daripada pekerja informal secara umum. Hal ini dapat dijelaskan dengan keharusan seorang pekerja gig untuk melek teknologi dan bisa menggunakan aplikasi dalam telepon genggam atau perangkat komputer mereka, sehingga tak heran pekerjaan ini lebih banyak diminati oleh pekerja dengan usia yang lebih muda.
Content creator adalah salah satu pekerjaan ekonomi gig. (Sumber gambar: Ivan Samkov/Pexels)
Ekonomi Gig adalah Fenomena Urban
Studi yang disusun oleh 3 orang peneliti itu juga menemukan bahwa ekonomi gig adalah fenomena urban. Sebanyak 88 persen pekerja gig di sektor transportasi dan 80,7 persen pekerja gig di sektor jasa lainnya tinggal di perkotaan. Angka ini jauh lebih besar daripada pekerja formal (73 persen) dan pekerja informal (66 persen) yang tinggal di area urban.Didapatkan bahwa jumlah pekerja gig di setiap daerah berkorelasi kuat dengan jumlah populasi perkotaan. Fenomena ekonomi gig di Tanah Air juga menunjukkan dominasi Pulau Jawa dan area ibu kota. Sebanyak 1,7 juta atau sebanyak 74 persen pekerja gig berada di Pulau Jawa, sementara sebanyak 480.000 (39 persen) pekerja gig di sektor transportasi terkonsentrasi di kawasan metropolitan (Jabodetabek).
Studi ini juga memetakan sebaran pekerja gig di tingkat kota/kabupaten. Pekerja gig di Pulau Jawa mencapai 74 persen dari keseluruhan pekerja gig se-Indonesia, di mana rasio ini lebih tinggi daripada rasio penduduk Pulau Jawa yang hanya sebesar 60 persen.
Selain itu, didapatkan fakta bahwa pekerja gig di sektor transportasi terkonsentrasi di kota-kota metropolitan. Di sisi lain, pekerja gig di sektor jasa lainnya lebih tersebar ke kota-kota tier dua lainnya di Pulau Jawa.
Baca juga: Hypereport: Self Improvement Gen Z di Dunia Karier 2025
Di sektor transportasi, pekerja gig paling banyak terkonsentrasi di ibu kota provinsi seperti Manado, Bandar Lampung, dan Surabaya, serta di wilayah Jabodetabek. Hal ini sejalan dengan ukuran pasar yang dilayani oleh jasa transportasi berbasis gig seperti ojek online, kurir, maupun pengantaran makanan. Hal ini sejalan dengan kecenderungan ekonomi gig di sektor transportasi yang fokus melayani konsumen di tingkat lokal.
Sebaliknya, di sektor jasa lainnya, pekerja gig terdistribusi juga di kota-kota tier kedua yang ukuran populasinya lebih kecil seperti Salatiga, Pasuruan, Madiun, dan Solok. Selain itu, pekerja gig juga tersebar di kota yang identik dengan kota kreativitas, pariwisata, dan pendidikan seperti Denpasar, Malang, Yogyakarta, dan Bandung.
Meski demikian, ada sebagian pekerja gig di kelompok ini yang bekerja berbasis online dan tidak melayani pasar lokal. Kota-kota tersebut menjadi pilihan utama para pekerja gig terdidik berketerampilan tinggi ini yang identik dengan pekerja kreatif dan lebih cocok tinggal di kota kreatif.
Tantangan Ekonomi Gig di Indonesia
Di balik potensi dan peluangnya yang besar, sektor ekonomi gig di Indonesia juga masih menghadapi sejumlah tantangan, utamanya dalam hal pengupahan. Pengupahan dalam sitem ekonomi gig yang menekankan pada fleksibilitas membuat perusahaan dapat memberikan upah berdasarkan ketentuan pengupahan tiap perusahaan terhadap pekerja.Hasilnya, tidak sedikit pekerja yang mendapatkan upah di bawah standar pengupahan yang berlaku (UMP), sedangkan beban kerja yang dilakukan cukup berat. Kelemahan lain yakni terkait dengan jaminan kesejahteraan pekerja di mana seringkali pekerja tidak mendapatkan jaminan lain di luar gaji pokok seperti jaminan kesehatan, uang lembur, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kesejahteraan pekerja lainnya.
Selain itu, kontrak kerja bagi pekerja gig juga mengalami situasi yang rentan dikarenakan kebanyakan perusahaan tidak membuat aturan yang jelas dalam kontrak kerja. Akibatnya, pekerja akan rentan mengalami eksploitasi baik dalam hal pengupahan, jam kerja yang overtime, maupun tuntutan untuk melakukan pekerjaan di luar deskripsi kerja.
Termasuk, tidak adanya jenjang karier dikarenakan status pekerja gig yang didasarkan pada work on-demand, belum terdapat payung hukum dalam mengatur hubungan kemitraan yang terbentuk di dalamnya, serta minimnya jaminan nasib pekerja gig sehingga dapat menjadi ruang bagi praktik eksploitasi.
Terlebih lagi, pada kondisi di mana lapangan pekerjaan menjadi semakin sedikit dan sulit untuk dicapai, sehingga membuat pekerja gig rela untuk bekerja di dalam kondisi yang memunculkan kerentanan pada dirinya daripada tidak bekerja sama sekali.
Baca juga: Hypereport Resolusi 2025: Menanti Kejutan Karya Segar Para Musisi Sambut Warsa Anyar
Dengan berbagai peluang dan tantangannya, fenomena ekonomi gig ini tidak dapat dihindari sejalan dengan kian masifnya inovasi teknologi digital yang berkembang pesat. Berikut adalah daftar pekerjaan di gig economy yang tetap memiliki peluang menarik pada 2025, yang umumnya membutuhkan keahlian khusus.
- Pengembang perangkat lunak: pekerjaan seperti game engineer dan UI/UX designer.
- Pekerja kreatif: pekerjaan seperti content creator dan graphic designer.
- Pekerja IT: pekerjaan seperti data scientist dan network analyst, serta pekerja yang mengembangkan keahlian di bidang seperti AI, pembelajaran mesin, blockchain, dan augmented reality.
- Direktur seni: Pekerjaan yang bertanggung jawab untuk mengawasi dan mengelola aspek visual suatu proyek
- Penulisan (seperti copywriter, content writer, dan jurnalis lepas)
- Penerjemah
- Fotografer
- Konsultan bisnis
- Pembuat konten digital
- Musisi dan pemusik untuk acara-acara
- Event organizer.
- Pembuat makanan dan katering
- Pengemudi ride-hailing (seperti Grab, Gojek)
- Asisten virtual yang mendukung layanan bisnis dan pelanggan.
- Jasa sewa pasangan, dan banyak lagi profesi lainnya.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.