Pengunjung menikmati sejumlah karya dalam pameran bertajuk Jejak Perlawanan: Sang Presiden 2001 di Galeri Nasional Indonesia pada Kamis, (9/1/25) malam. (Sumber gambar: Hypeabis.id/Eusebio Chrysnamurti)

Refleksi Jejak Perlawanan 'Sang Presiden 2001' di Galeri Nasional Indonesia

13 January 2025   |   13:53 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Ada yang istimewa di Gedung A, Galeri Nasional Indonesia pada Kamis malam, 9 Januari 1/2025. Sebuah karpet merah terhampar di pintu masuk seperti menyambut tamu agung. Ujungnya menyentuh partisi berwarna hitam dengan sebuah bingkai di depanya.

Di sana, terdapat potret imajinatif dari perupa Hardi. Alih-alih berpose layaknya seniman dengan busana nyentrik, dia justru mengenakan pakaian ala militer dengan tanda pangkat kehormatan lengkap pada bagian bahu dan dada.

Baca juga: Pameran Tale Within Threads: Saat Seni Tekstil Menggugat Isu Lingkungan

Karya grafis dengan teknik sablon pada kertas itu menjadi magnet bagi pengunjung. Semua orang asyik berswafoto di depannya. Kendati sudah sering dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia, karya ini tetap menjadi primadona.

Bukan tanpa alasan karya ini menjadi bintang. Sebab, lukisan bertajuk 'Presiden RI Tahun 2001' itu, pernah menggegerkan jagat seni rupa Indonesia pada masanya. Sang empu lukis, kala itu harus mendekam selama 3 hari di penjara karena dituduh makar.

Pada 1980, Hardi dibekuk Laksusda Jaya, organisasi strategis pada era Orde Baru. Ini terjadi setelah karya itu dipamerkan dalam Biennale Pelukis Muda Indonesia di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Imajinasi Hardi dibungkam karena dianggap provokatif dalam menggugat kekuasaan.
 

Karya Hardi bertajuk Presiden RI Tahun 2001 dalam pameran berjudul Jejak Perlawanan: Sang Presiden 2001 di Galeri Nasional Indonesia pada Kamis, (9/1/25) malam. (Sumber gambar: Hypeabis.id/Eusebio Chrysnamurti)

Karya Hardi bertajuk Presiden RI Tahun 2001 dalam pameran berjudul Jejak Perlawanan: Sang Presiden 2001 di Galeri Nasional Indonesia pada Kamis, (9/1/25) malam. (Sumber gambar: Hypeabis.id/Eusebio Chrysnamurti)


Kini, setelah 45 tahun karya itu kembali disajikan dalam pameran bertajuk Jejak Perlawanan Sang Presiden 2001: Tribut untuk Hardi (1951-2023). Total terdapat 78 karya, baik grafis, lukisan, sketsa, memorabilia, instalasi interaktif, dan inovasi jangker, atau perpaduan antara kujang dan keris.

Lain dari itu, Hardi juga gemar merekam kondisi sosial. Pemandangan seperti tukang becak, pedagang asongan, loper koran banyak ditemui dalam pameran yang berlangsung hingga 26 Januari 2025, itu. Meski, tak jarang pula dia melukis tokoh besar, seperti Prabowo, Joko Widodo, hingga Gus Dur.

Kurator pameran Dio Pamola C. mengatakan, Hardi adalah seniman yang menjadikan seni sebagai alat perlawanan untuk merefleksikan realitas sosial-politik Indonesia. Menurutnya, Hardi tidak hanya melukis di atas kanvas tapi juga melukis zeitgeist zaman, dengan bahasa rupa yang berani.

"Hardi itu dari dulu karyanya memang lebih banyak kritikan. Jadi, apapun yang dia tidak suka, maka akan langsung bikin karya untuk mengkritisi hal tersebut. Karakternya itu memang blak-blakan,"katanya.


Pelukis dan Aktivis

Di Indonesia tidak banyak pelukis yang mampu mengimplementasikan pikirannya dalam lelaku. Dari sekian banyak perupa, Hardi adalah salah satunya. Bahkan dia juga kerap terjun ke lapangan untuk ikut langsung menyuarakan aspirasinya bersama publik.

Pada 2011, misalnya, dia menginisiasi demo di depan Gedung DPR/MPR Senayan untuk menolak pembangunan gedung baru. Di depan gerbangnya yang menjulang, seniman asal Blitar itu juga melakukan live painting untuk melampiaskan kekecewaannya terhadap kinerja wakil rakyat.

Hasilnya adalah lukisan bertajuk WC Umum (akrilik pada kanvas, 100 X 120 cm, 2011) yang juga ditampilkan dalam seteleng ini. Karya tersebut menggambarkan lanskap kota dengan objek badut dan kelimun orang berpose 'patung pemikir' karya Agustine Rodin, sedang berak di atas kloset.

Adegan tersebut tentu menyindir perilaku wakil rakyat yang tak pernah mendengar aspirasi rakyat yang menjadi tuan mereka. Di lukisan tersebut akronim dari DPR/MPR/DPD juga diubah menjadi Majelis Persyahwatan Rakyat, Dewan Parasit Rakyat, dan Dewan Pengangguran Daerah. Lukisan ini terasa satir sekaligus menohok.
 

ahh

Sejumlah karya Hardi dalam pameran berjudul Jejak Perlawanan: Sang Presiden 2001 di Galeri Nasional Indonesia pada Kamis, (9/1/25) malam. (Sumber gambar: Hypeabis.id/Eusebio Chrysnamurti)

Dalam setiap guratan kanvasnya, Hardi memang kerap mengangkat kegelisahan kolektif masyarakat dengan cara eksplisit. Dia seolah menyuarakan protes terpendam terhadap ketidakadilan dan ketertindasan, yang ditemui dan rasakan, lalu diolah secara artistik tanpa metode yang berbelit-belit.  

Kritikus seni Agus Dermawan T menyebutkan, secara umum karya seni terbagi dalam dua jenis, yaitu vibrasi garbo dan vibrasi vitae. Vibrasi garbo adalah karya yang diekspresikan dengan cara yang halus, sementara itu vibrasi vitae adalah ekspresi yang dilampiaskan secara kasar, impulsif dan mendadak.

"Karya Hardi masuk dalam kategori vibrasi vitae. Dia memilih secara kodrati tersebut. Biasanya ekspresi ini dipilih karena menjadi medium yang paling mudah untuk mengungkapkan emosi atau sensibilitas terhadap suatu hal," katanya.

Baca juga: Mitos Buaya & Kritik Lingkungan dalam Pameran Manusia Sungai di Nadi Gallery

Menteri Kebudayaan Fadli Zon, mengatakan Hardi merupakan salah satu eksponen dari Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) pada 1975. GSRB adalah sebuah gerakan yang muncul dari sebuah keinginan untuk bereksperimen di dunia seni rupa dengan lebih bebas tanpa ikatan baku.

Menurut Fadli, selain melukis Hardi juga kerap mengejawantahkan pemikirannya ke dalam bentuk tulisan. Buah pemikirannya juga banyak dimuat di media massa. Dalam sejarah seni rupa, kolektor lukisan itu juga menyejajarkan Hardi dengan sosok perupa cempiang S. Sudjojono.

"Hardi adalah seniman yang berusaha memaksimalkan apa yang ada pada dirinya untuk melahirkan karya di berbagai bidang. Selain itu dia juga dikenal sebagai aktivis, yang dalam perjalanan kariernya penuh risiko," katanya.

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

Hypereport: Meningkatnya Profesi Asisten Virtual di Dunia Kerja Digital

BERIKUTNYA

Kisah Toko Kopi Tuku, Buka Kedai di Korea Sampai Beli Naming Rights MRT Cipete

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: