Obituari Pelukis Hardi, Seniman Progresif dengan Karya Fenomenal
29 December 2023 |
06:56 WIB
Banyak orang mengasosiasikan Hardi sebagai salah satu tokoh Gerakan Seni Rupa Indonesia Baru (GSRBI). Saat mendengar namanya, pikiran pertama yang muncul dari penikmat seni tentu saja lukisan bertajuk Presiden RI 2001, yang hingga saat ini masih menjadi salah satu masterpiece-nya.
Selama lima dekade bergelut di kesenian, Hardi juga telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan di bidang seni rupa. Dia berhasil mengagitasi khalayak seni dengan karya-karyanya yang progresif, dan kelak menandai babak baru perjalanan sejarah seni rupa Indonesia modern.
Baca juga: Dunia Seni Rupa Indonesia Berduka, Maestro Lukis Suhardi Tutup Usia
Lahir di Blitar, Jawa Tengah, dengan nama R.Soehardi pada 26 Mei 1951, Hardi memulai karier sebagai pelukis pada dekade 70-an di Bali. Di Pulau Dewata ini, di melukis bersama seniman-seniman lain seperti W. Hardja, dan Anton Huang, untuk kemudian melanjutkan kuliah di Akademi Seni Rupa Surabaya.
Tak hanya itu, setelahnya dia juga sempat meneruskan kuliah di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia ASRI, Yogyakarta. Kemudian melanjutkan kuliah di De Jan Van EYC Academie di Maastricht, Belanda, dan sempat berguru pada Fadjar Sidik, Widayat, hingga Sudarmadji.
Pada dekade 70-an, Hardi bergabung dan mempelopori Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI) yang mewarnai dinamika kesenian di Tanah Air. Gerakan ini juga dimotori oleh FX Harsono, Bonyong Munni Ardhi, Sity Adiyati, Jim Supangkat, dan Nanik Mirna.
Dalam sejarahnya, GSRBI merupakan sebuah gerakan para seniman yang menentang konsep kelembagaan seni rupa yang hanya sebatas lukisan dan patung. Gerakan ini muncul sebagai bentuk protes terhadap penjurian Biennale Lukis Jakarta Kedua di Tanah Air.
Protes tersebut juga memunculkan Gerakan Desember Hitam, yang turut membentuk lanskap seni rupa masa kini. Diinisiasi oleh perupa muda, kala itu mereka memprotes dewan juri yang berpihak pada pengutamaan gaya abstrak dekoratif alih-alih seni rupa eksperimen.
Kurator Bayu Genia mengatakan, bentuk sikap pemberontakan inilah yang kelak melahirkan GSRBI yang cenderung lebih eksperimental. Termasuk salah satunya terlihat dari karya seniman Hardi, berjudul Presiden RI Tahun 2001, yang menggambarkan potret dirinya mengenakan busana pejabat tinggi.
"Kecenderungan karya tersebut memang lebih apolitis bila dibandingkan dekade 60-an yang terpusat pada estetika kerakyatan versus humanisme universal. Namun, pada gerakan seni rupa baru (GSRB) mereka kembali memunculkan isu-isu sosial, salah satunya lewat lukisan Presiden RI Tahun 2001, karya Hardi," katanya dalam pameran Piknik 70-an.
Setali tiga uang, kurator Mikke Susanto mengatakan, karakter Hardi dalam menjalani profesi sebagai seniman juga memberi corak tersendiri bagi seni rupa Indonesia. Menurut Mikke, Hardi tidak hanya berkarya berdasarkan topik-topik kontemporer, tapi juga dengan sikap yang rileks dan tidak terbebani batas teori akademik.
"Sebagai seniman, dia juga menjalani profesi secara kritis, mampu memanfaatkan bisnis, tetap idealis berperan sebagai budayawan, sekaligus anggota masyarakat," katanya.
Namun, jalan pedang kesenian Hardi harus berakhir hari ini, Kamis (28/12/23). Seniman yang juga aktivis itu. Kabar kepergiannya pun diwartakan secara berantai di grup WhatsApp, setelah sang seniman menderita sakit selama beberapa bulan terakhir, dan tutup usia di umur 66 tahun.
"Jenazah akan disemayamkan di rumah mendiang, di Kompleks DKI, Blok Y, No.16, Joglo, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Kabar pemakaman menyusul," tulis pesan dari anggota keluarga yang diwakili oleh Jibril, anak dari sang seniman.
Selama hidupnya, Hardi telah melakukan pameran baik di dalam dan luar negeri. Karya-karyanya juga telah dikoleksi oleh keluarga Cendana, representasi dari rezim yang sempat dikritik oleh sang seniman. Tak hanya itu, lewat prestasinya yang luar biasa, namanya pun akan tetap dikenang meski dia telah tiada. Selamat jalan Hardi.
Baca juga: Kaleidoskop 2023: Pelaku Seni yang Tutup Usia Sepanjang Tahun, Ada Nani Wijaya & Djoko Pekik
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Selama lima dekade bergelut di kesenian, Hardi juga telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan di bidang seni rupa. Dia berhasil mengagitasi khalayak seni dengan karya-karyanya yang progresif, dan kelak menandai babak baru perjalanan sejarah seni rupa Indonesia modern.
Baca juga: Dunia Seni Rupa Indonesia Berduka, Maestro Lukis Suhardi Tutup Usia
Kiprah Hardi
Lahir di Blitar, Jawa Tengah, dengan nama R.Soehardi pada 26 Mei 1951, Hardi memulai karier sebagai pelukis pada dekade 70-an di Bali. Di Pulau Dewata ini, di melukis bersama seniman-seniman lain seperti W. Hardja, dan Anton Huang, untuk kemudian melanjutkan kuliah di Akademi Seni Rupa Surabaya.Tak hanya itu, setelahnya dia juga sempat meneruskan kuliah di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia ASRI, Yogyakarta. Kemudian melanjutkan kuliah di De Jan Van EYC Academie di Maastricht, Belanda, dan sempat berguru pada Fadjar Sidik, Widayat, hingga Sudarmadji.
Pada dekade 70-an, Hardi bergabung dan mempelopori Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI) yang mewarnai dinamika kesenian di Tanah Air. Gerakan ini juga dimotori oleh FX Harsono, Bonyong Munni Ardhi, Sity Adiyati, Jim Supangkat, dan Nanik Mirna.
Dalam sejarahnya, GSRBI merupakan sebuah gerakan para seniman yang menentang konsep kelembagaan seni rupa yang hanya sebatas lukisan dan patung. Gerakan ini muncul sebagai bentuk protes terhadap penjurian Biennale Lukis Jakarta Kedua di Tanah Air.
Protes tersebut juga memunculkan Gerakan Desember Hitam, yang turut membentuk lanskap seni rupa masa kini. Diinisiasi oleh perupa muda, kala itu mereka memprotes dewan juri yang berpihak pada pengutamaan gaya abstrak dekoratif alih-alih seni rupa eksperimen.
Kurator Bayu Genia mengatakan, bentuk sikap pemberontakan inilah yang kelak melahirkan GSRBI yang cenderung lebih eksperimental. Termasuk salah satunya terlihat dari karya seniman Hardi, berjudul Presiden RI Tahun 2001, yang menggambarkan potret dirinya mengenakan busana pejabat tinggi.
"Kecenderungan karya tersebut memang lebih apolitis bila dibandingkan dekade 60-an yang terpusat pada estetika kerakyatan versus humanisme universal. Namun, pada gerakan seni rupa baru (GSRB) mereka kembali memunculkan isu-isu sosial, salah satunya lewat lukisan Presiden RI Tahun 2001, karya Hardi," katanya dalam pameran Piknik 70-an.
Lukisan Presiden RI Tahun 2001, karya Hardi (cetak saring pada kertas, 60 X 40 cm, 1979) (sumber gambar Hypeabis.id/Prasetyo Agung)
"Sebagai seniman, dia juga menjalani profesi secara kritis, mampu memanfaatkan bisnis, tetap idealis berperan sebagai budayawan, sekaligus anggota masyarakat," katanya.
Hardi Berpulang
Di balik sikap kritisnya, Hardi juga telah membuat karya-karya lukis populer di Indonesia yang saat ini terus diburu kolektor. Sementara itu, beberapa karyanya yang juga terkenal seperti, lukisan berjudul Tempe Emas, Sang Direktur, Laskar Wanita, Penari Legong dan Satwa, hingga Gelora Reformasi.Namun, jalan pedang kesenian Hardi harus berakhir hari ini, Kamis (28/12/23). Seniman yang juga aktivis itu. Kabar kepergiannya pun diwartakan secara berantai di grup WhatsApp, setelah sang seniman menderita sakit selama beberapa bulan terakhir, dan tutup usia di umur 66 tahun.
"Jenazah akan disemayamkan di rumah mendiang, di Kompleks DKI, Blok Y, No.16, Joglo, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Kabar pemakaman menyusul," tulis pesan dari anggota keluarga yang diwakili oleh Jibril, anak dari sang seniman.
Selama hidupnya, Hardi telah melakukan pameran baik di dalam dan luar negeri. Karya-karyanya juga telah dikoleksi oleh keluarga Cendana, representasi dari rezim yang sempat dikritik oleh sang seniman. Tak hanya itu, lewat prestasinya yang luar biasa, namanya pun akan tetap dikenang meski dia telah tiada. Selamat jalan Hardi.
Baca juga: Kaleidoskop 2023: Pelaku Seni yang Tutup Usia Sepanjang Tahun, Ada Nani Wijaya & Djoko Pekik
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.