Pameran Tale Within Threads: Saat Seni Tekstil Menggugat Isu Lingkungan
07 January 2025 |
20:00 WIB
Kain, benang, tali, rotan, bambu, baik yang alami maupun sintetis belakangan mulai tampil di dunia seni rupa kontemporer. Lewat berbagai teknik, material di muka juga terus dikembangkan menjadi karya-karya baru oleh para seniman di Tanah Air yang dipamerkan ke ruang publik.
Sebagian perupa bahkan dikenal sebagai spesialis. Sebab, selain menekuni material tersebut, mereka juga mengembangkan teknik baru. Ada yang bertolak dari khazanah tradisi, ada pula yang mengembangkan teknik baru sebagai respons terhadap ekses dari modernitas.
Baca juga: Mitos Buaya & Kritik Lingkungan dalam Pameran Manusia Sungai di Nadi Gallery
Karya Ketut Sugantika Lekung menampilkan kecenderungan itu pula. Meski bukan spesialis, perupa ini kerap memanfaatkan bahan kain untuk membuat corak-corak yang khas. Termasuk memanfaatkan tradisi lamak dan porosan Bali, sebagai metode untuk berkarya.
Salah satu karyanya, belum lama ini dipamerkan dalam pameran bertajuk Tale within Threads di Art:1 Museum, Jakarta. Dia menghadirkan 5 panel lukisan berjudul Lamak: The Sacred Symbol (acrylic on canvas folded on top of canvas, 100 x 40 cm, 2023).
Ketut Sugantika Lekung adalah seorang seniman visual dan pertunjukan asal Bali. Perupa yang lahir di Singapadu, pada 1975 itu menempuh pendidikan formal seni rupa di Institut Seni Indonesia (ISI), Denpasar. Dia merupakan salah finalis UOB Painting of The Year 2024.
Sebagai perupa, Lekung tergugah untuk mengolah kembali tradisi yang melingkupinya. Ibunya adalah penjual porosan, yakni salah satu sarana yang digunakan masyarakat adat di Bali untuk melakukan upacara keagamaan. Porosan, biasanya terbuat dari sirih, daun kelapa, dan buah pinang.
Sementara, Lamak adalah alas sesajen yang umumnya digunakan pada upacara-upacara penting umat Hindu di Bali. Fungsinya selain sebagai dekorasi, juga menjadi simbol Tri Bhuana, yaitu tiga alam yang saling berhubungan. Lamak, biasanya dibuat dari daun enau, uang kepeng, atau pis bolong.
Sayangnya, keseimbangan tersebut kerap terabaikan karena kerusakan lingkungan yang kian meruyak. Krisis iklim, penggundulan hutan, hingga deforestasi terus menggerus alam. Dengan 'Lamak', Lekung seperti mengingatkan publik untuk dengan sadar tetap menjaga hubungan yang sehat dan harmonis dengan liyan.
"Lewat pintu tradisi saya mencoba membuka pandangan baru, karena tradisi ini telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat. Metode tersebut saya refleksikan dengan cara yang lebih modern," katanya.
Selain Lekung, pameran Program Komunitas Art:1 Community Program (ACP) ini juga menampilkan 24 karya seniman lain di Indonesia. Ini merupakan program ke-4 dari yang dihelat oleh Art:1, untuk mendukung perupa muda dalam menampilkan eksplorasi gagasan artistik ke hadapan publik.
Masih mengetengahkan wastra sebagai material karya, seniman Rakhmi Fitriani juga menghadirkan karya yang khas. Perupa kelahiran 1993 itu, mencoba menghadirkan lanskap alam, dengan kain sisa-sisa limbah, atau perca untuk kemudian, dipilin, dijahit dan ditata sedemikian rupa.
Hasilnya adalah karya bertajuk Sawah Sumedang dan Sawah Kuningan. Lahir dan besar di Pangalengan, Jawa Barat, sawah memang menjadi pemandangan keseharian Rakhmi. Leluhurnya adalah petani yang menggantungkan hidup dari membajak sawah. Tak ayal, identitas ini juga cukup lekat dengannya.
Seri 'Sawah' adalah karya yang menghadirkan bentangan tersering dari bird eye. Lewat perca, Rakhmi menyusun lanskap menjadi kelindan yang rumit, acak tapi estetik. Ada tekstur yang diolah, sehingga menghadirkan gradasi dari warna kain yang memburai, menekuk, atau berjejalin dengan untaian benang.
Sebagai generasi yang berjarak dari tanah, menurut Rakhmi karya ini hadir untuk menelusuri kembali asal-usulnya. Momen ini juga tak lepas dalam mempertanyakan ulang dampak revolusi hijau, sebelum pepadian dipanen dengan ani-ani tanpa membungkuk, tapi sekarang dengan arit.
Praktik seni Rakhmi mencakup dua jalur yang berbeda tetapi saling berhubungan, yakni arsitektur lanskap dan seni tekstil. Tekniknya, yang lambat dan meditatif juga mencerminkan proses alami seperti pembentukan sungai dan gunung, yang terjadi secara organik sekaligus selaras dengan alam.
"Mayoritas cerita dalam karya saya memang menceritakan ruang, walaupun di sana juga ada isu sosial atau lingkungan. Namun yang selalu menjadi dasar karya saya adalah soal ruang, yang diambil dari citra satelit," kata perupa jebolan Institut Pertanian Bogor, itu.
Baca juga: Pameran Prasejarah Dibuka di Museum Nasional, Tampilkan Fosil Homo Erectus & Macan Purba
Kurator inhouse Art:1 Museum, Smita Parama mengatakan, pameran ini memang ingin mengetengahkan karya-karya abstrak kontemporer. Khususnya dalam merespon bahan tekstil atau merekonstruksi kembali simbol-simbol atau elemen yang biasa ditemukan pada senrai karya yang menggunakan material tekstil .
Selain berfokus pada kemahiran seniman dalam menyampaikan cerita yang disampaikan lewat teknik jahit, gores, makrame, atau quilt, seteleng ini juga bertujuan untuk mengungkai makna dan refleksi atas identitas. Terutama, bagi generasi muda yang memiliki sudut pandang berbeda terhadap isu tersebut.
"Melalui ragam cara penyampaian ini, kita diundang untuk melihat lebih dekat, untuk membaca kembali makna dan tujuan dari tiap elemen yang dipersembahkan, untuk merasa terlihat dan terlibat dengan keintiman dari sebuah cerita visual," katanya.
Editor: Fajar Sidik
Sebagian perupa bahkan dikenal sebagai spesialis. Sebab, selain menekuni material tersebut, mereka juga mengembangkan teknik baru. Ada yang bertolak dari khazanah tradisi, ada pula yang mengembangkan teknik baru sebagai respons terhadap ekses dari modernitas.
Baca juga: Mitos Buaya & Kritik Lingkungan dalam Pameran Manusia Sungai di Nadi Gallery
Karya Ketut Sugantika Lekung menampilkan kecenderungan itu pula. Meski bukan spesialis, perupa ini kerap memanfaatkan bahan kain untuk membuat corak-corak yang khas. Termasuk memanfaatkan tradisi lamak dan porosan Bali, sebagai metode untuk berkarya.
Salah satu karyanya, belum lama ini dipamerkan dalam pameran bertajuk Tale within Threads di Art:1 Museum, Jakarta. Dia menghadirkan 5 panel lukisan berjudul Lamak: The Sacred Symbol (acrylic on canvas folded on top of canvas, 100 x 40 cm, 2023).
Ketut Sugantika Lekung adalah seorang seniman visual dan pertunjukan asal Bali. Perupa yang lahir di Singapadu, pada 1975 itu menempuh pendidikan formal seni rupa di Institut Seni Indonesia (ISI), Denpasar. Dia merupakan salah finalis UOB Painting of The Year 2024.
Lukisan berjudul Lamak: The Sacred Symbol (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Sebagai perupa, Lekung tergugah untuk mengolah kembali tradisi yang melingkupinya. Ibunya adalah penjual porosan, yakni salah satu sarana yang digunakan masyarakat adat di Bali untuk melakukan upacara keagamaan. Porosan, biasanya terbuat dari sirih, daun kelapa, dan buah pinang.
Sementara, Lamak adalah alas sesajen yang umumnya digunakan pada upacara-upacara penting umat Hindu di Bali. Fungsinya selain sebagai dekorasi, juga menjadi simbol Tri Bhuana, yaitu tiga alam yang saling berhubungan. Lamak, biasanya dibuat dari daun enau, uang kepeng, atau pis bolong.
Sayangnya, keseimbangan tersebut kerap terabaikan karena kerusakan lingkungan yang kian meruyak. Krisis iklim, penggundulan hutan, hingga deforestasi terus menggerus alam. Dengan 'Lamak', Lekung seperti mengingatkan publik untuk dengan sadar tetap menjaga hubungan yang sehat dan harmonis dengan liyan.
"Lewat pintu tradisi saya mencoba membuka pandangan baru, karena tradisi ini telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat. Metode tersebut saya refleksikan dengan cara yang lebih modern," katanya.
Selain Lekung, pameran Program Komunitas Art:1 Community Program (ACP) ini juga menampilkan 24 karya seniman lain di Indonesia. Ini merupakan program ke-4 dari yang dihelat oleh Art:1, untuk mendukung perupa muda dalam menampilkan eksplorasi gagasan artistik ke hadapan publik.
Masih mengetengahkan wastra sebagai material karya, seniman Rakhmi Fitriani juga menghadirkan karya yang khas. Perupa kelahiran 1993 itu, mencoba menghadirkan lanskap alam, dengan kain sisa-sisa limbah, atau perca untuk kemudian, dipilin, dijahit dan ditata sedemikian rupa.
Hasilnya adalah karya bertajuk Sawah Sumedang dan Sawah Kuningan. Lahir dan besar di Pangalengan, Jawa Barat, sawah memang menjadi pemandangan keseharian Rakhmi. Leluhurnya adalah petani yang menggantungkan hidup dari membajak sawah. Tak ayal, identitas ini juga cukup lekat dengannya.
Seri 'Sawah' adalah karya yang menghadirkan bentangan tersering dari bird eye. Lewat perca, Rakhmi menyusun lanskap menjadi kelindan yang rumit, acak tapi estetik. Ada tekstur yang diolah, sehingga menghadirkan gradasi dari warna kain yang memburai, menekuk, atau berjejalin dengan untaian benang.
Seri karya Sawah Sumedang dan Sawah Kuningan (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Praktik seni Rakhmi mencakup dua jalur yang berbeda tetapi saling berhubungan, yakni arsitektur lanskap dan seni tekstil. Tekniknya, yang lambat dan meditatif juga mencerminkan proses alami seperti pembentukan sungai dan gunung, yang terjadi secara organik sekaligus selaras dengan alam.
"Mayoritas cerita dalam karya saya memang menceritakan ruang, walaupun di sana juga ada isu sosial atau lingkungan. Namun yang selalu menjadi dasar karya saya adalah soal ruang, yang diambil dari citra satelit," kata perupa jebolan Institut Pertanian Bogor, itu.
Baca juga: Pameran Prasejarah Dibuka di Museum Nasional, Tampilkan Fosil Homo Erectus & Macan Purba
Kurator inhouse Art:1 Museum, Smita Parama mengatakan, pameran ini memang ingin mengetengahkan karya-karya abstrak kontemporer. Khususnya dalam merespon bahan tekstil atau merekonstruksi kembali simbol-simbol atau elemen yang biasa ditemukan pada senrai karya yang menggunakan material tekstil .
Selain berfokus pada kemahiran seniman dalam menyampaikan cerita yang disampaikan lewat teknik jahit, gores, makrame, atau quilt, seteleng ini juga bertujuan untuk mengungkai makna dan refleksi atas identitas. Terutama, bagi generasi muda yang memiliki sudut pandang berbeda terhadap isu tersebut.
"Melalui ragam cara penyampaian ini, kita diundang untuk melihat lebih dekat, untuk membaca kembali makna dan tujuan dari tiap elemen yang dipersembahkan, untuk merasa terlihat dan terlibat dengan keintiman dari sebuah cerita visual," katanya.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.