Mengenal Istilah Naming Rights dan Implementasinya di Stasiun MRT Jakarta
13 January 2025 |
12:16 WIB
Praktik penamaan berbagai lokasi publik hingga acara tertentu diikuti dengan nama merek atau korporasi sudah tidak asing di Indonesia. Terutama dalam konteks transportasi umum, fenomena penamaan stasiun MRT di Jakarta telah mencerminkan tren yang berkembang tersebut.
Genhype pasti tidak asing dengan nama-nama stasiun seperti Bundaran HI Bank DKI, Blok M BCA, Senayan Mastercard hingga yang terbaru Cipete Raya Tuku. Hal-hal tersebut adalah bentuk langsung dari apa yang disebut naming rights atau hak penamaan.
Baca juga: Ramai Isu Penutupan Stasiun Karet, Ini Kata PT Kereta Commuter Indonesia
Dilansir dari Lexpert hak penamaan mengacu pada perjanjian kontrak di mana perusahaan atau individu membayar sejumlah biaya tertentu untuk mengaitkan nama mereka dengan tempat, acara, atau fasilitas tertentu. Tujuan naming rights ini tak lain adalah upaya pengenalan merek dari sebuah korporasi dengan menghubungkan identitas mereka bersama lokasi atau acara populer.
Adapun, menurut situs resmi MRT Jakarta, aktifitas jual beli hak penamaan ini diketahui sebagai langkah strategis untuk menghasilkan pendapatan tambahan. Selain itu mereka juga mengandalkan pendapatan dari iklan, telekomunikasi, payment gateway, hingga ritel sebagai bagian dari langkah ekskalasi bisnis tersebut.
Bisnis.com bahkan mencatat bahwa hak penamaan telah menjadi sumber pendapatan non-tarif yang signifikan bagi sistem MRT. Model pendanaan ini telah memberikan kontribusi sekitar 40 persen dari total pendapatan non-tiket perusahaan MRT pada 2024.
Model kerja sama MRT Jakarta dengan berbagai kemitraan memungkinkan mereka memberi merek pada stasiun-stasiun dengan imbalan biaya tahunan yang cukup besar. Sebagai contoh, Grab dilaporkan membayar sekitar Rp33 miliar per tahun untuk stasiun Lebak Bulus. Kemitraan penting lainnya termasuk BCA di Blok M dan Mandiri di Istora.
Bagi perusahaan, hak penamaan dapat berfungsi sebagai investasi strategis yang berkontribusi pada peningkatan pendapatan. Dengan mengasosiasikan merek mereka dengan tempat atau acara populer, perusahaan dapat memanfaatkan basis penggemar atau demografi pengguna yang sering mengunjungi lokasi tersebut.
Hal ini dalam jangka panjang diharapkan dapat meningkatkan penjualan karena konsumen dapat mengembangkan preferensi untuk merek yang bersangkutan yang nyata terintegrasi ke dalam pengalaman komunitas mereka.
Biasanya, kesepakatan hak penamaan disusun sebagai kemitraan jangka panjang. Sering kali berlangsung selama satu dekade atau lebih. Stabilitas ini memungkinkan perusahaan untuk merencanakan strategi pemasaran mereka secara efektif sambil memastikan eksposur merek yang konsisten dari waktu ke waktu.
Lexpert, dalam publikasi yang sama menyebut di Amerika Utara, lebih dari 90 persen tim di liga olahraga profesional utama di sana telah menandatangani perjanjian hak penamaan sebagai strategi meningkatkan visibilitas mereka.
Di luar olahraga, hak penamaan juga diterapkan pada ruang publik seperti taman dan pusat komunitas, yang dapat menghasilkan dana untuk pemeliharaan dan perbaikan. Namun, praktik ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang komersialisasi ruang-ruang publik tersebut yang harusnya tidak dikaitkan dengan penamaan merek atau korporasi khusus.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Genhype pasti tidak asing dengan nama-nama stasiun seperti Bundaran HI Bank DKI, Blok M BCA, Senayan Mastercard hingga yang terbaru Cipete Raya Tuku. Hal-hal tersebut adalah bentuk langsung dari apa yang disebut naming rights atau hak penamaan.
Baca juga: Ramai Isu Penutupan Stasiun Karet, Ini Kata PT Kereta Commuter Indonesia
Dilansir dari Lexpert hak penamaan mengacu pada perjanjian kontrak di mana perusahaan atau individu membayar sejumlah biaya tertentu untuk mengaitkan nama mereka dengan tempat, acara, atau fasilitas tertentu. Tujuan naming rights ini tak lain adalah upaya pengenalan merek dari sebuah korporasi dengan menghubungkan identitas mereka bersama lokasi atau acara populer.
Adapun, menurut situs resmi MRT Jakarta, aktifitas jual beli hak penamaan ini diketahui sebagai langkah strategis untuk menghasilkan pendapatan tambahan. Selain itu mereka juga mengandalkan pendapatan dari iklan, telekomunikasi, payment gateway, hingga ritel sebagai bagian dari langkah ekskalasi bisnis tersebut.
Bisnis.com bahkan mencatat bahwa hak penamaan telah menjadi sumber pendapatan non-tarif yang signifikan bagi sistem MRT. Model pendanaan ini telah memberikan kontribusi sekitar 40 persen dari total pendapatan non-tiket perusahaan MRT pada 2024.
Stasiun MRT Cipete Raya debuts new name pic.twitter.com/zs5QKHrEKC
— albert (@albortus) January 11, 2025
Model kerja sama MRT Jakarta dengan berbagai kemitraan memungkinkan mereka memberi merek pada stasiun-stasiun dengan imbalan biaya tahunan yang cukup besar. Sebagai contoh, Grab dilaporkan membayar sekitar Rp33 miliar per tahun untuk stasiun Lebak Bulus. Kemitraan penting lainnya termasuk BCA di Blok M dan Mandiri di Istora.
Bagi perusahaan, hak penamaan dapat berfungsi sebagai investasi strategis yang berkontribusi pada peningkatan pendapatan. Dengan mengasosiasikan merek mereka dengan tempat atau acara populer, perusahaan dapat memanfaatkan basis penggemar atau demografi pengguna yang sering mengunjungi lokasi tersebut.
Hal ini dalam jangka panjang diharapkan dapat meningkatkan penjualan karena konsumen dapat mengembangkan preferensi untuk merek yang bersangkutan yang nyata terintegrasi ke dalam pengalaman komunitas mereka.
Biasanya, kesepakatan hak penamaan disusun sebagai kemitraan jangka panjang. Sering kali berlangsung selama satu dekade atau lebih. Stabilitas ini memungkinkan perusahaan untuk merencanakan strategi pemasaran mereka secara efektif sambil memastikan eksposur merek yang konsisten dari waktu ke waktu.
Lexpert, dalam publikasi yang sama menyebut di Amerika Utara, lebih dari 90 persen tim di liga olahraga profesional utama di sana telah menandatangani perjanjian hak penamaan sebagai strategi meningkatkan visibilitas mereka.
Di luar olahraga, hak penamaan juga diterapkan pada ruang publik seperti taman dan pusat komunitas, yang dapat menghasilkan dana untuk pemeliharaan dan perbaikan. Namun, praktik ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang komersialisasi ruang-ruang publik tersebut yang harusnya tidak dikaitkan dengan penamaan merek atau korporasi khusus.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.