Pasar Seni Global Lesu, Bagaimana Prospek Seni Rupa Indonesia pada 2025?
04 January 2025 |
13:00 WIB
Pasar seni rupa di Indonesia terus bergeliat beberapa waktu terakhir. Momen ini terlihat dari maraknya eksibisi bursa dan ekshibisi seni yang dihelat di berbagai daerah di Tanah Air, seperti ArtJOG, Art Jakarta, Art Moment, dan Art Subs yang perdana dihelat di Surabaya.
Laporan Pasar Seni Global Art Basel dan UBS, menyebut, pasar seni global sempat mengalami kontraksi setelah dua tahun berturut-turut tumbuh. Kendati begitu, mereka memprediksi nilai penjualan pasar seni global tetap di atas level pra-pandemi (2019), yakni sebesar US$64,4 miliar.
Berdasarkan laman Art Basel dan UBS Art Market Report, pasar seni mengalami kontraksi sebesar 4 persen, setelah dua tahun sebelumnya tumbuh sekitar US$65 miliar. Penurunan ini mencakup sektor dealer dan lelang, imbas balai lelang dan kolektor yang menyesuaikan diri dengan kondisi pasar.
Baca juga: Geliat Pasar Seni Rupa Indonesia di Tangan Anak Muda
Penurunan ini, tak ayal membuat kinerja sejumlah balai lelang megap-megap. Sotheby's, misalnya, melaporkan penurunan penjualan selama kuartal II tahun ini sebesar 21% menjadi US$367 juta. Hal yang sama juga dirasakan oleh Christie's, yang membukukan penurunan penjualan lelang sebesar 22 persen menjadi US$ 2,1 miliar.
Kolektor seni Wiyu Wahono mengatakan, lesunya pasar seni global justru dapat menjadi peluang bagi seniman Indonesia dalam meningkatkan pamor ke dunia internasional. Sebab, saat ini semakin banyak galeri luar negeri yang ikut meramaikan sejumlah art market di Indonesia, imbas lesunya gelaran serupa di negara tetangga, salah satunya Korea.
"Indonesia art marketnya masih mengalami perkembangan, dan positifnya sangat baik. Sayangnya kita itu masih Jawasentris. Oleh karena itu perlu memperluas perifering di luar Jawa, karena karya seni dari mereka akan memberi kesegaran tematik dan gagasan-gagasan baru," katanya.
Selaras, Kurator senior Agus Dermawan T, mengatakan berbagai gelaran bursa seni rupa di Indonesia, juga akan diuntungkan dengan banyaknya galeri dari luar negeri yang turut memeriahkan acara tersebut. Sebab, momen ini akan memberi dampak lebih luas terhadap seni rupa Indonesia di kancah global pada masa depan.
Agus menjelaskan, lewat bursa seni, para perupa Indonesia memiliki dua tolok ukur. Pertama dari segi kualitas, sebab para galeries dari luar negeri akan membawa karya-karya berkualitas dari negara mereka. Kedua, parameter pasar yang bertujuan memacak karya seni layak dipamerkan, tapi juga layak untuk dijual.
"Dari presentasi para galleries itu, para perupa bisa belajar karya seperti apa yang pantas untuk masuk pasar. Meskipun itu bukan target utama dari para perupa. Namun, mereka dapat melihat sejauh mana masyarakat dapat mengapresiasi karya yang bisa dimiliki oleh mereka," katanya.
Ketimpangan Infrastruktur
Kurator Mikke Susanto mengatakan, kendati pasar seni rupa global mengalami fluktuasi, keaadan tersebut tidak akan berdampak banyak pada seni rupa di Indonesia. Sebab, selain marketnya berbeda, karya seni yang dijual di sejumlah balai lelang internasional merupakan karya-karya masterpiece dari seniman dunia.
Salah satu yang ditekankan oleh Mikke, justru pembenahan dan penambahan infrastruktur seni yang lebih inklusif di Tanah Air. Ini dilakukan untuk penyamarataan ekosistem agar galeri dan ruang pamer tidak terpusat di kota-kota besar, sekaligus menampung seniman Indonesia yang terus bertambah setiap tahunnya.
"Di Indonesia itu diperkirakan ada 100 ribu seniman, yang setiap tahun akan bertambah. Oleh karena itu mereka membutuhkan ruang-ruang kreatif, ruang saji yang tidak mungkin hanya ditopang oleh satu lembaga, organisasi, atau satu galeri saja,"katanya.
Founder Srisasanti Gallery, Eddy 'Oyik' Prakoso mengatakan, jumlah seniman dengan galeri di Indonesia memang timpang. Ekosistem seni rupa Indonesia juga belum sepenuhnya sehat, sebab masih praktik pemalsuan lukisan akibat belum adanya regulasi yang mengatur tentang pemalsuan karya seni.
Selain penambahan galeri, hadirnya festival atau bursa seni, menurutnya perlu lebih banyak digalakkan guna memperbesar exposure seniman Indonesia. Sebab dari perhelatan ini para galleries dan seniman dapat berjejaring sekaligus bertemu kolektor-kolektor baru dari berbagai preferensi sosial yang berbeda.
"Kalau kita lihat dalam 5-7 tahun terakhir, sudah berubah pemain pasarnya. Mulai banyak [kolektor] anak-anak muda yang mengunjungi art fair. Jadi menurut saya seni rupa Indonesia semakin menarik. Para galerinya juga sudah banyak yang melakukan regenerasi," katanya.
Oyik mengungkap, galeri pun harus memiliki program berkelanjutan untuk mengenalkan seniman baru guna membangun regenerasi. Lain dari itu, pemerintah lewat lembaga pendidikan tinggi seni rupa juga harus memperbarui kurikulum sehingga para calon seniman dapat mengikuti zeitgeist.
Para pelaku pasar seperti galeri, balai lelang, art fair, dan kolektor juga harus memberi kontribusi yang baik terhadap tren tersebut. Misalnya lewat program residensi bagi para seniman, proses kurasi yang lebih maksimal sekligus terbuka untuk publik, serta galeri yang akan ikut berpameran di art fair.
"Galeri Nasional hanya ada di Jakarta, harapannya [setelah ada Kementrian Kebudayaan] Galeri Nasional juga bisa ada di daerah lain, sehingga koleksi yang ada di Jakarta bisa dirotasi, dan masyarakat luas bisa semakin teredukasi dengan menyaksikan koleksi negara," katanya.
Baca juga: Kaleidoskop 2024: Semarak Pameran Seni Berskala Besar di Indonesia
Editor: Puput Ady Sukarno
Laporan Pasar Seni Global Art Basel dan UBS, menyebut, pasar seni global sempat mengalami kontraksi setelah dua tahun berturut-turut tumbuh. Kendati begitu, mereka memprediksi nilai penjualan pasar seni global tetap di atas level pra-pandemi (2019), yakni sebesar US$64,4 miliar.
Berdasarkan laman Art Basel dan UBS Art Market Report, pasar seni mengalami kontraksi sebesar 4 persen, setelah dua tahun sebelumnya tumbuh sekitar US$65 miliar. Penurunan ini mencakup sektor dealer dan lelang, imbas balai lelang dan kolektor yang menyesuaikan diri dengan kondisi pasar.
Baca juga: Geliat Pasar Seni Rupa Indonesia di Tangan Anak Muda
Penurunan ini, tak ayal membuat kinerja sejumlah balai lelang megap-megap. Sotheby's, misalnya, melaporkan penurunan penjualan selama kuartal II tahun ini sebesar 21% menjadi US$367 juta. Hal yang sama juga dirasakan oleh Christie's, yang membukukan penurunan penjualan lelang sebesar 22 persen menjadi US$ 2,1 miliar.
Kolektor seni Wiyu Wahono mengatakan, lesunya pasar seni global justru dapat menjadi peluang bagi seniman Indonesia dalam meningkatkan pamor ke dunia internasional. Sebab, saat ini semakin banyak galeri luar negeri yang ikut meramaikan sejumlah art market di Indonesia, imbas lesunya gelaran serupa di negara tetangga, salah satunya Korea.
"Indonesia art marketnya masih mengalami perkembangan, dan positifnya sangat baik. Sayangnya kita itu masih Jawasentris. Oleh karena itu perlu memperluas perifering di luar Jawa, karena karya seni dari mereka akan memberi kesegaran tematik dan gagasan-gagasan baru," katanya.
Pengunjung melihat karya seni saat gelaran Art Jakarta 2024 di Jakarta, Jumat (4/10/2024). (sumber gambar: Hypeabis.id/Abdurachman)
Agus menjelaskan, lewat bursa seni, para perupa Indonesia memiliki dua tolok ukur. Pertama dari segi kualitas, sebab para galeries dari luar negeri akan membawa karya-karya berkualitas dari negara mereka. Kedua, parameter pasar yang bertujuan memacak karya seni layak dipamerkan, tapi juga layak untuk dijual.
"Dari presentasi para galleries itu, para perupa bisa belajar karya seperti apa yang pantas untuk masuk pasar. Meskipun itu bukan target utama dari para perupa. Namun, mereka dapat melihat sejauh mana masyarakat dapat mengapresiasi karya yang bisa dimiliki oleh mereka," katanya.
Ketimpangan Infrastruktur
Kurator Mikke Susanto mengatakan, kendati pasar seni rupa global mengalami fluktuasi, keaadan tersebut tidak akan berdampak banyak pada seni rupa di Indonesia. Sebab, selain marketnya berbeda, karya seni yang dijual di sejumlah balai lelang internasional merupakan karya-karya masterpiece dari seniman dunia.
Salah satu yang ditekankan oleh Mikke, justru pembenahan dan penambahan infrastruktur seni yang lebih inklusif di Tanah Air. Ini dilakukan untuk penyamarataan ekosistem agar galeri dan ruang pamer tidak terpusat di kota-kota besar, sekaligus menampung seniman Indonesia yang terus bertambah setiap tahunnya.
"Di Indonesia itu diperkirakan ada 100 ribu seniman, yang setiap tahun akan bertambah. Oleh karena itu mereka membutuhkan ruang-ruang kreatif, ruang saji yang tidak mungkin hanya ditopang oleh satu lembaga, organisasi, atau satu galeri saja,"katanya.
Sejumlah pengunjung mengamati karya dalam pameran Flaneur: Kembara Lintas Dunia di Gedung A, Galeri Nasional Indonesia pada Kamis (17/10/24) (Sumber gambar: Hypeabis.id/Eusebio Chrysnamurti)
Founder Srisasanti Gallery, Eddy 'Oyik' Prakoso mengatakan, jumlah seniman dengan galeri di Indonesia memang timpang. Ekosistem seni rupa Indonesia juga belum sepenuhnya sehat, sebab masih praktik pemalsuan lukisan akibat belum adanya regulasi yang mengatur tentang pemalsuan karya seni.
Selain penambahan galeri, hadirnya festival atau bursa seni, menurutnya perlu lebih banyak digalakkan guna memperbesar exposure seniman Indonesia. Sebab dari perhelatan ini para galleries dan seniman dapat berjejaring sekaligus bertemu kolektor-kolektor baru dari berbagai preferensi sosial yang berbeda.
"Kalau kita lihat dalam 5-7 tahun terakhir, sudah berubah pemain pasarnya. Mulai banyak [kolektor] anak-anak muda yang mengunjungi art fair. Jadi menurut saya seni rupa Indonesia semakin menarik. Para galerinya juga sudah banyak yang melakukan regenerasi," katanya.
Oyik mengungkap, galeri pun harus memiliki program berkelanjutan untuk mengenalkan seniman baru guna membangun regenerasi. Lain dari itu, pemerintah lewat lembaga pendidikan tinggi seni rupa juga harus memperbarui kurikulum sehingga para calon seniman dapat mengikuti zeitgeist.
Para pelaku pasar seperti galeri, balai lelang, art fair, dan kolektor juga harus memberi kontribusi yang baik terhadap tren tersebut. Misalnya lewat program residensi bagi para seniman, proses kurasi yang lebih maksimal sekligus terbuka untuk publik, serta galeri yang akan ikut berpameran di art fair.
"Galeri Nasional hanya ada di Jakarta, harapannya [setelah ada Kementrian Kebudayaan] Galeri Nasional juga bisa ada di daerah lain, sehingga koleksi yang ada di Jakarta bisa dirotasi, dan masyarakat luas bisa semakin teredukasi dengan menyaksikan koleksi negara," katanya.
Baca juga: Kaleidoskop 2024: Semarak Pameran Seni Berskala Besar di Indonesia
Editor: Puput Ady Sukarno
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.