Begini Geliat Pasar Seni Rupa Indonesia Seiring Meredanya Pandemi
30 August 2022 |
19:13 WIB
Seiring dengan meredanya pandemi Covid-19, geliat pasar seni rupa di Indonesia pun mulai bergerak. Setidaknya, sudah ada beberapa hajatan seni rupa yang digelar, yang menjadi penanda mulai menggeliatnya ekosistem itu setelah sempat lesu akibat pagebluk.
Sebagai informasi, menurut laporan The Global Art Market in 2021 dari Art Basel & UBS Report, penjualan agregat dari karya seni dan barang antik di dunia mencapai US$65,1 miliar pada 2021. Angka itu meningkat sebesar 29 persen dari 2020.
Meski tidak ada laporan penjualan karya seni yang spesifik, geliat seni rupa Indonesia setidaknya ditandai dengan beberapa agenda seni yang telah digelar. Pada April 2022, untuk pertama kalinya Art Jakarta Gardens dihelat secara luring di Jakarta. Dalam ajang tersebut, tercatat ada 20 galeri seni dan setidaknya 100 seniman yang terlibat.
Baca juga: Dari Pasar Seni, NFT Berpotensi Guncang Lanskap Aset Digital
Sebelumnya, Artjog 2021 juga telah digelar secara daring. Pameran yang mengusung tema Time (to) Wonder itu menampilkan karya dari 41 seniman. Tahun ini, akhirnya Artjog kembali digelar secara luring tepatnya pada 7 Juli-4 September 2022 di Jogja National Museum, Yogyakarta. Sebanyak 150-200 karya seni ditampilkan dalam pameran tersebut.
Terbaru, agenda seni rupa berskala internasional Art Jakarta juga telah digelar pada akhir pekan lalu tepatnya pada 26-28 Agustus 2022 di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta. Tahun ini, Art Jakarta menghadirkan sebanyak 62 galeri, baik dari dalam maupun luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Vietnam, dan Thailand.
Kurator Kuss Indarto mengatakan bahwa saat ini para seniman mulai menyambut euforia untuk menampilkan karya-karya seni mereka di ruang publik pasca pandemi. Namun, sambutan oleh masyarakat khususnya para kolektor dalam bentuk apresiasi yang bersifat transaksional dari euforia itu dinilai masih minim.
Kuss menilai bahwa sebagian besar kolektor memiliki sistem pengetahuan yang bagus tentang seni rupa, sehingga mereka cenderung selektif dalam memilih karya-karya yang umumnya ada di agenda-agenda seni tertentu yang dianggap penting dan prestisius.
"Maka mereka larinya misalnya ke Artjog dan Art Jakarta, atau pameran-pameran tertentu yang dikemas dengan sangat bagus baik dari sisi kuratorial atau publikasinya. Itu yang kemudian akan dipilih oleh para kolektor," jelasnya.
Seiring dengan meredanya pandemi, Kuss mengatakan bahwa saat ini para kolektor juga sudah mulai memburu karya-karya seni. Setidaknya, papar Kuss, hal itu tampak pada gelaran pameran Bangkit Berkarya Lagi yang digagas oleh seniman Butet Kartaradjasa di Yogyakarta.
Menariknya, dalam pameran itu, karya-karya seni dari nama-nama seniman seperti Djoko Pekik, Kartika Affandi, Nasirun, Putu Sutawijaya, Jumaldi Alfi, Eko Nugroho, Ivan Sagita, dan Suwarno Wisetrotomo, dijual dengan harga maksimal Rp5 juta.
"Saya dengar dari sekian minggu yang sudah berlangsung, itu transaksi yang telah terjadi itu bisa sampai Rp500 juta, untuk karya yang maksimal Rp5 juta, dan itu melibatkan ratusan seniman, dan ini menarik," ungkap Kuss.
Menurutnya, fenomena seni rupa yang terjadi di Yogyakarta itu menjadi salah satu penanda bahwa apresiasi yang bersifat transaksional sudah mulai terjadi melalui agenda-agenda seni yang memang didesain untuk menjangkau banyak kolektor lama maupun baru.
Dia pun menilai bahwa agenda semacam ini bisa menjadi acuan untuk memberikan ruang bagi para kolektor kelas menengah dalam membeli karya seni, sehingga apresiasi transaksional dalam pasar seni rupa bisa terus masif.
Pasalnya, Kuss berpendapat bahwa pertumbuhan jumlah seniman seni rupa di Indonesia masih belum diimbangi oleh peningkatan jumlah kolektor itu sendiri. Hal itu membuat banyaknya gelaran agenda seni rupa yang masih minim transaksi penjualan karya di dalamnya.
"Jadi ekosistem seni rupa di Indonesia masih belum beranjak dan berkembang, karena ketimpangan dari aspek pendukungnya. Seniman melimpah, kolektor masih terbatas, sementara pekerja seni lain yang mendukung itu sebenarnya juga belum banyak bergerak," katanya.
Dalam persoalan ini, Kuss mengatakan seharusnya pemerintah juga hadir untuk turut membantu menumbuhkan ekosistem seni rupa Indonesia yang baik. Bukan sekadar menggelar pameran, tetapi juga bagaimana mendekatkan karya seni dengan publiknya. "Itu yang menjadi agenda dalam proyek besar yang memang harus dilakukan terus menerus," imbuhnya.
Di sisi lain, pemilik galeri CG Artspace, Christiana Gouw, menuturkan meski dihantam pagebluk Covid-19, geliat penjualan karya seni rupa di Indonesia masih terus berjalan, meski tidak signifikan seperti sebelum pandemi. Terlebih bagi karya-karya seni dari seniman-seniman yang telah memiliki nama yang kuat di mata para kolektor.
Dia justru menilai bahwa pada saat pembatasan aktivitas beberapa waktu lalu, tak sedikit orang yang membelanjakan uangnya untuk membeli karya seni rupa untuk tujuan investasi. "Jadi selama dua tahun terakhir ini, yang benar-benar namanya [seniman] bagus, masih laku. Malah banyak yang sold out," katanya.
Sebaliknya, menurut Christiana, saat ini banyak orang yang justru lebih membelanjakan uangnya untuk keperluan traveling dibandingkan membeli karya seni. Sebagai pemilik galeri, dia mengaku penjualan karya seni saat ini lebih sedikit dibandingkan beberapa bulan sebelumnya.
Dalam wawancara terpisah, Owner Tonyraka Art Gallery, Tony Hartawan, mengatakan geliat seni rupa Indonesia masih terus berkembang, yang salah satunya ditandai dengan kemunculan banyak kolektor muda.
Hal itu juga kian didukung dengan pemahaman mereka tentang seni, dan keberanian untuk mengoleksi karya seni. Menurut Toni, kini tak sedikit kolektor yang mengoleksi karya karena didorong rasa kebutuhan akan seni itu sendiri.
"Kalau dulu kan orang mengoleksi karena prestige, hanya investasi. Kalau sekarang sudah bisa menggabungkannya dengan rasa suka dan excitement," katanya.
Khusus di Bali, Tony menilai bahwa selama pandemi justru banyak galeri yang mulai beroperasi diiringi dengan agenda-agenda seni yang terus dihelat. Hal itu, lanjutnya, berdampak positif pada para seniman Bali dengan banyaknya karya yang terjual. "Saya melihatnya malah banyak seniman yang panen waktu pandemi," ungkapnya.
Terlebih, dengan mulai dibukanya kembali wisata di Bali pasca pandemi, dia menilai bahwa mulai banyak kolektor yang mencari karya seni baik dari wisatawan lokal maupun mancanegara.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Sebagai informasi, menurut laporan The Global Art Market in 2021 dari Art Basel & UBS Report, penjualan agregat dari karya seni dan barang antik di dunia mencapai US$65,1 miliar pada 2021. Angka itu meningkat sebesar 29 persen dari 2020.
Meski tidak ada laporan penjualan karya seni yang spesifik, geliat seni rupa Indonesia setidaknya ditandai dengan beberapa agenda seni yang telah digelar. Pada April 2022, untuk pertama kalinya Art Jakarta Gardens dihelat secara luring di Jakarta. Dalam ajang tersebut, tercatat ada 20 galeri seni dan setidaknya 100 seniman yang terlibat.
Baca juga: Dari Pasar Seni, NFT Berpotensi Guncang Lanskap Aset Digital
Sebelumnya, Artjog 2021 juga telah digelar secara daring. Pameran yang mengusung tema Time (to) Wonder itu menampilkan karya dari 41 seniman. Tahun ini, akhirnya Artjog kembali digelar secara luring tepatnya pada 7 Juli-4 September 2022 di Jogja National Museum, Yogyakarta. Sebanyak 150-200 karya seni ditampilkan dalam pameran tersebut.
Terbaru, agenda seni rupa berskala internasional Art Jakarta juga telah digelar pada akhir pekan lalu tepatnya pada 26-28 Agustus 2022 di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta. Tahun ini, Art Jakarta menghadirkan sebanyak 62 galeri, baik dari dalam maupun luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Vietnam, dan Thailand.
Kurator Kuss Indarto mengatakan bahwa saat ini para seniman mulai menyambut euforia untuk menampilkan karya-karya seni mereka di ruang publik pasca pandemi. Namun, sambutan oleh masyarakat khususnya para kolektor dalam bentuk apresiasi yang bersifat transaksional dari euforia itu dinilai masih minim.
Kuss menilai bahwa sebagian besar kolektor memiliki sistem pengetahuan yang bagus tentang seni rupa, sehingga mereka cenderung selektif dalam memilih karya-karya yang umumnya ada di agenda-agenda seni tertentu yang dianggap penting dan prestisius.
"Maka mereka larinya misalnya ke Artjog dan Art Jakarta, atau pameran-pameran tertentu yang dikemas dengan sangat bagus baik dari sisi kuratorial atau publikasinya. Itu yang kemudian akan dipilih oleh para kolektor," jelasnya.
Seiring dengan meredanya pandemi, Kuss mengatakan bahwa saat ini para kolektor juga sudah mulai memburu karya-karya seni. Setidaknya, papar Kuss, hal itu tampak pada gelaran pameran Bangkit Berkarya Lagi yang digagas oleh seniman Butet Kartaradjasa di Yogyakarta.
Menariknya, dalam pameran itu, karya-karya seni dari nama-nama seniman seperti Djoko Pekik, Kartika Affandi, Nasirun, Putu Sutawijaya, Jumaldi Alfi, Eko Nugroho, Ivan Sagita, dan Suwarno Wisetrotomo, dijual dengan harga maksimal Rp5 juta.
"Saya dengar dari sekian minggu yang sudah berlangsung, itu transaksi yang telah terjadi itu bisa sampai Rp500 juta, untuk karya yang maksimal Rp5 juta, dan itu melibatkan ratusan seniman, dan ini menarik," ungkap Kuss.
Menurutnya, fenomena seni rupa yang terjadi di Yogyakarta itu menjadi salah satu penanda bahwa apresiasi yang bersifat transaksional sudah mulai terjadi melalui agenda-agenda seni yang memang didesain untuk menjangkau banyak kolektor lama maupun baru.
Dia pun menilai bahwa agenda semacam ini bisa menjadi acuan untuk memberikan ruang bagi para kolektor kelas menengah dalam membeli karya seni, sehingga apresiasi transaksional dalam pasar seni rupa bisa terus masif.
Pasalnya, Kuss berpendapat bahwa pertumbuhan jumlah seniman seni rupa di Indonesia masih belum diimbangi oleh peningkatan jumlah kolektor itu sendiri. Hal itu membuat banyaknya gelaran agenda seni rupa yang masih minim transaksi penjualan karya di dalamnya.
"Jadi ekosistem seni rupa di Indonesia masih belum beranjak dan berkembang, karena ketimpangan dari aspek pendukungnya. Seniman melimpah, kolektor masih terbatas, sementara pekerja seni lain yang mendukung itu sebenarnya juga belum banyak bergerak," katanya.
Dalam persoalan ini, Kuss mengatakan seharusnya pemerintah juga hadir untuk turut membantu menumbuhkan ekosistem seni rupa Indonesia yang baik. Bukan sekadar menggelar pameran, tetapi juga bagaimana mendekatkan karya seni dengan publiknya. "Itu yang menjadi agenda dalam proyek besar yang memang harus dilakukan terus menerus," imbuhnya.
Suasana pameran di Art Jakarta 2022 (Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta)
Dia justru menilai bahwa pada saat pembatasan aktivitas beberapa waktu lalu, tak sedikit orang yang membelanjakan uangnya untuk membeli karya seni rupa untuk tujuan investasi. "Jadi selama dua tahun terakhir ini, yang benar-benar namanya [seniman] bagus, masih laku. Malah banyak yang sold out," katanya.
Sebaliknya, menurut Christiana, saat ini banyak orang yang justru lebih membelanjakan uangnya untuk keperluan traveling dibandingkan membeli karya seni. Sebagai pemilik galeri, dia mengaku penjualan karya seni saat ini lebih sedikit dibandingkan beberapa bulan sebelumnya.
Dalam wawancara terpisah, Owner Tonyraka Art Gallery, Tony Hartawan, mengatakan geliat seni rupa Indonesia masih terus berkembang, yang salah satunya ditandai dengan kemunculan banyak kolektor muda.
Hal itu juga kian didukung dengan pemahaman mereka tentang seni, dan keberanian untuk mengoleksi karya seni. Menurut Toni, kini tak sedikit kolektor yang mengoleksi karya karena didorong rasa kebutuhan akan seni itu sendiri.
"Kalau dulu kan orang mengoleksi karena prestige, hanya investasi. Kalau sekarang sudah bisa menggabungkannya dengan rasa suka dan excitement," katanya.
Khusus di Bali, Tony menilai bahwa selama pandemi justru banyak galeri yang mulai beroperasi diiringi dengan agenda-agenda seni yang terus dihelat. Hal itu, lanjutnya, berdampak positif pada para seniman Bali dengan banyaknya karya yang terjual. "Saya melihatnya malah banyak seniman yang panen waktu pandemi," ungkapnya.
Terlebih, dengan mulai dibukanya kembali wisata di Bali pasca pandemi, dia menilai bahwa mulai banyak kolektor yang mencari karya seni baik dari wisatawan lokal maupun mancanegara.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.