Pidato Kebudayaan Garin Nugroho, Urgensi Strategi Budaya untuk Masa Depan Indonesia
11 November 2024 |
07:40 WIB
1
Like
Like
Like
Garin Nugroho, sutradara sekaligus pelopor generasi film pasca 1990, tampil sebagai penyaji dalam edisi Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang dihelat di gedung Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Minggu malam (10/11/2024).
Pada kesempatan itu, Garin mengajak publik mengetengahkan kembali nilai kemanusiaan dan nilai kebudayaan yang masih kerap hanya berakhir di belakang meja. Ceramahnya malam itu dia beri tajuk “Balas Budi untuk Rakyat”.
Sang sutradara gaek itu mulai memasuki panggung sekitar pukul 20.50 WIB. Saat memulai pidatonya, Garin memberikan sapaan eksentrik dengan mengucapkan “selamat datang” kepada para hadirin dengan sebutan “warganet”.
Bukan tanpa alasan, warganet kini tampak lebih lazim dari warga negara. Di mata Garin, dalam rentang dekade kebelakang, negara juga lebih sering membingkai warganya hanya diperlakukan layaknya warganet atau netizen, bukan warga negara.
Baca juga: Garin Nugroho Kasih 3 Kunci Film Indonesia Bangun Pasar Global Berkualitas
Sebuah sentilan menarik untuk menggambarkan kehidupan bernegara yang belakangan, menurut Garin, lebih dikelola dalam hukum serba net, dan bukan hukum kewarganegaraan.
“Saya akan mencoba mengisi pidato budaya ini dengan kisah-kisah kecil, bagian dari riset penciptaan film saya sejak 1983. Kisah-kisah kecil ini akan mengisahkan tentang kepemimpinan dengan imajinasi masa depan serta strategi budayanya,” ucapnya.
Bagi Garin, ada satu kealpaan besar yang dialami Indonesia ketika melewati perubahan era 1.0 hingga 5.0, yakni soal strategi kebudayaan. Sayang sekali, katanya, setiap era yang seharusnya bisa jadi momentum, justru dibiarkan berlalu begitu saja.
Padahal, di tengah dinamika perubahan era 1.0-5.0, hal terpenting bagi sebuah bangsa adalah adanya strategi kebudayaan. Konsep ini urgen ada untuk menangkap aspek produktif dan nilai-nilai unggul dari setiap fase revolusi industri, sekaligus mengurangi aspek kontraproduktif yang menurunkan nilai kemanusiaan.
Lagi-lagi, hal itu pun urung terjadi sekarang. Sutradara Cinta Dalam Sepotong Roti (1991) itu menyebut pada era-era yang sudah serba-net ini, sebenarnya tidak ada lagi bangsa di dunia yang mampu mengelak dampak interconnected network.
Namun, bukan berarti arus peradaban era komputasi ini dibiarkan berjalan begitu saja. Menurutnya, Indonesia bisa belajar dari Amerika Serikat yang pernah terjerat kekacauan informasi di media sosial dalam perang komputasi era Presiden Donald Trump (2017-2021).
Peristiwa itu membuat publik perlu menganilisis kembali peran media baru bagi negara, juga peradaban dan kebudayaannya. Di dunia sekarang, kata Garin, juga mulai timbul kesadaran untuk menumbuhkan sikap kritis sekaligus diet teknologi, dengan menerapkan strategi budaya.
Sebutlah di beberapa negara Eropa, masyarakat diajarkan kembali menulis dengan baik, restoran-restoran tidak menyediakan internet, dan terdapat ruang bebas dari penggunaan ponsel.
“Ironisnya, kenyataan di Indonesia sangat berbeda. Media baru hadir dalam beragam fenomena yang kompleks. Era serba-net yang muncul saat pemilu justru melahirkan budaya massa yang mendukung tokoh-tokoh tertentu secara masif, cenderung banal, manipulatif, dan penuh propaganda,” imbuhnya.
Bagi Garin, era peradaban baru yang juga berbarengan dengan post-truth ini mengkhawatirkan. Yang perlu dikaji lagi, era ini juga disertai bonus demografi usia muda, yang mana 70 persen dari mereka memang sudah karib dengan media baru sejak belia.
“Berlimpah ruahnya media baru tanpa strategi budaya, yakni strategi berpikir, bertindak, dan bereaksi terhadap era media baru untuk menjaga dan menumbuhkan generasi baru yang melek teknologi, kritis, sehat, dan produktif, adalah suatu ironi,” jelasnya.
Dalam banyak hal, Garin melihat strategi budaya kini seolah terus terpinggirkan. Hal itu bisa dilihat juga salah satunya dari peraturan hukum yang tak lagi berbasis pada strategi budaya, melainkan aspek perdagangan, keamanan, dan stabilitas politik.
Hasilnya, para elite politik pun layaknya pemain drama, di depan panggung dan di belakang panggung bisa berbeda karakter. Tingkahnya, seolah mengalahkan para pemain drama.
Tak mengherankan bila sebutan warga negara kini kalah tenar dari warganet. Bahkan, bisa jadi, lanjutnya, warga negara telah digantikan warganet, lengkap dengan warga buzzer, influencer, warga algoritma, dan semacamnya.
“Oleh karena itu, sebagai bentuk balas budi, pemerintah baru harus mengembalikan hak-hak warga negara untuk menjadi masyarakat sipil yang kritis, terbuka, produktif, terlindungi, dan sejahtera sesuai dengan amanat undang-undang,” tegas Garin.
Baca juga: Begini Harapan Para Seniman Setelah Terbentuknya Kementerian Kebudayaan
Garin menutup pidatonya dengan satu kisah perjalanan menariknya saat melakukan riset film dokumenter Walter Spies dan Raden Saleh pada 1987. Di sana, dia menemukan lukisan Karusel karya Water Spies di Museum Dresden juga sempat mengunjungi rumah Raden Saleh.
Di sana, dia menemukan berbagai sketsa yang mengisahkan perjalanan Raden Saleh pada awal abad ke-19, ketika fotografi masih mahal dan film belum populer. Sketsa-sketsa itu menggambarkan buah tropis, pohon bambu, gunung, bukit, hingga sungai.
Rupanya, dari sketsa tersebut, dunia mampu membayangkan Nusantara yang kemudian mendorong perjalanan bangsa-bangsa Barat. Dengan kata lain, seni, apa pun itu bentuknya, terdapat nilai tinggi yang mampu mengubah dan memajukan peradaban. Sebuah aspek yang kerap kali tak dinilai seutuhnya pada era sekarang.
“Ironisnya, kepemimpinan ekonomi dan politik negeri ini, ketika dituntut untuk melakukan suatu progres terkait kualitas, sering menjawab dengan kata-kata ‘selera pasar’, atau ‘data’ menunjukkan tingkat pendidikan kita masih rendah dan masih terfokus pada ekonomi,” kata Garin.
Menurutnya, sejarah kini telah mencatat bahwa pada setiap era revolusi teknologi 1.0 hingga 4.0, Indonesia selalu gagal menangkap momentum melakukan lompatan peradaban baru. Pemerintahan Jokowi yang berada pada era serba digital gagal menjadikan revolusi teknologi sebagai pendorong peningkatan kualitas warga dan penyelenggara negara.
Kini, pada era pemerintahan baru Presiden Prabowo, yang indeks kepercayaannya mencapai 85 persen, serta berbarengan dengan hadirnya Kementerian Kebudayaan, Garin menuntut adanya balas budi kepada rakyat.
Pemerintahan baru dinilai perlu membentuk strategi budaya untuk mengelola revolusi industri 4.0 dan 5.0, guna mengembalikan hak-hak warga negara sebagai landasan kebangkitan bangsa.
Menurut Garin, stategi kebudayan kini perlu ada untuk tak mengulang dari apa yang lalu. Stategi budaya itu untuk menjernihkan media baru, menciptakan kepemimpinan berbasis kepakaran budaya, mewujudkan generasi baru dengan nilai-nilai keutamaan bangsa, ekosistem budaya, kualitas pendidikan, serta seni dan budaya sebagai hak asasi warga.
Baca juga: Menteri Kebudayaan Fadli Zon Punya Target Ini dalam 100 Hari Kerja
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Pada kesempatan itu, Garin mengajak publik mengetengahkan kembali nilai kemanusiaan dan nilai kebudayaan yang masih kerap hanya berakhir di belakang meja. Ceramahnya malam itu dia beri tajuk “Balas Budi untuk Rakyat”.
Sang sutradara gaek itu mulai memasuki panggung sekitar pukul 20.50 WIB. Saat memulai pidatonya, Garin memberikan sapaan eksentrik dengan mengucapkan “selamat datang” kepada para hadirin dengan sebutan “warganet”.
Bukan tanpa alasan, warganet kini tampak lebih lazim dari warga negara. Di mata Garin, dalam rentang dekade kebelakang, negara juga lebih sering membingkai warganya hanya diperlakukan layaknya warganet atau netizen, bukan warga negara.
Baca juga: Garin Nugroho Kasih 3 Kunci Film Indonesia Bangun Pasar Global Berkualitas
Sebuah sentilan menarik untuk menggambarkan kehidupan bernegara yang belakangan, menurut Garin, lebih dikelola dalam hukum serba net, dan bukan hukum kewarganegaraan.
“Saya akan mencoba mengisi pidato budaya ini dengan kisah-kisah kecil, bagian dari riset penciptaan film saya sejak 1983. Kisah-kisah kecil ini akan mengisahkan tentang kepemimpinan dengan imajinasi masa depan serta strategi budayanya,” ucapnya.
Bagi Garin, ada satu kealpaan besar yang dialami Indonesia ketika melewati perubahan era 1.0 hingga 5.0, yakni soal strategi kebudayaan. Sayang sekali, katanya, setiap era yang seharusnya bisa jadi momentum, justru dibiarkan berlalu begitu saja.
Padahal, di tengah dinamika perubahan era 1.0-5.0, hal terpenting bagi sebuah bangsa adalah adanya strategi kebudayaan. Konsep ini urgen ada untuk menangkap aspek produktif dan nilai-nilai unggul dari setiap fase revolusi industri, sekaligus mengurangi aspek kontraproduktif yang menurunkan nilai kemanusiaan.
Lagi-lagi, hal itu pun urung terjadi sekarang. Sutradara Cinta Dalam Sepotong Roti (1991) itu menyebut pada era-era yang sudah serba-net ini, sebenarnya tidak ada lagi bangsa di dunia yang mampu mengelak dampak interconnected network.
Namun, bukan berarti arus peradaban era komputasi ini dibiarkan berjalan begitu saja. Menurutnya, Indonesia bisa belajar dari Amerika Serikat yang pernah terjerat kekacauan informasi di media sosial dalam perang komputasi era Presiden Donald Trump (2017-2021).
Peristiwa itu membuat publik perlu menganilisis kembali peran media baru bagi negara, juga peradaban dan kebudayaannya. Di dunia sekarang, kata Garin, juga mulai timbul kesadaran untuk menumbuhkan sikap kritis sekaligus diet teknologi, dengan menerapkan strategi budaya.
Sebutlah di beberapa negara Eropa, masyarakat diajarkan kembali menulis dengan baik, restoran-restoran tidak menyediakan internet, dan terdapat ruang bebas dari penggunaan ponsel.
“Ironisnya, kenyataan di Indonesia sangat berbeda. Media baru hadir dalam beragam fenomena yang kompleks. Era serba-net yang muncul saat pemilu justru melahirkan budaya massa yang mendukung tokoh-tokoh tertentu secara masif, cenderung banal, manipulatif, dan penuh propaganda,” imbuhnya.
Bagi Garin, era peradaban baru yang juga berbarengan dengan post-truth ini mengkhawatirkan. Yang perlu dikaji lagi, era ini juga disertai bonus demografi usia muda, yang mana 70 persen dari mereka memang sudah karib dengan media baru sejak belia.
“Berlimpah ruahnya media baru tanpa strategi budaya, yakni strategi berpikir, bertindak, dan bereaksi terhadap era media baru untuk menjaga dan menumbuhkan generasi baru yang melek teknologi, kritis, sehat, dan produktif, adalah suatu ironi,” jelasnya.
Dalam banyak hal, Garin melihat strategi budaya kini seolah terus terpinggirkan. Hal itu bisa dilihat juga salah satunya dari peraturan hukum yang tak lagi berbasis pada strategi budaya, melainkan aspek perdagangan, keamanan, dan stabilitas politik.
Hasilnya, para elite politik pun layaknya pemain drama, di depan panggung dan di belakang panggung bisa berbeda karakter. Tingkahnya, seolah mengalahkan para pemain drama.
Tak mengherankan bila sebutan warga negara kini kalah tenar dari warganet. Bahkan, bisa jadi, lanjutnya, warga negara telah digantikan warganet, lengkap dengan warga buzzer, influencer, warga algoritma, dan semacamnya.
“Oleh karena itu, sebagai bentuk balas budi, pemerintah baru harus mengembalikan hak-hak warga negara untuk menjadi masyarakat sipil yang kritis, terbuka, produktif, terlindungi, dan sejahtera sesuai dengan amanat undang-undang,” tegas Garin.
Baca juga: Begini Harapan Para Seniman Setelah Terbentuknya Kementerian Kebudayaan
Membayangkan Masa Depan dari Budaya
Garin menutup pidatonya dengan satu kisah perjalanan menariknya saat melakukan riset film dokumenter Walter Spies dan Raden Saleh pada 1987. Di sana, dia menemukan lukisan Karusel karya Water Spies di Museum Dresden juga sempat mengunjungi rumah Raden Saleh.Di sana, dia menemukan berbagai sketsa yang mengisahkan perjalanan Raden Saleh pada awal abad ke-19, ketika fotografi masih mahal dan film belum populer. Sketsa-sketsa itu menggambarkan buah tropis, pohon bambu, gunung, bukit, hingga sungai.
Rupanya, dari sketsa tersebut, dunia mampu membayangkan Nusantara yang kemudian mendorong perjalanan bangsa-bangsa Barat. Dengan kata lain, seni, apa pun itu bentuknya, terdapat nilai tinggi yang mampu mengubah dan memajukan peradaban. Sebuah aspek yang kerap kali tak dinilai seutuhnya pada era sekarang.
“Ironisnya, kepemimpinan ekonomi dan politik negeri ini, ketika dituntut untuk melakukan suatu progres terkait kualitas, sering menjawab dengan kata-kata ‘selera pasar’, atau ‘data’ menunjukkan tingkat pendidikan kita masih rendah dan masih terfokus pada ekonomi,” kata Garin.
Menurutnya, sejarah kini telah mencatat bahwa pada setiap era revolusi teknologi 1.0 hingga 4.0, Indonesia selalu gagal menangkap momentum melakukan lompatan peradaban baru. Pemerintahan Jokowi yang berada pada era serba digital gagal menjadikan revolusi teknologi sebagai pendorong peningkatan kualitas warga dan penyelenggara negara.
Kini, pada era pemerintahan baru Presiden Prabowo, yang indeks kepercayaannya mencapai 85 persen, serta berbarengan dengan hadirnya Kementerian Kebudayaan, Garin menuntut adanya balas budi kepada rakyat.
Pemerintahan baru dinilai perlu membentuk strategi budaya untuk mengelola revolusi industri 4.0 dan 5.0, guna mengembalikan hak-hak warga negara sebagai landasan kebangkitan bangsa.
Menurut Garin, stategi kebudayan kini perlu ada untuk tak mengulang dari apa yang lalu. Stategi budaya itu untuk menjernihkan media baru, menciptakan kepemimpinan berbasis kepakaran budaya, mewujudkan generasi baru dengan nilai-nilai keutamaan bangsa, ekosistem budaya, kualitas pendidikan, serta seni dan budaya sebagai hak asasi warga.
Baca juga: Menteri Kebudayaan Fadli Zon Punya Target Ini dalam 100 Hari Kerja
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.