Garin Nugroho Kasih 3 Kunci Film Indonesia Bangun Pasar Global Berkualitas
26 June 2024 |
20:41 WIB
Industri film Indonesia semakin menunjukan taji. Kiwari, banyak film lokal yang menjadi primadona di negeri sendiri dan mampu bersaing dari gempuran film-film negara lain. Bahkan, karya sineas Tanah Air semakin diperhitungkan di festival-festival film internasional.
Kualitas perfilman Indonesia juga mengalami peningkatan, baik dari segi narasi hingga estetika dalam beberapa waktu terakhir. Ini terlihat dari sejumlah film yang menjadi box office atau tembus lebih dari satu juta penonton selama masa penayangannya di bioskop.
Baca juga: Film Pantaskah Aku Berhijab Jadi Proyek Eksplorasi Drama Religi Sutradara Hadrah Daeng Ratu
Berdasarkan data dari Kementerian Pariwisata & Ekonomi Kreatif Republik Indonesia (Kemenparekraf RI) per Mei 2024, sudah ada hampir 10 film Indonesia yang ditonton oleh lebih dari 1 juta penonton. Selain itu, film-film Indonesia juga telah hadir di sebanyak 70 persen dari seluruh layar bioskop di Tanah Air.
Sutradara Garin Nugroho mengatakan, saat ini lanskap festival film Indonesia sudah lebih heterogen. Artinya ekosistem perfilman di Indonesia menurutnya berjalan ke arah yang lebih baik. Ini terefleksi dalam Festival Film Indonesia, Madani Film Festival, Jakarta Film Week, Jaff Jogja dan sebagainya.
Film-film Indonesia juga banyak yang masuk ke festival bergengsi dunia, seperti Sekala Niskala (2017) Dear to Me (2021) hingga Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021). Karya sineas Indonesia juga berhasil menembus pasar global seperti Pengabdi Setan 2 (2022), dan Badarawuhi di Desa Penari (2024).
"Setiap festival film di Indonesia juga memiliki peran dan karakternya masing-masing. Inilah yang membuat puspa rupa keberagaman film jadi lebih semarak, baik dari segi tema dan narasi," katanya.
Menurut Garin, tantangan perfilman Indonesia saat ini justru di wilayah produksi agar dapat bersaing di luar negeri. Oleh karena itu, pihaknya akan kembali menginisiasi forum market di gelaran Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF-Jogja), agar para sineas bisa bertemu para profesional dari negara lain.
Sutradara Opera Jawa (2006) itu menjelaskan, sejauh ini festival film di Indonesia lebih banyak merujuk pada apresiasi, kompetisi, jaringan, kualitas, dan pendidikan film alih-alih market pasar. Itu sebabnya, JAFF tahun depan juga akan berfokus pada strategi promosi dan distribusi film yang sangkil dan mangkus.
"Jadi bagaimana institusi-institusi yang bergerak pada market itu berpameran itu kan belum ada. Padahal di festival film dunia sudah ada forum marketnya. Ini sedang kita godok," imbuhnya.
Keberadaan platform OTT juga memiliki pengaruh besar untuk memasarkan film ke market yang lebih luas. Pola ini dapat dijadikan alternatif, jika film yang berhasil di festival internasional kurang mendapat apresiasi publik, atau slot pemutaran di bioskop terbatas.
Namun, sebagian besar platform OTT saat ini hanya menayangkan film-film Indonesia yang segmentasi pasarnya bersifat regional. Padahal film-film dari Amerika Latin, Korea, dan negara lain sudah menggunakan segmen globa. Oleh karena itu para sineas Indonesia perlu bekerja lebih keras agar film mereka dapat bersaing.
Tantangan lain yang perlu dilalui adalah kriteria pemutaran film di platform OTT yang juga kerap kontradiktif. Sebab, OTT kerap menjual film hiburan populer tanpa melihat kualitas untuk mengikuti tren pasar. Padahal, para sineas berharap mereka dapat membangun pasar global yang lebih berkualitas.
Baca juga: Sutradara Timo Tjahjanto Garap Sekuel Nobody yang Dibintangi Bob OdenKirk
Garin menjelaskan, setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan oleh ekosistem industri film agar dapat mencapai fase tersebut. Pertama yaitu standardisasi teknologi perfilman, kedua kemampuan bertutur atau story telling dan eksekusinya dari sineas, dan ketiga kebebasan pengelolaan tema yang lebih beragam.
"Jadi dalam hal ini perlu adanya literasi, yang sulitnya berbenturan dengan ekonomi masyarakat. Tidak mudah memang membuat film original lokal yang mengglobal, di sinilah tantangan ekosistem perfilman kita," katanya.
Editor: Fajar Sidik
Kualitas perfilman Indonesia juga mengalami peningkatan, baik dari segi narasi hingga estetika dalam beberapa waktu terakhir. Ini terlihat dari sejumlah film yang menjadi box office atau tembus lebih dari satu juta penonton selama masa penayangannya di bioskop.
Baca juga: Film Pantaskah Aku Berhijab Jadi Proyek Eksplorasi Drama Religi Sutradara Hadrah Daeng Ratu
Berdasarkan data dari Kementerian Pariwisata & Ekonomi Kreatif Republik Indonesia (Kemenparekraf RI) per Mei 2024, sudah ada hampir 10 film Indonesia yang ditonton oleh lebih dari 1 juta penonton. Selain itu, film-film Indonesia juga telah hadir di sebanyak 70 persen dari seluruh layar bioskop di Tanah Air.
Sutradara Garin Nugroho mengatakan, saat ini lanskap festival film Indonesia sudah lebih heterogen. Artinya ekosistem perfilman di Indonesia menurutnya berjalan ke arah yang lebih baik. Ini terefleksi dalam Festival Film Indonesia, Madani Film Festival, Jakarta Film Week, Jaff Jogja dan sebagainya.
Film-film Indonesia juga banyak yang masuk ke festival bergengsi dunia, seperti Sekala Niskala (2017) Dear to Me (2021) hingga Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021). Karya sineas Indonesia juga berhasil menembus pasar global seperti Pengabdi Setan 2 (2022), dan Badarawuhi di Desa Penari (2024).
"Setiap festival film di Indonesia juga memiliki peran dan karakternya masing-masing. Inilah yang membuat puspa rupa keberagaman film jadi lebih semarak, baik dari segi tema dan narasi," katanya.
Menurut Garin, tantangan perfilman Indonesia saat ini justru di wilayah produksi agar dapat bersaing di luar negeri. Oleh karena itu, pihaknya akan kembali menginisiasi forum market di gelaran Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF-Jogja), agar para sineas bisa bertemu para profesional dari negara lain.
Sutradara Opera Jawa (2006) itu menjelaskan, sejauh ini festival film di Indonesia lebih banyak merujuk pada apresiasi, kompetisi, jaringan, kualitas, dan pendidikan film alih-alih market pasar. Itu sebabnya, JAFF tahun depan juga akan berfokus pada strategi promosi dan distribusi film yang sangkil dan mangkus.
"Jadi bagaimana institusi-institusi yang bergerak pada market itu berpameran itu kan belum ada. Padahal di festival film dunia sudah ada forum marketnya. Ini sedang kita godok," imbuhnya.
Keberadaan platform OTT juga memiliki pengaruh besar untuk memasarkan film ke market yang lebih luas. Pola ini dapat dijadikan alternatif, jika film yang berhasil di festival internasional kurang mendapat apresiasi publik, atau slot pemutaran di bioskop terbatas.
Namun, sebagian besar platform OTT saat ini hanya menayangkan film-film Indonesia yang segmentasi pasarnya bersifat regional. Padahal film-film dari Amerika Latin, Korea, dan negara lain sudah menggunakan segmen globa. Oleh karena itu para sineas Indonesia perlu bekerja lebih keras agar film mereka dapat bersaing.
Tantangan lain yang perlu dilalui adalah kriteria pemutaran film di platform OTT yang juga kerap kontradiktif. Sebab, OTT kerap menjual film hiburan populer tanpa melihat kualitas untuk mengikuti tren pasar. Padahal, para sineas berharap mereka dapat membangun pasar global yang lebih berkualitas.
Baca juga: Sutradara Timo Tjahjanto Garap Sekuel Nobody yang Dibintangi Bob OdenKirk
Garin menjelaskan, setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan oleh ekosistem industri film agar dapat mencapai fase tersebut. Pertama yaitu standardisasi teknologi perfilman, kedua kemampuan bertutur atau story telling dan eksekusinya dari sineas, dan ketiga kebebasan pengelolaan tema yang lebih beragam.
"Jadi dalam hal ini perlu adanya literasi, yang sulitnya berbenturan dengan ekonomi masyarakat. Tidak mudah memang membuat film original lokal yang mengglobal, di sinilah tantangan ekosistem perfilman kita," katanya.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.