Garin Nugroho Bicara Locarno & Pencapaian Film Indonesia
24 August 2021 |
17:29 WIB
Penggemar film Indonesia sedang menyambut hangat kemenangan film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Film karya Edwin itu membawa pulang Golden Leopard, penghargaan tertinggi ajang Locarno Film Festival. Penghargaan ini patut dirayakan, mengingat Locarno Film Festival adalah salah satu ajang penghargaan paling bergengsi dalam dunia film.
Locarno Film Festival merupakan festival film tertua ketiga di Eropa—setelah Venice Film Festival dan Cannes Film Festival. Mulai diadakan tak lama setelah Perang Dunia II berakhir, Locarno Film Festival tahun ini menginjak usianya yang ke-74.
Dalam situs resminya, Locarno Film Festival menyebut bahwa festival mereka telah mengisi posisi yang unik dalam lanskap festival film dunia. Diadakan sebelas hari di Locarno, Swiss, setiap Agustus, Locarno Film Festival menjadi pusatnya film-film karya auteur—sutradara yang memiliki sentuhan artistik yang kuat dalam film-filmnya.
Menurut Hollywood Reporter, Locarno Film Festival tidak hanya memiliki sejarah panjang, tapi juga telah menemukan talenta-talenta dunia. Spike Lee (BlacKkKlansman, Malcolm X), Jim Jarmusch (Paterson, Only Lovers Left Alive), Aleksandr Sokurov (Russian Ark, Faust), dan Abbas Kiarostami (Certified Copy, Taste of Cherry) adalah beberapa di antaranya.
“Mereka merupakan beberapa sineas yang karyanya pernah hadir di Locarno sebelum terkenal,” tulis Hollywood Reporter.
Selain Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, sebenarnya ada film-film Indonesia lain yang karyanya pernah mendapat penghargaan di Locarno Film Festival.
Salah satunya adalah Puisi yang Tak Terkuburkan karya Garin Nugroho yang mendapatkan penghargaan Silver Leopard pada kategori Video Competition tahun 2000 silam.
Mengenai Locarno Film Festival, Garin Nugroho menyebut bahwa festival tersebut termasuk salah satu yang paling bergengsi setelah festival seperti Cannes, Venice, Berlin, Toronto, dan Sundance (The Big 5 Film Festivals).
“Letak geografis dan kultur penonton yang kuat membuat festival tersebut unik. Setelah Cannes, Venice, Berlin, Toronto, dan Sundance, Locarno ini termasuk yang terbesar, seperti juga Busan, Rotterdam, Tokyo, dan lain-lain,” ucapnya lewat pesan singkat kepada Hypeabis.id.
Terletak di Swiss, Locarno memang menjadi melting pot para penggemar film di Eropa. Tak hanya itu, mayoritas penduduknya hari ini pun adalah orang-orang yang dari kecil sudah terbiasa dengan keberadaan ajang festival film tersebut.
Dengan profil penonton demikian, Locarno Film Festival lantas kerap menyuguhkan film-film yang menawarkan kebaruan. Para pemenang penghargaannya, termasuk Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Edwin dan Puisi Tak Terkuburkan karya Garin Nugroho, termasuk salah satunya.
Garin Nugroho menyebutkan bahwa kala itu Puisi Tak Terkuburkan unik dan menawarkan kebaruan karena menggunakan konsep hitam-putih dalam format digital. Filmnya sendiri menceritakan tentang kesaksian dan kisah nyata penyair Ibrahim Takdir yang ditahan setelah Peristiwa 65.
Tak hanya mendapat penghargaan di Locarno, Puisi Tak Terkuburkan juga mendapatkan penghargaan FIPRESCI Award di Singapore International Film Festival. Selain itu, film ini juga masuk dalam daftar 100 film Asia terbaik yang disusun oleh Busan International Film Festival.
Tentunya, sebagai seorang maestro di perfilman Indonesia, Garin Nugroho memiliki masterpiece lain. Telah membuat film panjang dari awal 90-an, Garin Nugroho rutin membuat karya-karya yang berkeliling ke festival-festival besar dunia.
Sebut saja misalnya Aku Ingin Menciummu Sekali Saja (2002) dan Bulan Tertusuk Ilalang (1995) yang berkiprah di Berlin; Daun di Atas Bantal (1998) yang berkiprah di Cannes; hingga Kucumbu Tubuh Indahku (2018) dan Opera Jawa (2006) yang berkiprah di Venice.
Adapun, kini tentu prestasi Garin Nugroho akan ditemani oleh prestasi sineas yang lebih muda. Dalam hal ini, Garin Nugroho melihat ada nama-nama selain Edwin yang kuat serta perlu diperhatikan, yakni Yosep Anggi Noen, Kamila Andini, dan Mouly Surya.
Menurutnya, nama-nama itu berpotensi makin sukses di kancah perfilman dunia. Untuk itu, menurutnya dibutuhkan konsistensi, kerja sama internasional, kekuatan ide, dan personalitas sutradara.
“Tahun depan kita harapkan ada yang mengisi posisi puncak di Cannes, Berlin, Venice, Toronto, atau Sundance,” tutupnya.
Editor: Fajar Sidik
Locarno Film Festival merupakan festival film tertua ketiga di Eropa—setelah Venice Film Festival dan Cannes Film Festival. Mulai diadakan tak lama setelah Perang Dunia II berakhir, Locarno Film Festival tahun ini menginjak usianya yang ke-74.
Dalam situs resminya, Locarno Film Festival menyebut bahwa festival mereka telah mengisi posisi yang unik dalam lanskap festival film dunia. Diadakan sebelas hari di Locarno, Swiss, setiap Agustus, Locarno Film Festival menjadi pusatnya film-film karya auteur—sutradara yang memiliki sentuhan artistik yang kuat dalam film-filmnya.
Menurut Hollywood Reporter, Locarno Film Festival tidak hanya memiliki sejarah panjang, tapi juga telah menemukan talenta-talenta dunia. Spike Lee (BlacKkKlansman, Malcolm X), Jim Jarmusch (Paterson, Only Lovers Left Alive), Aleksandr Sokurov (Russian Ark, Faust), dan Abbas Kiarostami (Certified Copy, Taste of Cherry) adalah beberapa di antaranya.
“Mereka merupakan beberapa sineas yang karyanya pernah hadir di Locarno sebelum terkenal,” tulis Hollywood Reporter.
Selain Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, sebenarnya ada film-film Indonesia lain yang karyanya pernah mendapat penghargaan di Locarno Film Festival.
Salah satunya adalah Puisi yang Tak Terkuburkan karya Garin Nugroho yang mendapatkan penghargaan Silver Leopard pada kategori Video Competition tahun 2000 silam.
Mengenai Locarno Film Festival, Garin Nugroho menyebut bahwa festival tersebut termasuk salah satu yang paling bergengsi setelah festival seperti Cannes, Venice, Berlin, Toronto, dan Sundance (The Big 5 Film Festivals).
“Letak geografis dan kultur penonton yang kuat membuat festival tersebut unik. Setelah Cannes, Venice, Berlin, Toronto, dan Sundance, Locarno ini termasuk yang terbesar, seperti juga Busan, Rotterdam, Tokyo, dan lain-lain,” ucapnya lewat pesan singkat kepada Hypeabis.id.
Terletak di Swiss, Locarno memang menjadi melting pot para penggemar film di Eropa. Tak hanya itu, mayoritas penduduknya hari ini pun adalah orang-orang yang dari kecil sudah terbiasa dengan keberadaan ajang festival film tersebut.
Dengan profil penonton demikian, Locarno Film Festival lantas kerap menyuguhkan film-film yang menawarkan kebaruan. Para pemenang penghargaannya, termasuk Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Edwin dan Puisi Tak Terkuburkan karya Garin Nugroho, termasuk salah satunya.
Garin Nugroho menyebutkan bahwa kala itu Puisi Tak Terkuburkan unik dan menawarkan kebaruan karena menggunakan konsep hitam-putih dalam format digital. Filmnya sendiri menceritakan tentang kesaksian dan kisah nyata penyair Ibrahim Takdir yang ditahan setelah Peristiwa 65.
“Film tersebut juga kuat karena menuturkan tragedi secara puitis,” ucapnya.
Tak hanya mendapat penghargaan di Locarno, Puisi Tak Terkuburkan juga mendapatkan penghargaan FIPRESCI Award di Singapore International Film Festival. Selain itu, film ini juga masuk dalam daftar 100 film Asia terbaik yang disusun oleh Busan International Film Festival.
Tentunya, sebagai seorang maestro di perfilman Indonesia, Garin Nugroho memiliki masterpiece lain. Telah membuat film panjang dari awal 90-an, Garin Nugroho rutin membuat karya-karya yang berkeliling ke festival-festival besar dunia.
Sebut saja misalnya Aku Ingin Menciummu Sekali Saja (2002) dan Bulan Tertusuk Ilalang (1995) yang berkiprah di Berlin; Daun di Atas Bantal (1998) yang berkiprah di Cannes; hingga Kucumbu Tubuh Indahku (2018) dan Opera Jawa (2006) yang berkiprah di Venice.
Adapun, kini tentu prestasi Garin Nugroho akan ditemani oleh prestasi sineas yang lebih muda. Dalam hal ini, Garin Nugroho melihat ada nama-nama selain Edwin yang kuat serta perlu diperhatikan, yakni Yosep Anggi Noen, Kamila Andini, dan Mouly Surya.
Menurutnya, nama-nama itu berpotensi makin sukses di kancah perfilman dunia. Untuk itu, menurutnya dibutuhkan konsistensi, kerja sama internasional, kekuatan ide, dan personalitas sutradara.
“Tahun depan kita harapkan ada yang mengisi posisi puncak di Cannes, Berlin, Venice, Toronto, atau Sundance,” tutupnya.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.