Mengungkai Nasionalisme Lewat Rupa Seni di Pameran Indonesia Tanah Airku, Tanah Tumpah Darahku
10 November 2024 |
21:23 WIB
Beragam karya seni dua dimensi yang menggugah dari 12 seniman yang merespons kalimat “Indonesia Tanah Airku, Tanah Tumpah Darahku” terpampang apik di dinding-dinding putih ruang pamer galeri Zen1, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (10/11/2024).
Kalimat penuh nasionalisme tersebut, yang juga menjadi tajuk pameran ini, diambil dari coretan kecil yang ditemukan di dalam sketsa awal lukisan monumental maestro Sudjojono bertajuk “Mengatur Siasat”.
Baca juga: Agenda Pameran Seni Rupa November 2024, Ada Flaneur & Jendela Marida Nasution
Di dalam pameran ini, sebanyak 11 seniman kurasi dan 1 seniman undangan mencoba merespons goresan kalimat tersebut dengan berbagai pembacaan menarik. Ekshibisi yang digelar Galeri Zen1 dan Ginting Institute ini lantas menjadi wahana untuk mengimajinasikan kembali pandangan dunia Sudjojono, terutama tentang hal-hal keindonesiaan, dalam konteks saat ini.
Satu refleksi menarik itu misalnya hadir lewat lukisan berjudul Mengatur Siasat Setelah S.Sudjojono karya Ugo Untoro. Dalam karya berdimensi 150cm x 200 cm tersebut, Ugo memvisualkan ulang apa yang terlukis dalam “Mengatur Siasat”, tetapi dengan sejumlah perbedaan.
Ugo misalnya mengganti figur laki-laki di lukisan tersebut dengan figur perempuan. Dalam karyanya, Ugo menggambarkan sejumlah perempuan yang tengah mengatur rencana di sebuah pedesaan dengan lanskap gunung api di belakangnya.
Figur-figur perempuan yang dihadirkan tampil dengan balutan yang berbeda-beda, menampakkan peran yang berbeda pula dalam upaya bersama untuk meraih kemerdekaan Tanah Air.
Refleksi ulang ini membuat menemukan realita lain tentang upaya kemerdekaan Indonesia, yang di dalamnya tentu saja tak hanya diperjuangkan oleh laki-laki, tetapi juga perempuan.
Dalam pameran ini, satu pembacaan berbeda juga coba ditawarkan seniman Awang Behartawan. Lewat karya bertajuk Turbulent/Bergolak, Awang memvisualkan sebuah lingkaran besar di tengah yang dikelilingi arus berbeda di sampingnya.
Ide lukisannya berangkat dari hal paling dasar yang selalu terjadi, yakni fractal atau pengulangan. Baginya, pergolakan itu sudah terjadi dan pasti akan terjadi lagi di masa depan.
Meski pergolakan akan terjadi pada waktu dan tempat yang tak sama, pada dasarnya hal itu tetaplah serupa. Saat ini misalnya, ketika pergantian kekuasaan terjadi juga berbarengan dengan progres rencana pemindahan ibu kota.
“Namun, pergolakan ini membuat negara menjadi kuat dan maju. Ini menjadi inspirasi saya dalam mencipta karya,” ungkapnya.
Sementara itu, Seniman S Dwi Stya Acong mencoba merefleksi gagasan S. Sudjojono dengan membuat karya dua dimensi bertajuk Indonesian Kapellmeister. Karyanya ini terinspirasi dari peran penting seorang konduktor dalam memimpin atau mengarahkan.
Kapellmeister dalam bahasa Jerman adalah sebutan untuk pemimpin paduan suara atau orkestra. Karyanya mencoba membicarakan perihal kepemimpinan visioner sekaligus menyeimbangkan keselarasahan di tengah kemajemukan yang unik.
“Dalam karya ini, saya berpikir banyak sekali orang mampu mengambil peran sebagai konduktor, termasuk salah satunya S.Sudjojono dalam bidang seni rupa khususnya,” jelasnya.
Menimbang Pandangan Dunia Sudjojono
Kurator Rizki A Zaelani mengatakan gagasan pameran ini beranjak dari inspirasi kertas kerja artistis Sudjojono bertajuk Mengatur Siasat. Sketsa awal ini dikerjakan oleh Sudjojono dengan medium pensil di atas kertas berukuran 23 cm x 32 cm.
Kini, sketsa tersebut tentu jadi semacam artefak sejarah penting. Namun, apa yang terkandung di dalamnya kini juga terus dimaknai secara dinamis. Saat ini misalnya, gagasannya direfleksikan kembali dalam momen Hari Pahlawan 2024 oleh para seniman.
Kurator yang karib disapa Kiki itu mengatakan pameran ini diikuti oleh 11 seniman, yakni Chusin Setiadikara, teja Astawa, Ida Bagus Purwa, Ugo Untoro, S. Dwi Stya Acong, Ronald Apriyan, Oco Santoso, Andang Iskandar, Toni Antonius, Arafura, dan Awang Behartawan. Lalu, ada satu seniman undangan, yakni Nuraeni Hendra Gunawan.
“Karya-karya yang ditampilkan ini merupakan hasil dari respons dan dialog kreatif seniman menanggapi karya yang sebelumnya dikerjakan oleh Sudjojono,” tuturnya.
Dari sketsa Sudjojono tersebut, para seniman ini kemudian mengubahnya jadi lukisan, fotografi, bahkan karya interaktif. Seluruh karya yang ditampilkan menawarkan pembacaan berbeda yang menarik.
Pameran Indonesia Tanah Airku, Tanah Tumpah Darahku yang dibuka langsung oleh Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Indonesia Maruarar Sirait dan pemilik Nicolaus F. Kuswanto ini akan dibuka untuk publik mulai 11 November-25 November 2024.
Baca juga: Menilik Sumbangsih S. Sudjojono Terhadap Sejarah Seni Rupa Indonesia dari Mata Sanento Yuliman
Editor: Puput Ady Sukarno
Kalimat penuh nasionalisme tersebut, yang juga menjadi tajuk pameran ini, diambil dari coretan kecil yang ditemukan di dalam sketsa awal lukisan monumental maestro Sudjojono bertajuk “Mengatur Siasat”.
Baca juga: Agenda Pameran Seni Rupa November 2024, Ada Flaneur & Jendela Marida Nasution
Di dalam pameran ini, sebanyak 11 seniman kurasi dan 1 seniman undangan mencoba merespons goresan kalimat tersebut dengan berbagai pembacaan menarik. Ekshibisi yang digelar Galeri Zen1 dan Ginting Institute ini lantas menjadi wahana untuk mengimajinasikan kembali pandangan dunia Sudjojono, terutama tentang hal-hal keindonesiaan, dalam konteks saat ini.
Mengatur Siasat Setelah S.Sudjojono karya Ugo Untoro (Sumber gambar: Hypeabis.id/Abdurachman)
Satu refleksi menarik itu misalnya hadir lewat lukisan berjudul Mengatur Siasat Setelah S.Sudjojono karya Ugo Untoro. Dalam karya berdimensi 150cm x 200 cm tersebut, Ugo memvisualkan ulang apa yang terlukis dalam “Mengatur Siasat”, tetapi dengan sejumlah perbedaan.
Ugo misalnya mengganti figur laki-laki di lukisan tersebut dengan figur perempuan. Dalam karyanya, Ugo menggambarkan sejumlah perempuan yang tengah mengatur rencana di sebuah pedesaan dengan lanskap gunung api di belakangnya.
Figur-figur perempuan yang dihadirkan tampil dengan balutan yang berbeda-beda, menampakkan peran yang berbeda pula dalam upaya bersama untuk meraih kemerdekaan Tanah Air.
Refleksi ulang ini membuat menemukan realita lain tentang upaya kemerdekaan Indonesia, yang di dalamnya tentu saja tak hanya diperjuangkan oleh laki-laki, tetapi juga perempuan.
Turbulent/Bergolak (Sumber gambar: Hypeabis.id/Abdurachman)
Dalam pameran ini, satu pembacaan berbeda juga coba ditawarkan seniman Awang Behartawan. Lewat karya bertajuk Turbulent/Bergolak, Awang memvisualkan sebuah lingkaran besar di tengah yang dikelilingi arus berbeda di sampingnya.
Ide lukisannya berangkat dari hal paling dasar yang selalu terjadi, yakni fractal atau pengulangan. Baginya, pergolakan itu sudah terjadi dan pasti akan terjadi lagi di masa depan.
Meski pergolakan akan terjadi pada waktu dan tempat yang tak sama, pada dasarnya hal itu tetaplah serupa. Saat ini misalnya, ketika pergantian kekuasaan terjadi juga berbarengan dengan progres rencana pemindahan ibu kota.
“Namun, pergolakan ini membuat negara menjadi kuat dan maju. Ini menjadi inspirasi saya dalam mencipta karya,” ungkapnya.
Indonesian Kapellmeister (Sumber gambar: Abdurachman/Hypeabis.id)
Sementara itu, Seniman S Dwi Stya Acong mencoba merefleksi gagasan S. Sudjojono dengan membuat karya dua dimensi bertajuk Indonesian Kapellmeister. Karyanya ini terinspirasi dari peran penting seorang konduktor dalam memimpin atau mengarahkan.
Kapellmeister dalam bahasa Jerman adalah sebutan untuk pemimpin paduan suara atau orkestra. Karyanya mencoba membicarakan perihal kepemimpinan visioner sekaligus menyeimbangkan keselarasahan di tengah kemajemukan yang unik.
“Dalam karya ini, saya berpikir banyak sekali orang mampu mengambil peran sebagai konduktor, termasuk salah satunya S.Sudjojono dalam bidang seni rupa khususnya,” jelasnya.
Menimbang Pandangan Dunia Sudjojono
Kurator Rizki A Zaelani mengatakan gagasan pameran ini beranjak dari inspirasi kertas kerja artistis Sudjojono bertajuk Mengatur Siasat. Sketsa awal ini dikerjakan oleh Sudjojono dengan medium pensil di atas kertas berukuran 23 cm x 32 cm.
Kini, sketsa tersebut tentu jadi semacam artefak sejarah penting. Namun, apa yang terkandung di dalamnya kini juga terus dimaknai secara dinamis. Saat ini misalnya, gagasannya direfleksikan kembali dalam momen Hari Pahlawan 2024 oleh para seniman.
Kurator yang karib disapa Kiki itu mengatakan pameran ini diikuti oleh 11 seniman, yakni Chusin Setiadikara, teja Astawa, Ida Bagus Purwa, Ugo Untoro, S. Dwi Stya Acong, Ronald Apriyan, Oco Santoso, Andang Iskandar, Toni Antonius, Arafura, dan Awang Behartawan. Lalu, ada satu seniman undangan, yakni Nuraeni Hendra Gunawan.
“Karya-karya yang ditampilkan ini merupakan hasil dari respons dan dialog kreatif seniman menanggapi karya yang sebelumnya dikerjakan oleh Sudjojono,” tuturnya.
Dari sketsa Sudjojono tersebut, para seniman ini kemudian mengubahnya jadi lukisan, fotografi, bahkan karya interaktif. Seluruh karya yang ditampilkan menawarkan pembacaan berbeda yang menarik.
Pameran Indonesia Tanah Airku, Tanah Tumpah Darahku yang dibuka langsung oleh Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Indonesia Maruarar Sirait dan pemilik Nicolaus F. Kuswanto ini akan dibuka untuk publik mulai 11 November-25 November 2024.
Baca juga: Menilik Sumbangsih S. Sudjojono Terhadap Sejarah Seni Rupa Indonesia dari Mata Sanento Yuliman
Editor: Puput Ady Sukarno
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.