Menapaki Perjalanan Spiritualitas Kristus dalam Pameran The Holy Journey Seniman Sasya Tranggono
26 November 2024 |
22:06 WIB
Meski beberapa kali menggali eksplorasi dari subject matter berbeda, seniman Sasya Tranggono tak bisa dilepaskan dari kegemarannya pada objek wayang. Di pameran tunggal terbarunya bertajuk The Holy Journey, Sasya kembali pada akar mula kekaryaanya yang telah dibangunnya lebih dari 20 tahun silam itu.
Digelar di Galeri Zen1, Menteng, Jakarta Pusat, pameran The Holy Journey memajang 12 lukisan dan 2 instalasi yang telah dikumpulkan dalam beberapa tahun terakhir. Karya-karya anyar dari Sasya yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya ini dapat dinikmati publik mulai 26 November-31 Desember 2024.
Baca juga: Refleksi Kompleksitas Budaya yang Dinamis Tersaji dalam Pameran Tunggal Sasya Tranggono
Di The Holy Journey, Sasya kembali menempatkan kehidupan, pengalaman pribadi, sekaligus perjalanan spiritual sebagai sumber inspirasi, yang membuat lekuk wayang golek yang digubahnya menjadi dua dimensi itu memiliki keterikatan batin kuat.
Wayang golek, yang muncul di seluruh lukisan serta instalasinya, tak ubahnya seperti susunan naskah skenario yang menggamblangkan narasi yang telah dirancang sang seniman. Utamanya pada perenungan perjalanan penuh spiritualitas.
Sasya menyalin adegan demi adegan magis dari perjalanan hidup Kristus, dari kelahiran-Nya di Bethlehem, sampai ketika disalibkan di Golgota. Seluruhnya, dipresentasikan dengan apik.
Ketika memasuki ruang pamer, satu lukisan cukup besar dari Sasya langsung memantik sorotan. Berjudul The Last Supper #1, karya berdimensi 110x200 cm itu menggambarkan ulang satu momen sakral Kristus, yakni Perjamuan Terakhir.
Memang, telah ada banyak seniman lain yang melukiskan tema serupa. Yang paling terkenal tentu dari Leonardo da Vinci. Akan tetapi, Sasya membawa peristiwa makan malam terakhir Kristus itu dengan gayanya sendiri.
Dalam lukisannya, Kristus tetap tampil dengan wajah Kristus. Namun, dua belas murid-Nya pada lukisan bersalin rupa sebagai tokoh-tokoh di dunia pewayangan dalam bentuk wayang golek.
Meski menyuguhkan dengan gaya berbeda, lukisan ini tetap mampu menggambarkan ekspresi beragam dari para murid-Nya, seperti kengerian, kemarahan, simpati, sampai keterkejutan. Setiap gerak tubuh, ekspresi, dan posisi wayang menyampaikan makna yang lebih dalam terhadap adegan sakral tersebut.
Pada karyanya yang lain, yang bernaung dengan tema yang sama, The Last Supper, ditampilkan dalam bentuk berbeda. Sasya kali ini menggambarkan momen itu lewat instalasi.
Karya tersebut menempatkan sebuah tonggak yang tampak merepresentasikan bukit Gersemani. Di bagian bawah, terdapat wayang golek dalam posisi berdiri dengan berbagai ekspresi. Dua wayang tampak tengah memanjat, tetapi belum sampai.
Di bagian atas tonggak tersebut, Kristus tampil berdiri tegak dengan pose yang monumental, yang merefleksikan puncak kemenangan iman.
Pada pameran ini, setiap wayang memang menarasikan kembali momen-momen spiritualitas dari Kristus. Di bagian sudut lain misalnya, terdapat lukisan berjudul HE is more than enough.
Dalam lukisan itu, Kristus tampil dalam wajah Kristus, tetapi tubuh wayang golek. Dalam lukisan ini, tampak seorang perempuan di depannya sedang meminta mukjizat atau juga berdoa.
Total, Kristus muncul pada 7 lukisannya yang masing-masing membawa ke momen-momen spiritualitas berbeda.
Sasya Tranggono mengatakan melalui rangkaian lukisan dan instalasi yang dipamerkan ini, dirinya ingin merenungkan kembali perjalanan Kristus dari awal kelahiran-Nya sampai akhirnya disalibkan.
Momen-momen tersebut, bagi Sasya punya makna yang mendalam dalam menyusuri perjalanan religinya. Dia pun mencoba untuk merefleksikan itu ke dalam berbagai bentuk yang telah menjadi gaya khasnya, wayang.
“Pameran ini didedikasikan untuk memadukan budaya dan religi agar nampak harmonis di negara yang berkedaulatan dan berasa Pancasila ini,” ucap Sasya.
Wayang, sengaja dimunculkan kembali olehnya sebagai bentuk penegasan dirinya adalah pelukis yang mencintai budaya lokal. Lebih dari itu, bagi Sasya, wayang adalah warisan penting sekalis sarana kuat untuk bercerita dan menyampaikan pesan.
Dengan mengangkat perjalanan Kristus melalui wayang, dirinya berharap kebudayaan Indonesia ke depan bisa makin diperkenalkan ke khazanah yang lebih luas. Dua hal ini, budaya dan religi, memang menjadi napas utama berkarya pada pameran ini.
Sementara itu, Jim Supangkat melalui catatan kuratorialnya mengatakan meski telah menjelajahi subject matter berbeda, Sasya senantiasa kembali pada objek wayang yang telah menemaninya lebih dari 20 tahun.
Yang unik, Sasya mengangkat wayang golek, yang membawa sifat benda, alih-alih wayang kulit datar yang lazimnya memancing perupa mengembangkan bentuk wayang. Melalui wayang ini, Sasya menggunakannya sebagai medium bercerita dalam naskah-naskah yang telah disusunnya, yakni perjalanan penuh kasih dan pengorbanan Kristus.
Editor: Fajar Sidik
Digelar di Galeri Zen1, Menteng, Jakarta Pusat, pameran The Holy Journey memajang 12 lukisan dan 2 instalasi yang telah dikumpulkan dalam beberapa tahun terakhir. Karya-karya anyar dari Sasya yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya ini dapat dinikmati publik mulai 26 November-31 Desember 2024.
Baca juga: Refleksi Kompleksitas Budaya yang Dinamis Tersaji dalam Pameran Tunggal Sasya Tranggono
Di The Holy Journey, Sasya kembali menempatkan kehidupan, pengalaman pribadi, sekaligus perjalanan spiritual sebagai sumber inspirasi, yang membuat lekuk wayang golek yang digubahnya menjadi dua dimensi itu memiliki keterikatan batin kuat.
Wayang golek, yang muncul di seluruh lukisan serta instalasinya, tak ubahnya seperti susunan naskah skenario yang menggamblangkan narasi yang telah dirancang sang seniman. Utamanya pada perenungan perjalanan penuh spiritualitas.
Sasya menyalin adegan demi adegan magis dari perjalanan hidup Kristus, dari kelahiran-Nya di Bethlehem, sampai ketika disalibkan di Golgota. Seluruhnya, dipresentasikan dengan apik.
The Last Supper #1 dalam Pameran tunggal Sasya Tranggono The Holy Journey (Sumber gambar: Arief Hermawan P)
Ketika memasuki ruang pamer, satu lukisan cukup besar dari Sasya langsung memantik sorotan. Berjudul The Last Supper #1, karya berdimensi 110x200 cm itu menggambarkan ulang satu momen sakral Kristus, yakni Perjamuan Terakhir.
Memang, telah ada banyak seniman lain yang melukiskan tema serupa. Yang paling terkenal tentu dari Leonardo da Vinci. Akan tetapi, Sasya membawa peristiwa makan malam terakhir Kristus itu dengan gayanya sendiri.
Dalam lukisannya, Kristus tetap tampil dengan wajah Kristus. Namun, dua belas murid-Nya pada lukisan bersalin rupa sebagai tokoh-tokoh di dunia pewayangan dalam bentuk wayang golek.
Meski menyuguhkan dengan gaya berbeda, lukisan ini tetap mampu menggambarkan ekspresi beragam dari para murid-Nya, seperti kengerian, kemarahan, simpati, sampai keterkejutan. Setiap gerak tubuh, ekspresi, dan posisi wayang menyampaikan makna yang lebih dalam terhadap adegan sakral tersebut.
The Last Supper dalam Pameran tunggal Sasya Tranggono The Holy Journey (Sumber gambar: Arief Hermawan P)
Pada karyanya yang lain, yang bernaung dengan tema yang sama, The Last Supper, ditampilkan dalam bentuk berbeda. Sasya kali ini menggambarkan momen itu lewat instalasi.
Karya tersebut menempatkan sebuah tonggak yang tampak merepresentasikan bukit Gersemani. Di bagian bawah, terdapat wayang golek dalam posisi berdiri dengan berbagai ekspresi. Dua wayang tampak tengah memanjat, tetapi belum sampai.
Di bagian atas tonggak tersebut, Kristus tampil berdiri tegak dengan pose yang monumental, yang merefleksikan puncak kemenangan iman.
HE is more than enough Dalam Pameran tunggal Sasya Tranggono The Holy Journey (Sumber gambar: Arief Hermawan P)
Pada pameran ini, setiap wayang memang menarasikan kembali momen-momen spiritualitas dari Kristus. Di bagian sudut lain misalnya, terdapat lukisan berjudul HE is more than enough.
Dalam lukisan itu, Kristus tampil dalam wajah Kristus, tetapi tubuh wayang golek. Dalam lukisan ini, tampak seorang perempuan di depannya sedang meminta mukjizat atau juga berdoa.
Total, Kristus muncul pada 7 lukisannya yang masing-masing membawa ke momen-momen spiritualitas berbeda.
Memadukan Budaya & Religi
Sasya Tranggono mengatakan melalui rangkaian lukisan dan instalasi yang dipamerkan ini, dirinya ingin merenungkan kembali perjalanan Kristus dari awal kelahiran-Nya sampai akhirnya disalibkan.Momen-momen tersebut, bagi Sasya punya makna yang mendalam dalam menyusuri perjalanan religinya. Dia pun mencoba untuk merefleksikan itu ke dalam berbagai bentuk yang telah menjadi gaya khasnya, wayang.
“Pameran ini didedikasikan untuk memadukan budaya dan religi agar nampak harmonis di negara yang berkedaulatan dan berasa Pancasila ini,” ucap Sasya.
Wayang, sengaja dimunculkan kembali olehnya sebagai bentuk penegasan dirinya adalah pelukis yang mencintai budaya lokal. Lebih dari itu, bagi Sasya, wayang adalah warisan penting sekalis sarana kuat untuk bercerita dan menyampaikan pesan.
Dengan mengangkat perjalanan Kristus melalui wayang, dirinya berharap kebudayaan Indonesia ke depan bisa makin diperkenalkan ke khazanah yang lebih luas. Dua hal ini, budaya dan religi, memang menjadi napas utama berkarya pada pameran ini.
Sementara itu, Jim Supangkat melalui catatan kuratorialnya mengatakan meski telah menjelajahi subject matter berbeda, Sasya senantiasa kembali pada objek wayang yang telah menemaninya lebih dari 20 tahun.
Yang unik, Sasya mengangkat wayang golek, yang membawa sifat benda, alih-alih wayang kulit datar yang lazimnya memancing perupa mengembangkan bentuk wayang. Melalui wayang ini, Sasya menggunakannya sebagai medium bercerita dalam naskah-naskah yang telah disusunnya, yakni perjalanan penuh kasih dan pengorbanan Kristus.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.