Suasana diskusi bertema Bahasa, Kuasa, Sumpah Pemuda, Kata-kata sebagai Pemersatu Bangsa di Jakarta, Jumat (25/10/2024) (Foto: Hypeabis.id/Arief Hermawan P)

Menelisik Peranan Bahasa Indonesia dalam Suluh Pergerakan & Sejarah Sumpah Pemuda

26 October 2024   |   10:00 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Bahasa, sebagai sebuah gagasan memiliki peran penting dalam sejarah bangsa. Terlebih sejak para pemuda dari berbagai latar belakang daerah, suku, dan agama, menggaungkan ikrar Sumpah Pemuda pada 1928, di mana salah satu elemen yang bakal memperkuat persatuan adalah bahasa Indonesia.

Kongres Pemuda kedua dimotori Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), yang dibagi dalam tiga kali pertemuan, yang berlangsung selama 2 hari pada 27-28 Oktober 1928. Kongres berlangsung di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond, Oost Java Bioscoop, dan Indonesische Clubgebouw.

Baca juga: 5 Aplikasi Belajar Bahasa Terbaik 2024, Mudah & Interaktif

Kala itu, para tokoh pergerakan mengambil langkah besar untuk menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa utama kongres. Padahal, bahasa sehari-hari yang mereka gunakan saat itu adalah Bahasa Belanda. Lantas, apa pasal yang membuat pemuda menjadikan Bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan?

Momen inilah yang coba diungkai dalam diskusi bertajuk Bahasa, Kuasa, Sumpah Pemuda; Kata-kata Sebagai Pemersatu Bangsa, di Ke-kini, Ruang Bersama, Jakarta. Sejarawan Hilmar Farid, menjadi narasumber diskusi yang dihelat oleh Komunitas Bambu, Gamechangers, dan ruang Ke-kini pada Jumat, (25/10/24) itu.
 

Hypeabis.id/Arief Hermawan P

Suasana diskusi bertema Bahasa, Kuasa, Sumpah Pemuda, Kata-kata sebagai Pemersatu Bangsa di Jakarta, Jumat (25/10/2024) (sumber gambar: Hypeabis.id/Arief Hermawan P)

Hilmar Farid mengatakan, kala itu memang banyak kelimun anak-anak muda yang kritis dalam melihat realitas, khususnya untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa publik. Padahal, saat itu hampir sebagian besar pemuda masih banyak yang menggunakan bahasa Belanda, dan bahasa daerah sebagai bahasa sehari-hari mereka.

"Kalau berbicara kemudahan tentu saat itu lebih mudah berbahasa Belanda. Namun, persoalannya bukan menggunakan bahasa itu saja. Melainkan merumuskan realitas melalui bahasa, itu yang paling penting. Mereka [para pemuda] ingin membuat ranah publik, dimaknai, dimengerti, dan dikomunikasikan lewat bahasa Indonesia," kata Hilmar yang juga menjabat Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek (2015-2024).

Menurut Hilmar, momen inilah yang membedakan suluh pergerakan anak-anak muda kala itu dengan proyek kolonial. Yaitu, masyarakat mengira Bahasa Indonesia merupakan evolusi dari bahasa Melayu, atau sesuatu yang terjadi secara alamiah. Lain, dari itu, ini merupakan transformasi dari kemeriahan dari berbagai macam kosakata untuk memaknai dunia yang terus berubah.

Mengenai sumpah pemuda sendiri, sejarawan jebolan Universitas Indonesia, itu mengungkap istilah sumpah pemuda saat itu belum ada, saat kongres berlangsung. kala itu, kongres hanya menghasilkan keputusan, yang formulasinya kerap dibacakan setiap peringatan sumpah pemuda yang kini memasuki umur ke-96.
 

Sejumlah anak-anak melakukan kegiatan sumpah pemuda 2023 di kebun bambu desa mereka dibantu pemuda. (sumber gambar: Hypeabis.id/ Ivu Fajar Samsumar)

Sejumlah anak-anak melakukan kegiatan sumpah pemuda 2023 di kebun bambu desa mereka dibantu pemuda. (sumber gambar: Hypeabis.id/ Ivu Fajar Samsumar)

Berdasarkan laman  Museum Sumpah Pemuda, saat itu pada rapat pertama di gedung Katholieke Jongenlingen Bond, Mohammad Yamin, menguraikan tentang arti dan hubungan persatuan dari para pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.

"Keyakinan dari para pemuda bahwa 'kita' ini satu juga timbul dari bahasa melayu. Walakin bukan bahasa melayu yang dirumuskan oleh pemerintah kolonial, tetapi bahasa yang hidup di masyarakat. Yang sayangnya oleh mereka yang menyatakan pun belum dikenal dengan baik. Tetapi, niatnya untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai alat perjuangan kemerdekaan dinyatakan di situ," imbuh Hilmar. 

Baca juga: Anjing Mengeong Kucing Menggonggong & Respon Eka Kurniawan Terhadap Eufemisme Bahasa

Lebih lanjut, Hilmar menjelaskan, kelima elemen itulah yang patut disayangkan, jarang dibedah saat momentum hari sumpah pemuda. Masyarakat hari ini hanya mengetahui isu yang direduksi menjadi tiga diktat [Tanah Air, Bangsa, dan bahasa Indonesia], yang dibacakan dengan lantang saat upacara berlangsung setiap tanggal 28 Oktober.

"Sayang ini sebenarnya, karena sumpah pemuda ini merupakan sebuah pemikiran yang sangat luar biasa dan kaya akan segala dimensi," jelas penulis buku Perang Suara; Bahasa dan Politik Pergerakan, itu.


Sejarah Bahasa Indonesia

Kendati secara normatif kelahiran Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, muncul setelah ikrar Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, akan tetapi akar bahasa Indonesia merentang jauh sejak abad ke-7, yang berasal dari bahasa Melayu, sebagai lingua franca (basantara), yang kala itu digunakan untuk berkomunikasi antar kelompok yang masing-masing memiliki bahasa berbeda di Nusantara.

Keberadaan Bahasa Melayu juga dapat ditilik saat persiapan Kongres Pemuda Pertama pada 2 Mei 1926. Kendati begitu, hasil kongres ini masih memicu polemik karena ada dua masalah pokok, sehingga kongres tidak menghasilkan keputusan bulat. Yaitu, tentang bahasa dan sifat kedaerahan, yang menjadi penghambat untuk dialihkan ke arah perjuangan yang lebih bersifat nasional.

Khazanah mengenai asal usul Bahasa Indonesia yang berakar dari Bahasa Melayu juga diungkai dalam artikel ilmiah bertajuk Bahasa Melayu: Antara Barus dan Malaka karya Sahril. Menurutnya, Bahasa Melayu berasal dari kerajaan Sriwijaya untuk Melayu Kuno, dan Kesultanan Melaka, untuk bahasa Melayu Baru. Sriwijaya merupakan kerajaan yang berdiri pada abad ke-7 di Pulau Sumatera, sedangkan Kesultanan Melaka berada di Malaysia.
 

Prasasti Talang Tuo peninggalan kerajaan Sriwijaya yang berada di Museum Nasional Indonesia.  (sumber gambar: Wikimedia/Gunawan Kartapranata)

Prasasti Talang Tuo peninggalan kerajaan Sriwijaya yang berada di Museum Nasional Indonesia. (sumber gambar: Wikimedia/Gunawan Kartapranata)

Keberadaan kerajaan Sriwijaya juga meninggalkan beberapa prasasti seperti Talang Tuo di Palembang, dan Karang Brahi di Jambi yang dibuat pada dekade 680-an Masehi. Berdasarkan beberapa penelitian, dari kedua prasasti tersebut setidaknya terdapat 70 persen kosakata melayu kuno, dan 30 persen sisanya menggunakan bahasa sanskerta.

Baca juga: Hilmar Farid: Museum Nasional Raih Pendapatan Terbesar Sepanjang Sejarah saat Dibuka Kembali

Namun, kemunduran kerajaan Sriwijaya juga berdampak pada lepasnya kerajaan-kerajaan kecil yang otonom, seperti Lamuri, Aru, Pedir, dan Barus. Munculnya Islam juga membawa pengaruh terhadap keberadaan Bahasa Melayu, karena banyak menyerap bahasa serapan dari Arab dan Persia dalam bahasa sehari-hari yang digunakan oleh penduduk Nusantara kala itu.

Momen penting dari masa ini adalah munculnya tokoh Hamzah Fansuri, seorang asketis sekaligus sastrawan yang banyak menuliskan karya-karya sastra lama Berbahasa Melayu. Beberapa di antaranya yang terkenal adalah Syair Perahu, dan Syair Unggas. Lewat karya-karyanya itulah, tokoh asal Barus, itu berhasil memelopori kesusastraan melayu dan ditasbihkan sebagai Bapak Bahasa dan Sastra Melayu.

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

Pakar Ungkap Cara Efektif Tingkatkan Keamanan Siber

BERIKUTNYA

Cek Jadwal dan Lokasi CFD Jabodetabek Minggu 27 Oktober 2024

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: