Alih-alih menggunakan kalimat bersayap, Eka mengaku ingin tanpa tedeng aling-aling untuk mengindah-indahkan bahasa. (Sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)

Anjing Mengeong Kucing Menggonggong & Respon Eka Kurniawan Terhadap Eufemisme Bahasa

09 August 2024   |   15:53 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Proses menulis karya sastra antara satu dan penulis yang lain tentu berbeda. Ada yang mencari inspirasi lewat pengalaman pribadi, observasi, mimpi, atau sumber lain seperti berita, sejarah, atau mitos. Ada pula yang mendapat inspirasi setelah menonton pertandingan bisbol, lalu langsung merampungkan karya.

Eka Kurniawan lain lagi. Penulis Cantik Itu Luka (2002) tersebut belum lama ini merilis novel terbarunya, Anjing Mengeong Kucing Menggonggong (selanjutnya disingkat AMKM) yang mendedah pengalaman batin, olok-olok maskulinitas, dan sikap pemberontakan terhadap eufemisme.

Menurut KBBI, eufemisme didefinisikan sebagai ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan. Namun, eufemisme kerap digunakan sebagai salah satu alat politik untuk mengukuhkan kekuasaan. 

Pada masa Orde Baru misalnya, atau hingga saat ini, Genhype mungkin masih kerap mendengar kata 'mengamankan' yang sebetulnya bermakna 'menahan', atau 'menangkap'. Ini pun berlaku di industri media, yang biasanya menggunakan kata 'menggagahi', 'rudapaksa', atau 'menyetubuhi', padahal yang dimaksud 'memperkosa'. 

Baca juga: Proses Kreatif Eka Kurniawan Menulis Novel Anjing Mengeong Kucing Menggonggong
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Eka Kurniawan (@gnolbo)


Sebagai penulis yang besar pada masa orde baru, Eka pun mencoba merespon atau membangkangi praktik yang terus diwariskan tersebut. Alih-alih menggunakan kalimat bersayap, dia mengaku ingin tanpa tedeng aling-aling untuk tidak mengindah-indahkan bahasa. 

"Ketika saya melihat tulisan saya sendiri, sepertinya ini merupakan respon saya dari sastra Indonesia sebelumnya. Saya penulis yang lahir pasca Orde Baru. Artinya saya membaca karya-karya sastra pada masa Soeharto, yang terlalu banyak eufemisme dan nggak blak-blakan," katanya.

Jika merunut ke sejarah, dia mafhum bahwa situasi politik di zaman itu membuat hampir semua penulis tidak bisa bicara blak-blakan. Misalnya saat menyinggung politik, kekerasan, seks, dan yang lain. Arkian, setelah Soeharto turun sebagai pribadi, dia pun ingin bebas menulis.

"Kalo saya katakan memilih realisme, saya ingin menggambarkan apa yang secara visual terlihat ya digambarkan saja. Tidak perlu ditutup-tutupi. Karena ini merupakan respon alamiah seorang penulis dari zaman ke zaman yang saya respon secara estetik," katanya. 
 

Pemilihan Karakter 

Penggunaan karakter sebagai basis laku cerita juga menjadi hal yang penting bagi seorang penulis. Genhype tentu ingat dengan karakter-karakter ikonik seperti Hamlet (William Shakespeare) Tom Sawyer (Mark Twain), Jay Gatsby (F. Scott Fitzgerald), Srintil (Ahmad Tohari), atau Sukab (Seno Gumira Ajidarma). 

Lantas, bagaimana Eka memproyeksikan karakter-karakter yang dibuat, khususnya dalam karya AMKM kali ini? Bila merujuk ke karya-karya sebelumnya, pembaca akan diseret ke konflik Ajo Kawir dan Iteung (Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas), Siti dan Toyib (cerpen Sumur), atau Margio (Lelaki Harimau).
 

Eka Kurniawan saat bertemu dengan awak media secara terbatas pada Rabu, (7/8/24) (sumber gambar: Gramedia)

Eka Kurniawan saat bertemu dengan awak media secara terbatas pada Rabu, (7/8/24) (Sumber gambar: Gramedia)

Peraih nominasi Man Booker International Prize itu mengaku tidak secara khusus mereka-reka nama yang ikonik atau terdengar beda bagi pembaca. Dalam pembuatan karakter Eka lebih tertarik pada familiarity dan unfamiliarity, atau bagaimana yang familiar dibuat menjadi tidak familiar, bahkan sebaliknya. 

"Jika merujuk pada nama Siti dan Toyib, misalnya. Itu kan bukan sebuah nama yang aneh. Akan tetapi, karena mungkin jarang digunakan untuk novel jadi unfamiliar. Untuk AMKM, saya menggunakan karakter Sato Reang, yang dalam Bahasa Sunda jika digabungkan berarti binatang berisik," katanya. 

Walakin, apakah nama karakter utama dari novel AMKM ini juga akan mengacu pada sifatnya yang diartikan dari Bahasa Sunda tersebut? Sepertinya Genhype harus membaca karyanya secara langsung untuk dapat mengetahui apa yang ingin disampaikan oleh pengarang satu ini. 

Eka menjelaskan, apa yang ada dalam novel termasuk pemilihan nama karakter  muncul sambil lalu. Bahkan dari draf awalnya, dia tidak mengetahui karya ini akan berakhir di mana. "Kadang-kadang makna [dari nama karakter] itu kan datang belakangan. Saya juga tidak memikirkan novel ini apakah akan bicara tentang binatang yang berisik atau tidak," jelasnya.

Baca juga: Isna Marifa Hadirkan Sejarah Nusantara yang Terpenggal di Novel Sapaan Sang Giri

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: syaiful Millah 

SEBELUMNYA

MUFFEST+ 2024 Gandeng 175 Jenama Lokal Menuju Pasar Global Modest Fashion

BERIKUTNYA

Kabut Berduri Masuk Daftar Top 10 Global Film Non-English Netflix setelah 4 Hari Tayang

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: