Mimpi Indonesia Bersih, Mengapa Kesadaran Lingkungan Sulit Bertahan?
24 October 2024 |
19:31 WIB
Sebagian dari kita tentu sudah tidak asing dengan berbagai slogan tentang kebersihan: Buanglah sampah pada tempatnya, Kebersihan sebagian dari iman, dan Kebersihan cerminan budaya bangsa. Berbagai imbauan ini kerap terdengar dalam kehidupan sehari-hari, baik di sekolah, tempat ibadah, maupun media sosial.
Namun, apakah ajakan-ajakan ini benar-benar dihayati dan dipraktikkan dalam kehidupan nyata? Sayangnya, realitas menunjukkan hal sebaliknya. Masih banyak dari kita yang terbiasa membuang sampah sembarangan—bungkus makanan yang dilempar begitu saja ke trotoar, botol minuman yang ditinggalkan di kursi umum, atau bahkan kasur rusak yang dibuang ke sungai.
Kebiasaan ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar, tetapi juga di desa-desa, di mana seharusnya kita lebih dekat dengan alam dan lingkungan yang bersih.
Baca juga: NASA Gelar Kompetisi Daur Ulang Sampah Luar Angkasa, Siapkan Hadiah Sebesar US$3 Juta
Sungai yang Berubah Jadi Tempat Sampah
Salah satu contoh paling mencolok dari perilaku buruk ini adalah kondisi sungai-sungai kita. Sungai, yang seharusnya menjadi sumber kehidupan, kini kerap berfungsi sebagai tempat pembuangan sampah raksasa. Contoh paling mencolok adalah Sungai Citarum yang pernah dinobatkan sebagai salah satu sungai paling tercemar di dunia. Sampah plastik, logam, dan limbah rumah tangga mengalir bebas di sana, merusak ekosistem dan mencemari air yang seharusnya dapat dimanfaatkan.
Pemandangan serupa juga terlihat di jalan-jalan umum. Tumpukan sampah liar bermunculan di berbagai sudut kota, dari trotoar hingga taman kota. Meskipun berbagai aturan tegas telah diterapkan, lengkap dengan ancaman denda bagi pelanggar, perilaku membuang sampah sembarangan tetap berlangsung. Spanduk peringatan yang dipasang di berbagai tempat seolah hanya menjadi pajangan yang diabaikan oleh masyarakat.
Indonesia: Salah Satu Penghasil Sampah Terbesar Dunia
Fakta yang lebih memprihatinkan, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara penghasil sampah terbesar di dunia. Menurut laporan *United Nations Environment Programme (UNEP)* dalam *Food Waste Index Report 2024*, Indonesia berada di peringkat delapan dengan estimasi produksi sampah mencapai 14,73 juta ton per tahun. Meskipun tidak berada di posisi teratas, angka ini tetap menjadi peringatan serius bagi kita semua.
Lebih ironis lagi, dalam daftar negara-negara paling bersih di dunia, Indonesia bahkan tidak masuk dalam sepuluh besar. Negara-negara Eropa yang memiliki budaya disiplin dalam pengelolaan sampah justru mendominasi daftar tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kebersihan bukan hanya soal aturan, tetapi juga soal budaya dan disiplin masyarakat.
Gerakan Sosial yang Hanya Sementara
Upaya untuk mengatasi masalah ini memang ada. Beberapa tahun terakhir, berbagai komunitas anak muda sering mengadakan gerakan sosial seperti aksi bersih-bersih pantai atau sungai. Sayangnya, dampak dari kegiatan ini sering kali hanya bersifat sementara. Tak lama setelah aksi selesai, tempat-tempat yang sudah dibersihkan kembali dipenuhi sampah, seolah kesadaran lingkungan hanya bertahan sekejap.
Di sinilah kita harus mempertanyakan, mengapa perubahan perilaku ini sulit bertahan? Apakah masalah ini murni soal perilaku individu, atau ada faktor lain yang lebih mendasar seperti budaya, penegakan aturan, dan trauma masa lalu yang mempengaruhi cara kita melihat kebersihan?
Penegakan Aturan yang Lemah
Aturan mengenai pengelolaan sampah sebenarnya sudah ada. Pemerintah telah menetapkan peraturan yang melarang pembuangan sampah sembarangan, bahkan disertai ancaman denda. Namun, apakah aturan ini benar-benar ditegakkan? Banyak yang beranggapan bahwa di Indonesia, aturan sering kali hanya berlaku di atas kertas. Penegakan hukum yang lemah, ditambah dengan budaya kompromi yang masih kuat, membuat banyak pelanggaran dibiarkan begitu saja.
Peneliti BRIN, Wahyu Purwanta, dalam paparannya berjudul Pengelolaan Sampah di Indonesia, Tantangan dan Harapan mengungkapkan bahwa dari 41 juta ton sampah yang terkumpul dari 149 kota dan kabupaten di Indonesia, hanya 43 persen yang berhasil dikelola.
Artinya, lebih dari setengah sampah yang dihasilkan tidak terkelola dengan baik. Salah satu masalah terbesar adalah rendahnya kesadaran masyarakat dalam memilah sampah dari rumah. Wahyu mencatat bahwa 80 persen masyarakat Indonesia masih tidak memilah sampah mereka, yang menjadi salah satu penyebab utama sulitnya pengelolaan sampah di negara ini.
Wahyu juga menyoroti bahwa meskipun pemerintah sudah memiliki berbagai undang-undang terkait pengelolaan sampah, implementasinya masih jauh dari ideal. Anggaran yang terbatas dan kurangnya prioritas terhadap isu lingkungan juga menjadi penghambat utama dalam upaya pengurangan dan pengelolaan sampah di Indonesia.
Kebersihan: Teori yang Masih Jauh dari Praktik
Kebersihan sebagai sebagian dari iman sering kali hanya menjadi slogan yang diucapkan tanpa benar-benar dipraktikkan. Masyarakat kita, meskipun mengaku religius, belum sepenuhnya memahami bahwa kebersihan adalah bagian integral dari ajaran agama. Banyak yang masih memandang kebersihan sebagai sesuatu yang sekunder, bukan sebagai prioritas utama yang mencerminkan keimanan seseorang.
Jika kita ingin melihat perubahan nyata dalam budaya kebersihan, sudah saatnya kita berhenti sekadar menghafal ajaran ini. Kita perlu mulai mengubah kebiasaan buruk, memperbaiki pola pikir, dan memastikan penegakan aturan berjalan dengan serius. Jangan sampai kita menjadi bangsa yang hanya bersih di lidah, tetapi kotor dalam tindakan.
Mulai dari Diri Sendiri
Perubahan harus dimulai dari diri kita masing-masing. Setiap individu bertanggung jawab untuk menjaga kebersihan, baik di lingkungan rumah, tempat kerja, maupun di ruang publik. Mari kita buktikan bahwa kita mampu menjadi bangsa yang tidak hanya bersih secara teori, tetapi juga dalam tindakan nyata. Dengan demikian, kita dapat mewariskan lingkungan yang lebih baik bagi generasi mendatang.
Baca juga: Survei: Polusi Udara, Krisis Air Bersih, dan Sampah Jadi Masalah Lingkungan Utama di Perkotaan
Editor: Puput Ady Sukarno
Namun, apakah ajakan-ajakan ini benar-benar dihayati dan dipraktikkan dalam kehidupan nyata? Sayangnya, realitas menunjukkan hal sebaliknya. Masih banyak dari kita yang terbiasa membuang sampah sembarangan—bungkus makanan yang dilempar begitu saja ke trotoar, botol minuman yang ditinggalkan di kursi umum, atau bahkan kasur rusak yang dibuang ke sungai.
Kebiasaan ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar, tetapi juga di desa-desa, di mana seharusnya kita lebih dekat dengan alam dan lingkungan yang bersih.
Baca juga: NASA Gelar Kompetisi Daur Ulang Sampah Luar Angkasa, Siapkan Hadiah Sebesar US$3 Juta
Sungai yang Berubah Jadi Tempat Sampah
Salah satu contoh paling mencolok dari perilaku buruk ini adalah kondisi sungai-sungai kita. Sungai, yang seharusnya menjadi sumber kehidupan, kini kerap berfungsi sebagai tempat pembuangan sampah raksasa. Contoh paling mencolok adalah Sungai Citarum yang pernah dinobatkan sebagai salah satu sungai paling tercemar di dunia. Sampah plastik, logam, dan limbah rumah tangga mengalir bebas di sana, merusak ekosistem dan mencemari air yang seharusnya dapat dimanfaatkan.
Pemandangan serupa juga terlihat di jalan-jalan umum. Tumpukan sampah liar bermunculan di berbagai sudut kota, dari trotoar hingga taman kota. Meskipun berbagai aturan tegas telah diterapkan, lengkap dengan ancaman denda bagi pelanggar, perilaku membuang sampah sembarangan tetap berlangsung. Spanduk peringatan yang dipasang di berbagai tempat seolah hanya menjadi pajangan yang diabaikan oleh masyarakat.
Indonesia: Salah Satu Penghasil Sampah Terbesar Dunia
Fakta yang lebih memprihatinkan, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara penghasil sampah terbesar di dunia. Menurut laporan *United Nations Environment Programme (UNEP)* dalam *Food Waste Index Report 2024*, Indonesia berada di peringkat delapan dengan estimasi produksi sampah mencapai 14,73 juta ton per tahun. Meskipun tidak berada di posisi teratas, angka ini tetap menjadi peringatan serius bagi kita semua.
Lebih ironis lagi, dalam daftar negara-negara paling bersih di dunia, Indonesia bahkan tidak masuk dalam sepuluh besar. Negara-negara Eropa yang memiliki budaya disiplin dalam pengelolaan sampah justru mendominasi daftar tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kebersihan bukan hanya soal aturan, tetapi juga soal budaya dan disiplin masyarakat.
Gerakan Sosial yang Hanya Sementara
Upaya untuk mengatasi masalah ini memang ada. Beberapa tahun terakhir, berbagai komunitas anak muda sering mengadakan gerakan sosial seperti aksi bersih-bersih pantai atau sungai. Sayangnya, dampak dari kegiatan ini sering kali hanya bersifat sementara. Tak lama setelah aksi selesai, tempat-tempat yang sudah dibersihkan kembali dipenuhi sampah, seolah kesadaran lingkungan hanya bertahan sekejap.
Di sinilah kita harus mempertanyakan, mengapa perubahan perilaku ini sulit bertahan? Apakah masalah ini murni soal perilaku individu, atau ada faktor lain yang lebih mendasar seperti budaya, penegakan aturan, dan trauma masa lalu yang mempengaruhi cara kita melihat kebersihan?
Penegakan Aturan yang Lemah
Aturan mengenai pengelolaan sampah sebenarnya sudah ada. Pemerintah telah menetapkan peraturan yang melarang pembuangan sampah sembarangan, bahkan disertai ancaman denda. Namun, apakah aturan ini benar-benar ditegakkan? Banyak yang beranggapan bahwa di Indonesia, aturan sering kali hanya berlaku di atas kertas. Penegakan hukum yang lemah, ditambah dengan budaya kompromi yang masih kuat, membuat banyak pelanggaran dibiarkan begitu saja.
Peneliti BRIN, Wahyu Purwanta, dalam paparannya berjudul Pengelolaan Sampah di Indonesia, Tantangan dan Harapan mengungkapkan bahwa dari 41 juta ton sampah yang terkumpul dari 149 kota dan kabupaten di Indonesia, hanya 43 persen yang berhasil dikelola.
Artinya, lebih dari setengah sampah yang dihasilkan tidak terkelola dengan baik. Salah satu masalah terbesar adalah rendahnya kesadaran masyarakat dalam memilah sampah dari rumah. Wahyu mencatat bahwa 80 persen masyarakat Indonesia masih tidak memilah sampah mereka, yang menjadi salah satu penyebab utama sulitnya pengelolaan sampah di negara ini.
Wahyu juga menyoroti bahwa meskipun pemerintah sudah memiliki berbagai undang-undang terkait pengelolaan sampah, implementasinya masih jauh dari ideal. Anggaran yang terbatas dan kurangnya prioritas terhadap isu lingkungan juga menjadi penghambat utama dalam upaya pengurangan dan pengelolaan sampah di Indonesia.
Kebersihan: Teori yang Masih Jauh dari Praktik
Kebersihan sebagai sebagian dari iman sering kali hanya menjadi slogan yang diucapkan tanpa benar-benar dipraktikkan. Masyarakat kita, meskipun mengaku religius, belum sepenuhnya memahami bahwa kebersihan adalah bagian integral dari ajaran agama. Banyak yang masih memandang kebersihan sebagai sesuatu yang sekunder, bukan sebagai prioritas utama yang mencerminkan keimanan seseorang.
Jika kita ingin melihat perubahan nyata dalam budaya kebersihan, sudah saatnya kita berhenti sekadar menghafal ajaran ini. Kita perlu mulai mengubah kebiasaan buruk, memperbaiki pola pikir, dan memastikan penegakan aturan berjalan dengan serius. Jangan sampai kita menjadi bangsa yang hanya bersih di lidah, tetapi kotor dalam tindakan.
Mulai dari Diri Sendiri
Perubahan harus dimulai dari diri kita masing-masing. Setiap individu bertanggung jawab untuk menjaga kebersihan, baik di lingkungan rumah, tempat kerja, maupun di ruang publik. Mari kita buktikan bahwa kita mampu menjadi bangsa yang tidak hanya bersih secara teori, tetapi juga dalam tindakan nyata. Dengan demikian, kita dapat mewariskan lingkungan yang lebih baik bagi generasi mendatang.
Baca juga: Survei: Polusi Udara, Krisis Air Bersih, dan Sampah Jadi Masalah Lingkungan Utama di Perkotaan
Editor: Puput Ady Sukarno
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.