Yayasan Topeng Mimi Rasinah saat beraksi di Festival Budaya Panji di Gedung Kesenian Jakarta pada Rabu, (23/10/24) (Sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)

Mengungkai Ragam Kisah Panji, yang Nyatanya Bukan Hanya Kisah Romansa Cinta

24 October 2024   |   14:38 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Semerbak dupa dan aroma mawar menguar dari Gedung Kesenian Jakarta, pada Rabu (23/10/24) malam. Ratusan orang duduk tersihir di bangku penonton. Musik berkelonengan dengan suara menghentak. Di atas panggung, sejumlah penari dengan ritmis bergerak. Kadang kaku, kadang luwes.

Yayasan Topeng Mimi Rasinah menjadi pembuka gelaran hari kedua, festival Budaya Panji (FBP) 2024. Grup tari tradisi asal Indramayu, Jawa Barat, itu membawakan lakon bertajuk Ritus Tari Topeng, yang diambil dari khasanah cerita Panji, dengan pendekatan artistik yang lebih inovatif.

Rani Pitriyah, salah satu penari utama, tampil trengginas selama pertunjukan berlangsung. Dengan likat tubuhnya meliuk ke sana ke mari, mengikuti suara gamelan, kendang, dan dalang. Namun, sesekali dia hanya berdiri meregangkan kaki, meski tangannya bergerak mengikuti ritme nayaga.

Baca juga: Ragam Kisah Panji Siap Diekspresikan dengan Cara Baru di Festival Budaya Panji 2024

"Kami berangkat dari topeng Indramayu, tapi pada FBP kali ini kita mencari titik temu ragam gerak [tari topeng] dengan keterbatasan durasi. Ini dilakukan agar pesan yang disampaikan sampai dengan durasi setengah jam, meski aslinya 3 jam," kata Epi Supriadi, cucu dari Mimi Rasinah yang bermain sebagai pemusik. 

 

aag

Komunitas Topeng Ghulur (Sumenep) yang membawakan lakon Re-ritus dalam Festival Budaya Panji di Gedung Kesenian Jakarta pada Rabu, (23/10/24) (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)

Tak sampai sepeminuman teh setelah aksi Ritus Tari Topeng, pengunjung juga dibuat menganga lewat aksi Komunitas Topeng Ghulur (Sumenep) yang membawakan lakon Re-ritus. Pertunjukan ini, secara umum mengangkat kembali ritus Topeng Ghulur sebagai representasi budaya agraris di Masyarakat Madura.

Pertunjukan dibuka dengan musik didgeridoo. Arkian, tiga orang keluar sembari memikul nanggala, alat bajak sawah tradisional di Madura. Pada masanya, Tari topeng Ghulur memang digunakan masyarakat di Pulau Garam, itu sebagai ritual untuk memanggil hujan saat kemarau panjang menghadang, hingga ucapan rasa syukur.
 
Anwari, pendamping dari Sanggar Maestro Topeng Ghulur Ji Hanan, mengatakan topeng ghulur merupakan ritual dari Desa Larangan Barma Batuputih Kabupaten Sumenep. Kata Ghulur uang berarti bergulingan ke tanah, menjadi simbol keterhubungan antara manusia dengan tanah dan langit.

"Fungsi dari ritus ini adalah saat musim kemarau berkepanjangan berlangsung d Madura. Sebab, di sana mata air itu lumayan jauh dan pengeboran sumur bisa mencapai sekitar 90 meter. Topeng ghulur ini juga bisa dilakukan saat panen, di mana masyarakat membawa hasil panen, tapi kemudian dibagi secara acak," katanya.

Rentetan visual yang ciamik juga berlanjut. Terlebih saat Sanggar Albainyuri dari Banjarmasin, membawakan lakon Panji Matan Banyiur, Panji dari Banyiur. Berbeda dari dua pertunjukkan sebelumnya, Sanggar yang didirikan oleh Datu Haji Ujang, itu justru membawakan kisah 'carangan' Panji dengan pendekatan yang berbeda.

 

aag

Sanggar Albainyuri dari Banjarmasin, membawakan lakon Panji Matan Banyiur, dalam Festival Budaya Panji di Gedung Kesenian Jakarta pada Rabu, (23/10/24) (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)


Keunikan dari ritus manopeng ini adalah lebih banyak bernafaskan keislaman, serta bernuansa melayu. Prosesinya bermula dari keluarga yang melabuh, makan wajik, dan menghamparkan 41 sesaji untuk para leluhur. Kemudian, pemimpin ritual akan membagikan topeng-topeng yang berbeda karakter pada setiap penari.

Ritus ini diakhiri dengan munculnya Penthul dan Tembem, sebagai mediasi antara yang zuriat, dan leluhur yang dipercaya telah menjaga kerukunan kampung. setelahnya, munculah batara kala, yang dikisahkan sebagai anak Adam-Hawa yang membelot merasuki salah satu pemain, dan disembuhkan dengan kalimat syahadat.

"Panji Matan Banyiur itu artinya Panji dari banyiur. Ini merupakan ritual di Banjarmasin yang masuk lewat akulturasi dari  Jawa terutama pada era Demak. Ini untuk topeng pengobatan, dan ritual bersih kampung yang kami lakukan setiap tahun pada bulan Muharram setiap malam senin," kata Ferdi Irawan, sutradara Sanggar Albanyiuri.

Kisah Panji Mencari Obat

Selama ini, kisah Panji yang lazim diketahui publik mungkin hanya berfokus mengenai kisah percintaannya dengan Dewi Sekartaji. Namun, nyatanya ada secuplik kisah lain yang memberi pengetahuan baru, tentang sisi lain dirinya sebagai paricaraka, atau atau sosok yang dikenal sebagai ahli pengobatan.

Visual tersebut terejawantah dalam lakon Panji Paricaraka yang dibawakan oleh Padepokan Mangun Dharma, asal Malang, Jawa Timur. Kisah dari lakon ini diangkat dari prasasti Pabanolan (1381 M) yang ditemukan di Desa Gubuk Klakah, Poncokusumo, Malang, yang kini prasastinya disimpan di Museum Nasional Indonesia.

Berbeda dari tiga pertunjukan sebelumnya, kara penutup pada gelaran kedua itu juga lebih bernarasi. Sebab, alur ceritanya diceritakan langsung oleh Ki Soleh Adi Pramono, yang bertugas sebagai dalang, yang mengatur jalannya cerita, dengan pola yang ekspresif, terstruktur, dan penuh canda.
 

ahah

Padepokan Mangun Dharma membawakan lakon Panji Paricaraka dalam Festival Budaya Panji di Gedung Kesenian Jakarta pada Rabu, (23/10/24) (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)


Lakon Panji Paricaraka mengisahkan tentang Ki Gedhe Gunungsari, yang berkelana mencari obat hingga ke negeri seberang untuk ibundanya tercinta. Syahdan, dia bertemu seorang lanun di tengah lautan, dan diajak berkelahi dan akhirnya menang. Arkian, para perompak itu mengantarnya ke seorang tabib terkenal  bernama Juru Kurung.

Penempatan Panji Paricaraka sebagai lakon penutup juga memberi impresi yang lebih luas pada penonton. Berbeda dari tiga pertunjukan sebelumnya yang lebih bersifat visual dan mengedepankan bebunyian, cerita terakhir ini justru memberi sudut pandang baru, bahwa kisah Panji terus bermetamorfosa menjadi lakon-lakon minor yang terus tumbuh.

Secara umum, jika ada kritik yang perlu ada dari empat pementasan kisah Panji yang ada di berbagai daerah itu adalah keberjarakan antara penampil dan penonton. Padahal, dalam pertunjukan aslinya, sebagai sebuah ritus atau tari tradisi, berbagai kisah ini dihadirkan dengan mata sejajar dari penonton, bahkan kadangkala ada interaksi langsung antara mereka.

"Kisah Panji ini masih memiliki banyak peluang untuk digali, seperti Panji Margasmara yang  mengisahkan keturunan dari Arya Gegelang, dan kekasihnya Ken Candrasari, seorang putri Arya Singhasari. Lain dari itu ada juga lakon-lakon minor lain yang perlu dieksplorasi lebih lanjut," kata dalang Ki Soleh Adi Pramono.

Baca juga: Rangkaian Kreasi Baru Para Seniman Tradisi Bakal Hadir di Festival Budaya Panji 2024

Editor: Puput Ady Sukarno
 

SEBELUMNYA

Waspada! Trojan Perbankan Grandoreiro Berevolusi Jadi Versi Ini

BERIKUTNYA

Mimpi Indonesia Bersih, Mengapa Kesadaran Lingkungan Sulit Bertahan?

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: