Rekam Jejak Sejarah Repatriasi Cagar Budaya Indonesia-Belanda
16 October 2024 |
08:00 WIB
Repatriasi benda bersejarah Indonesia-Belanda terus menunjukkan progresivitas. Terbaru, tim repatriasi Indonesia di Belanda berhasil memulangkan 84 benda cagar budaya ke Tanah Air, yang sebagian di antaranya dipamerkan di Museum Nasional Indonesia (MNI) mulai 15 Oktober 2024.
Sejumlah arca dalam berbagai pose terpacak di Gedung C, MNI dengan sorot lampu mengarah ke mereka. Salah satu yang memikat para wartawan - dalam sesi Media Tour - pada Jumat (11/10/24) adalah arca Nandi 'tersenyum', wahana Dewa Siwa berwujud seekor sapi yang sedang duduk menggelesor di atas tanah.
Nandi merupakan 1 dari 9 arca yang dipamerkan dalam pameran Repatriasi, Kembalinya Warisan Budaya dan Pengetahuan Nusantara. Arca candi era Singhasari itu, dipulangkan ke Indonesia pada akhir September 2024, setelah berabad-abad tersimpan di Museum Belanda sejak era kolonialisme.
Baca juga: Menikmati Wajah & Program Baru Museum Nasional Indonesia
Ada juga arca Prajnaparamita yang melambangkan kesempurnaan dalam kebijaksanaan. Arca yang dikembalikan ke Indonesia pada 1978 ini menggambarkan sosok dewi yang duduk di atas lapik padma (teratai), dalam sikap dharmacakra, atau mengajarkan kebenaran.
Penanggung Jawab Unit Museum Nasional Indonesia, Ni Luh Putu Chandra Dewi mengatakan bahwa kembalinya benda cagar budaya ke Tanah Air diharapkan dapat memberikan kesempatan pada publik untuk mempelajari sejarah Indonesia, serta menguatkan jati diri kebudayaan Indonesia.
“Tata pamer Pameran Repatriasi akan berganti secara berkala dengan durasi pameran selama tiga bulan sekali. Hal ini dilakukan agar publik juga dapat mengetahui lebih dalam, narasi masing-masing koleksi yang telah pulang," katanya.
Arkian, pada 1965, Belanda-Indonesia sepakat mengembalikan benda bersejarah ke Tanah Air. Lima tahun kemudian, Ratu Juliana secara simbolis mengembalikan naskah Negarakertagama pada Presiden Soeharto. Namun, keropak karya Mpu Prapanca itu baru tiba di Indonesia pada 1972.
Empat dekade berselang, Belanda mengembalikan tongkat Kiai Cokro milik Pangeran Diponegoro, yakni pada 2015. Momen tersebut menandai 40 tahun berselang sejak otoritas Negeri Kincir Angin mengembalikan 380 benda etnografi Papua pada 1975, ratusan benda budaya Indonesia pada 1978.
Upaya repatriasi ini semakin gencar dilakukan oleh kedua negara. Terutama saat Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, menyerahkan keris Bugis emas pada Presiden Joko Widodo pada 2016. Setahun kemudian, kedua negara menandatangani nota kesepahaman teknis proses penyerahan benda bersejarah pada 13 Februari 2017.
Berangkat dari perjanjian itulah, secara bertahap Indonesia-Belanda terus memulangkan benda cagar budaya ke Tanah Air. Pada 2018 misalnya, sebanyak 1.500 benda budaya dipulangkan dari Museum Nusantara Delft. Kemudian, pada 2023, Belanda menandatangani kesepakatan 472 koleksi asal Indonesia untuk dipulangkan ke Tanah Air.
Beberapa koleksi dari hasil repatriasi itu juga sempat dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia (GNI) pada 28 November-10 Desember 2023, yakni dalam seteleng bertajuk Repatriasi: Kembalinya Saksi Bisu Peradaban Nusantara, yang total menghadirkan 152 benda-benda bersejarah Nusantara.
Hilmar juga menyoroti peran vital MNI sebagai standar baru bagi permuseuman di Indonesia dengan fasilitas modern, pameran interaktif, dan pengalaman edukatif. "Tidak ada alasan lagi untuk tidak kita lakukan. Ubah wajah dan programnya dengan dibuat lebih menarik. Karena pada akhirnya harus ada keterlibatan publik dalam mengaktivasi museum ini," katanya.
Selaras, Anggota Tim Repatriasi Koleksi Indonesia di Belanda, Sri Margana berharap, setelah proses repatriasi, akan ada juga tindak lanjut untuk melakukan penelitian dan penulisan. Terutama mengenai fungsi, nilai, dan konteks historis dari benda-benda tersebut, sehingga nilai tentang identitas kebangsaan dan kebanggaan nasional bisa segera terpenuhi.
Momen setelah repatriasi inilah menurutnya yang justru menjadi tantangan bagi negara dan stakeholder terkait. Sebab, jika tidak ditindaklanjuti dengan riset oleh ilmuwan, sejarawan, arkeolog, dan filolog Tanah Air, maka tidak akan ada produksi pengetahuan baru, sehingga cita-cita awal repatriasi hanya akan menjadi kejumudan.
"Sekarang kita sudah mampu untuk melakukan itu. Yang harus diperlukan justru menurut saya pemerintah Indonesia masih kurang agresif. Karena malah yang banyak inisiatif kan Belanda. Jadi kita harus menindaklanjuti dengan lebih agresif lagi," ujarnya.
Baca juga: Pameran Temporer Museum Nasional Indonesia Tampilkan 9 Arca Era Singhasari
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Sejumlah arca dalam berbagai pose terpacak di Gedung C, MNI dengan sorot lampu mengarah ke mereka. Salah satu yang memikat para wartawan - dalam sesi Media Tour - pada Jumat (11/10/24) adalah arca Nandi 'tersenyum', wahana Dewa Siwa berwujud seekor sapi yang sedang duduk menggelesor di atas tanah.
Nandi merupakan 1 dari 9 arca yang dipamerkan dalam pameran Repatriasi, Kembalinya Warisan Budaya dan Pengetahuan Nusantara. Arca candi era Singhasari itu, dipulangkan ke Indonesia pada akhir September 2024, setelah berabad-abad tersimpan di Museum Belanda sejak era kolonialisme.
Baca juga: Menikmati Wajah & Program Baru Museum Nasional Indonesia
Arca Nandi 'Tersenyum' di Museum Nasional Indonesia (MNI), Jakarta, Jumat (11/10/2024). (Sumber gambar: Hypeabis.id/Arief Hermawan P)
Penanggung Jawab Unit Museum Nasional Indonesia, Ni Luh Putu Chandra Dewi mengatakan bahwa kembalinya benda cagar budaya ke Tanah Air diharapkan dapat memberikan kesempatan pada publik untuk mempelajari sejarah Indonesia, serta menguatkan jati diri kebudayaan Indonesia.
“Tata pamer Pameran Repatriasi akan berganti secara berkala dengan durasi pameran selama tiga bulan sekali. Hal ini dilakukan agar publik juga dapat mengetahui lebih dalam, narasi masing-masing koleksi yang telah pulang," katanya.
Bermula dari Keropak Negarakertagama
Jauh sebelum 9 arca era Singhasari itu dipamerkan di MNI, beberapa founding fathers juga telah menyuarakan isu repatriasi. Salah satunya adalah M. Yamin yang merintis upaya pengembalian benda bernilai sejarah dan budaya Indonesia di belanda sejak 1951.Arkian, pada 1965, Belanda-Indonesia sepakat mengembalikan benda bersejarah ke Tanah Air. Lima tahun kemudian, Ratu Juliana secara simbolis mengembalikan naskah Negarakertagama pada Presiden Soeharto. Namun, keropak karya Mpu Prapanca itu baru tiba di Indonesia pada 1972.
Empat dekade berselang, Belanda mengembalikan tongkat Kiai Cokro milik Pangeran Diponegoro, yakni pada 2015. Momen tersebut menandai 40 tahun berselang sejak otoritas Negeri Kincir Angin mengembalikan 380 benda etnografi Papua pada 1975, ratusan benda budaya Indonesia pada 1978.
Naskah lontar Nagarakretagama (sumber gambar: Wikimedia/Alteaven)
Berangkat dari perjanjian itulah, secara bertahap Indonesia-Belanda terus memulangkan benda cagar budaya ke Tanah Air. Pada 2018 misalnya, sebanyak 1.500 benda budaya dipulangkan dari Museum Nusantara Delft. Kemudian, pada 2023, Belanda menandatangani kesepakatan 472 koleksi asal Indonesia untuk dipulangkan ke Tanah Air.
Beberapa koleksi dari hasil repatriasi itu juga sempat dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia (GNI) pada 28 November-10 Desember 2023, yakni dalam seteleng bertajuk Repatriasi: Kembalinya Saksi Bisu Peradaban Nusantara, yang total menghadirkan 152 benda-benda bersejarah Nusantara.
Produksi Pengetahuan Baru
Direktur Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek RI, Hilmar Farid, mengatakan ihwal dari repatriasi bukan sekadar mengembalikan benda cagar budaya. Akan tetapi, diperlukan juga proses untuk menarasikan dan memproduksi kembali pengetahuan tersebut seturut zaman, sebagai bentuk tanggung jawab pada publik.Hilmar juga menyoroti peran vital MNI sebagai standar baru bagi permuseuman di Indonesia dengan fasilitas modern, pameran interaktif, dan pengalaman edukatif. "Tidak ada alasan lagi untuk tidak kita lakukan. Ubah wajah dan programnya dengan dibuat lebih menarik. Karena pada akhirnya harus ada keterlibatan publik dalam mengaktivasi museum ini," katanya.
Sejumlah wartawan mengamati koleksi repatriasi saat press tour di Museum Nasional Indonesia (MNI), Jakarta, Jumat (11/10/2024). (Sumber gambar: Hypeabis.id/Arief Hermawan P)
Momen setelah repatriasi inilah menurutnya yang justru menjadi tantangan bagi negara dan stakeholder terkait. Sebab, jika tidak ditindaklanjuti dengan riset oleh ilmuwan, sejarawan, arkeolog, dan filolog Tanah Air, maka tidak akan ada produksi pengetahuan baru, sehingga cita-cita awal repatriasi hanya akan menjadi kejumudan.
"Sekarang kita sudah mampu untuk melakukan itu. Yang harus diperlukan justru menurut saya pemerintah Indonesia masih kurang agresif. Karena malah yang banyak inisiatif kan Belanda. Jadi kita harus menindaklanjuti dengan lebih agresif lagi," ujarnya.
Baca juga: Pameran Temporer Museum Nasional Indonesia Tampilkan 9 Arca Era Singhasari
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.