Papan Tulis Hitam Jumadil Alfi & Kisah-Kisah yang Tak Berkesudahan
05 October 2024 |
21:05 WIB
Dalam rentang 20 tahun terakhir, lukisan papan tulis hitam telah menjadi signature dari seniman Jumaldi Alfi. Lewat karya tersebut, Alfi mencoba mengetengahkan kembali apa-apa yang tengah mengusik isi kepalanya saat itu juga. Inilah yang membuat lukisan papan tulis hitamnya tampil sangat beragam.
Alfi yang lahir di Lintang, Sumatra Barat merupakan salah satu seniman yang memiliki jejak penting dalam seni rupa kontemporer Indonesia. Bersama kelompok seni rupa Jendela, dia mendapat perhatian internasional pada akhir dekade 90-an, terutama sebagai seniman yang berfokus pada eksplorasi estetika dan material.
Baca juga: Eksplorasi Seni Syaiful Garibaldi dalam Karya Antara Muara di Art Jakarta 2024
Kini, jejak-jejaknya dalam lintasan seni rupa kontemporer Indonesia, terutama soal ciri khas lukisan papan tulisnya diabadikan dalam sebuah buku bertajuk Jumaldi Alfi: Kisah-Kisah yang Tak Berkesudahan.
Buku yang diterbitkan oleh D Gallerie ini berisi empat esai dari empat penulis berbeda. Tiga di antaranya berasal dari penulis mancanegara, yakni Astrid Honold, Michal Ron, dan Thomas J Berghuis. Satu penulis terakhir dari Indonesia, yakni Heru Joni Putra.
Dalam buku ini, empat penulis akan merentangkan seni lukis papan tulis ke dalam babak-babak berbeda. Pembaca akan mendalami gagasan dan kisah-kisah menarik dari ekspresi seni yang ditawarkan seniman kelahiran 1973 tersebut.
Pemilik D Gallerie Esti Nurjadin mengatakan seri papan tulis Alfi merupakan satu ekspresi yang menarik dalam seni kontemporer modern Indonesia. Meski menjadi satu diskursus penting, lanjutnya, belum ada satu buku yang coba membedah hal tersebut.
Menurut Esti, tulisan-tulisan mengenai lukisan papan tulis tersebut telah banyak dibuat. Namun, semuanya terpisah. Lewat buku ini, dirinya ingin tulisan-tulisan itu menjadi satu kesatuan sehingga perbincangan yang muncul bisa lebih komprehensif.
“Empat penulis di dalam buku ini akan menjelaskan lukisan papan tulis dari rentang masa berbeda dan bagaimana bentuk ini terus relevan hingga sekarang. Buku ini akan menjadi legacy Alfi,” ucapnya dalam Book Discussion: “Jumaldi Alfi: Kisah-Kisah yang Tak Berkesudahan” di Art Jakarta, Sabtu (5/10/2024).
Salah satu penulis, Heru Joni Putra mengatakan ketika terlibat dalam menulis buku ini, ada satu hal yang terlintas di kepalanya. Buku ini mesti akan disusun dalam waktu yang cukup lama.
Untuk menulisnya saja, Heru membutuhkan sekitar 3 bulan lamanya. Pasalnya, bukan hal mudah untuk merangkum dan menggali apa yang tertuang dalam lukisan papan tulis yang dieksiskan oleh Alfi sekitar dua dekade lalu.
Yang menarik, lanjutnya, meski telah menjadi ciri khas Alfi, sang seniman tak serta merta membuat lukisan papan tulis berseri begitu saja. Sang seniman pun tak juga membuatnya setiap tahun. “Jadi, dalam rentang 20 tahun itu, kemunculannya cukup acak. Gejala itu yang perlu saya pahami dulu,” imbuhnya.
Dalam menulis buku ini, Heru bekerja sama dengan tiga penulis lain dari mancanegara. Tulisan-tulisan ketiganya lebih banyak mengetengahkan karya Alfi ke panggung kontemporer dunia.
Menurut Heru, bentuk papan tulis yang cenderung universal dan ada di banyak negara memang membuat gagasan maupun metafora yang coba disampaikan Alfi bisa diterima oleh publik yang lebih luas.
Namun, sebagai satu-satunya penulis Indonesia, Heru mencoba menyajikan satu pandangan berbeda. Dia mencoba mengetengahkan karya Alfi ini ke dalam konteks sejarah Indonesia.
“Papan tulis hitam jelas punya hal spesial. Ada banyak intelektual besar Indonesia yang punya kenangan dengan papan tulis hitam. Ini adalah simbol melawan dengan pengetahuan,” tuturnya.
Heru berpandangan, papan tulis hitam ini menjadi semacam medium berbagi pengetahuan. Para intelektual Indonesia dulu melakukan itu. Mereka belajar dari Barat, untuk melawan dengan pengetahuan, tetapi tidak anti Barat juga.
Menurutnya, semangat itu juga muncul dalam banyak metafora yang coba ditunjukan Alfi dalam lukisan papan tulis hitam. Dia pun merentangkan lukisan papan tulis ini ke lebih banyak hal, dari pemandangan, kata-kata, hingga belakangan abstrak.
“Lukisan papan tulis ini menjadi semacam platform. Kemunculannya selalu menjadi penanda tertentu juga suara-suara dari Alfi,” kata Heru.
Lebih kurang dalam dua dekade terakhir ini, Alfi menunjukkan upaya menarik untuk memperluas makna penting papan tulis sebagai salah satu medium yang digunakan dalam proses menjadi Indonesia. Tentu, di tengah pergaulan dengan bangsa lain juga.
Pada mulanya, papan tulis muncul sebagai objek lukisan di beberapa karya dalam serial Postcard from the Past (2005). Lukisan papan tulis hitam muncul kembali secara konseptual pada serial Colour Guide Series (2007) hingga kini dalam pameran Never Ending Stories (2024) pun demikian.
Seniman Jumadil Alfi mengatakan lukisan papan tulis muncul karena sebelum menjadi pelukis, dirinya terlebih dahulu ingin jadi sejarawan. Bacaan sejarah telah menjadi bagian dalam tumbuh kembangnya dari kecil hingga sekarang.
Selain sejarah, dirinya pun tertarik dengan dunia penulisan. Namun, dia sadar punya masalah dalam mengatur fokus dan kontekstual lain. Lewat seni rupalah, dirinya kemudian menggunakan bahasa yang lebih luas lagi untuk menuangkan hal-hal yang disukainya.
Baca juga: Mengungkai Karya Ganjel Tisna Sanjaya, Instalasi Seni Jadi Medium Kritik Sosial di Art Jakarta 2024
Diakui olehnya, Alfi sempat ingin berhenti membuat karya serial lukisan papan lukis hitam (blackboard). Sebagai perupa, Alfi ingin mencoba menghindari cap sebagai 'pelukis blackboard'.
Dia mencoba mencari bentuk lain untuk bisa menjadi medium dalam menyampaikan ide dan aspirasinya dalam karya-karyanya. Namun, pada akhirnya, papan tulis tetap dimunculkan, terutama ketika dirinya merasa hanya itu platform yang paling pas untuk membahas isu-isu khusus.
Editor: Fajar Sidik
Alfi yang lahir di Lintang, Sumatra Barat merupakan salah satu seniman yang memiliki jejak penting dalam seni rupa kontemporer Indonesia. Bersama kelompok seni rupa Jendela, dia mendapat perhatian internasional pada akhir dekade 90-an, terutama sebagai seniman yang berfokus pada eksplorasi estetika dan material.
Baca juga: Eksplorasi Seni Syaiful Garibaldi dalam Karya Antara Muara di Art Jakarta 2024
Kini, jejak-jejaknya dalam lintasan seni rupa kontemporer Indonesia, terutama soal ciri khas lukisan papan tulisnya diabadikan dalam sebuah buku bertajuk Jumaldi Alfi: Kisah-Kisah yang Tak Berkesudahan.
buku bertajuk Jumaldi Alfi: Kisah-Kisah yang Tak Berkesudahan. (Sumber gambar: Hypeabis.id/Abdurachman)
Buku yang diterbitkan oleh D Gallerie ini berisi empat esai dari empat penulis berbeda. Tiga di antaranya berasal dari penulis mancanegara, yakni Astrid Honold, Michal Ron, dan Thomas J Berghuis. Satu penulis terakhir dari Indonesia, yakni Heru Joni Putra.
Dalam buku ini, empat penulis akan merentangkan seni lukis papan tulis ke dalam babak-babak berbeda. Pembaca akan mendalami gagasan dan kisah-kisah menarik dari ekspresi seni yang ditawarkan seniman kelahiran 1973 tersebut.
Pemilik D Gallerie Esti Nurjadin (Sumber gambar: Hypeabis.id/Abdurachman)
Pemilik D Gallerie Esti Nurjadin mengatakan seri papan tulis Alfi merupakan satu ekspresi yang menarik dalam seni kontemporer modern Indonesia. Meski menjadi satu diskursus penting, lanjutnya, belum ada satu buku yang coba membedah hal tersebut.
Menurut Esti, tulisan-tulisan mengenai lukisan papan tulis tersebut telah banyak dibuat. Namun, semuanya terpisah. Lewat buku ini, dirinya ingin tulisan-tulisan itu menjadi satu kesatuan sehingga perbincangan yang muncul bisa lebih komprehensif.
“Empat penulis di dalam buku ini akan menjelaskan lukisan papan tulis dari rentang masa berbeda dan bagaimana bentuk ini terus relevan hingga sekarang. Buku ini akan menjadi legacy Alfi,” ucapnya dalam Book Discussion: “Jumaldi Alfi: Kisah-Kisah yang Tak Berkesudahan” di Art Jakarta, Sabtu (5/10/2024).
Salah satu penulis, Heru Joni Putra (Sumber gambar: Hypeabis.id/Abdurachman)
Salah satu penulis, Heru Joni Putra mengatakan ketika terlibat dalam menulis buku ini, ada satu hal yang terlintas di kepalanya. Buku ini mesti akan disusun dalam waktu yang cukup lama.
Untuk menulisnya saja, Heru membutuhkan sekitar 3 bulan lamanya. Pasalnya, bukan hal mudah untuk merangkum dan menggali apa yang tertuang dalam lukisan papan tulis yang dieksiskan oleh Alfi sekitar dua dekade lalu.
Yang menarik, lanjutnya, meski telah menjadi ciri khas Alfi, sang seniman tak serta merta membuat lukisan papan tulis berseri begitu saja. Sang seniman pun tak juga membuatnya setiap tahun. “Jadi, dalam rentang 20 tahun itu, kemunculannya cukup acak. Gejala itu yang perlu saya pahami dulu,” imbuhnya.
Dalam menulis buku ini, Heru bekerja sama dengan tiga penulis lain dari mancanegara. Tulisan-tulisan ketiganya lebih banyak mengetengahkan karya Alfi ke panggung kontemporer dunia.
Menurut Heru, bentuk papan tulis yang cenderung universal dan ada di banyak negara memang membuat gagasan maupun metafora yang coba disampaikan Alfi bisa diterima oleh publik yang lebih luas.
Namun, sebagai satu-satunya penulis Indonesia, Heru mencoba menyajikan satu pandangan berbeda. Dia mencoba mengetengahkan karya Alfi ini ke dalam konteks sejarah Indonesia.
“Papan tulis hitam jelas punya hal spesial. Ada banyak intelektual besar Indonesia yang punya kenangan dengan papan tulis hitam. Ini adalah simbol melawan dengan pengetahuan,” tuturnya.
Heru berpandangan, papan tulis hitam ini menjadi semacam medium berbagi pengetahuan. Para intelektual Indonesia dulu melakukan itu. Mereka belajar dari Barat, untuk melawan dengan pengetahuan, tetapi tidak anti Barat juga.
Menurutnya, semangat itu juga muncul dalam banyak metafora yang coba ditunjukan Alfi dalam lukisan papan tulis hitam. Dia pun merentangkan lukisan papan tulis ini ke lebih banyak hal, dari pemandangan, kata-kata, hingga belakangan abstrak.
“Lukisan papan tulis ini menjadi semacam platform. Kemunculannya selalu menjadi penanda tertentu juga suara-suara dari Alfi,” kata Heru.
Lebih kurang dalam dua dekade terakhir ini, Alfi menunjukkan upaya menarik untuk memperluas makna penting papan tulis sebagai salah satu medium yang digunakan dalam proses menjadi Indonesia. Tentu, di tengah pergaulan dengan bangsa lain juga.
Pada mulanya, papan tulis muncul sebagai objek lukisan di beberapa karya dalam serial Postcard from the Past (2005). Lukisan papan tulis hitam muncul kembali secara konseptual pada serial Colour Guide Series (2007) hingga kini dalam pameran Never Ending Stories (2024) pun demikian.
Seniman Jumadil Alfi (Sumber gambar: Hypeabis.id/Abdurachman)
Seniman Jumadil Alfi mengatakan lukisan papan tulis muncul karena sebelum menjadi pelukis, dirinya terlebih dahulu ingin jadi sejarawan. Bacaan sejarah telah menjadi bagian dalam tumbuh kembangnya dari kecil hingga sekarang.
Selain sejarah, dirinya pun tertarik dengan dunia penulisan. Namun, dia sadar punya masalah dalam mengatur fokus dan kontekstual lain. Lewat seni rupalah, dirinya kemudian menggunakan bahasa yang lebih luas lagi untuk menuangkan hal-hal yang disukainya.
Baca juga: Mengungkai Karya Ganjel Tisna Sanjaya, Instalasi Seni Jadi Medium Kritik Sosial di Art Jakarta 2024
Diakui olehnya, Alfi sempat ingin berhenti membuat karya serial lukisan papan lukis hitam (blackboard). Sebagai perupa, Alfi ingin mencoba menghindari cap sebagai 'pelukis blackboard'.
Dia mencoba mencari bentuk lain untuk bisa menjadi medium dalam menyampaikan ide dan aspirasinya dalam karya-karyanya. Namun, pada akhirnya, papan tulis tetap dimunculkan, terutama ketika dirinya merasa hanya itu platform yang paling pas untuk membahas isu-isu khusus.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.