Winter Is Coming Ala Tisna Sanjaya, Sebuah Refleksi Seni di Art Jakarta 2024
06 October 2024 |
07:52 WIB
Sepilihan karya Tisna Sanjaya di AJ Spot, Art Jakarta, JIEXPO Kemayoran, 4-6 Oktober 2024, memacak belasan lukisan, dan instalasi. Salah satu kesan yang diberikannya; pembuatnya ingin mengkritik situasi sosial, politik, dan kebudayaan, lewat bahasa rupa hari ini.
Tisna merupakan seniman yang besar di era Orde Baru. Situasi politik yang menggemblengnya itu, masih terasa pejal dan keras, lewat karya-karya yang dihidangkan di segmen ini. Dalam pandangannya, situasi tersebut kembali meruyak, sekaligus berbengkok dari cita-cita awal reformasi.
Baca juga: Mengintip Kolaborasi Mangmoel X Yudi Sulistyo di Art Jakarta 2024, Preview untuk Pameran di Jepang?
Winter is coming, jika merujuk pada serial epik Game of Thrones. Musim dingin mendekat, meskipun Indonesia tidak mengalami periode ini. Atau, mungkin juga, bisa meminjam istilah Kalabendu, sebuah jangka, yang sempat digulirkan oleh Ronggowarsito, pada dekade ke-18 sekian.
Musim dingin akan segera datang merupakan kredo dari House Stark, salah satu puak westeros di film Game of Thrones. Makna di balik kata-kata ini adalah peringatan untuk tetap waspada terus menerus. Sebab, kejadian yang menjadi marabahaya akan datang suatu saat, serta menghancurkan umat manusia.
Ada 16, atau hampir seluruh sketsa Tisna Sanjaya, menggambarkan adegan kolosal. Kelimun orang berjajar, berbaris, saling berebut. Dengan tubuh kerempeng, mereka mengelilingi mangkok raksasa yang berisi puluhan tengkorak kepala. Orang-orang tersebut, ada yang berteriak, menari, dan bergotong royong?
Di atas bejana besar, terdapat sosok ganjil. Dia berhidung panjang, sembari menggendong seorang bocah di pundak. Keduanya tertawa lepas, yang dengan sepatu lars, asyik berajojing. Semua bidang terisi penuh, bahkan hampir sebagian besar lukisan menggambarkan suasana ini, dengan warna, serta adegan berbeda.
Di balik karya ini, juga terdapat lukisan kecil berwarna. Sebuah panggung teater, di mana kedua sosok yang sama berdiri jejingkrakan di atas panggung. Ratusan orang asyik menge-gong-i, yang ditampilkan dalam bentuk siluet-siluet, sedangkan tangan-tangan raksasa dan jembalang mencoba keluar dari kerangkeng, hendak turut mengunyah kue.
Jika dilihat dari goresan-goresannya, Tisna tampak tidak ambil pusing untuk menggambarkan kesamaan adegan dengan kenyataan. Cara menggambar ini, terlihat seperti guratan emosional untuk menyalurkan energi yang dibuang di atas kanvas, laiknya anak kecil mencoreti tembok. Subjek sang seniman, yang ditampilkan melukis juga tampak dalam kelimun tersebut.
Berjenis-jenis keramaian tampak menghiasi seluruh lukisan Tisna. Apakah, itu seremoni, atau bentuk peringatan sang seniman bahwa kita akan memasuki kalabendu, Genhype bebas menafsirkannya sendiri. Namun, ada satu yang mungkin luput dari perhatian. Dalam salah satu gambarnya, Tisna juga menuliskan "Seni berputar-putar di situ saja ngga ke mana-mana".
Lain dari karya sebelumnya, kini wujud sang seniman ditampilkan tengah melukis seorang diri di luar arus keramaian. Sebuah bukit kerontang. Sebuah bukit kerontang dengan tumbuhan yang serba mati. Di atasnya, tampak sang subjek sedang mencoba memaknai riuh rendah realitas, lalu merefleksikannya di bidang kanvas, lewat goresan spiral.
Menimbang frasa yang menuliskan, seni hanya berputar di situ saja, menurut Tisna merupakan bentuk udar rasa, atau curahan hatinya sebagai seniman lewat bahasa rupa. Sebab, ketakutan telah membayang-bayangi sebagian besar entitas masyarakat. Kalabendu di depan mata, dan kehidupan tak akan baik-baik saja, jika tidak segera dikabarkan.
Menurut Tisna, dalam konteks hari ini, untuk dapat menyuarakan hati nurani, para seniman seperti sudah mengalami sensor. Baik self sensor, atau sensor lain dari ekosistem yang bersangkutan, seperti kurator, institusi, dan lain sebagainya. Inilah yang akhirnya, terefleksi dalam instalasinya lewat tulisan; "wilujeng sumping neo orba".
Dosen Seni Rupa, ITB Bandung, itu mengatakan, kesenian memiliki peran penting untuk menyuarakan hal tersebut. Kendati begitu, ada dekadensi di dunia seni rupa Indonesia, meski di sisi lain mulai banyak dihelat hajatan, hingga bursa seni di kota-kota besar Tanah Air yang terus bergeliat.
"Dalam konteks ekspresi ada situasi sosial politik yang begitu jelas di depan kita ini merupakan sesuatu yang tidak baik-baik saja. Namun, kurasi seperti takut untuk memasuki wilayah tersebut," katanya.
Bentuk resistensi untuk melawan ketakutan itu, kemudian terejawantah dalam instalasi Ganjel, yang menjadi inti karyanya. Yakni dengan menumpuk semua capaiannya selama 5 dekade lebih, bergelut sebagai akademisi dan seniman. Tak tanggung-tanggung, Tisna juga menjadikan SK teguran dari rektorat ITB, sebagai ganjel dari monumen di AJ Spot itu.
Surat teguran tersebut diberikan karena dia dianggap tidak netral sebagai ASN. Karya-karyanya yang selama ini banyak mengkritik perilaku lalim penguasa dijadikan alasan sanksi. Tisna bahkan sempat diskor satu tahun, karier seni dan akademiknya terhambat, kenaikan jabatan profesornya juga ditangguhkan.
"Ini ada dekadensi dalam pendidikan seni. Kalau dari segi banyaknya pameran, sebenarnya 'wah', tapi kurang bunyi. Momentum ini membutuhkan reaksi berbeda. Mulai dari bentuk, format, medium, dan berbagai hal lain, yang saya yakin kalau itu dipicu oleh koordinasi yang sangkil, pasti akan sampai untuk mengabarkan keadaan," katanya.
Baca juga: Eksplorasi Seni Syaiful Garibaldi dalam Karya Antara Muara di Art Jakarta 2024
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Tisna merupakan seniman yang besar di era Orde Baru. Situasi politik yang menggemblengnya itu, masih terasa pejal dan keras, lewat karya-karya yang dihidangkan di segmen ini. Dalam pandangannya, situasi tersebut kembali meruyak, sekaligus berbengkok dari cita-cita awal reformasi.
Baca juga: Mengintip Kolaborasi Mangmoel X Yudi Sulistyo di Art Jakarta 2024, Preview untuk Pameran di Jepang?
Winter is coming, jika merujuk pada serial epik Game of Thrones. Musim dingin mendekat, meskipun Indonesia tidak mengalami periode ini. Atau, mungkin juga, bisa meminjam istilah Kalabendu, sebuah jangka, yang sempat digulirkan oleh Ronggowarsito, pada dekade ke-18 sekian.
Musim dingin akan segera datang merupakan kredo dari House Stark, salah satu puak westeros di film Game of Thrones. Makna di balik kata-kata ini adalah peringatan untuk tetap waspada terus menerus. Sebab, kejadian yang menjadi marabahaya akan datang suatu saat, serta menghancurkan umat manusia.
Lukisan Tisna Sanjaya 'Makan Siang Gratis' di Art Jakarta 2024 (Foto: Hypeabis.id/Abdurachman)
Ada 16, atau hampir seluruh sketsa Tisna Sanjaya, menggambarkan adegan kolosal. Kelimun orang berjajar, berbaris, saling berebut. Dengan tubuh kerempeng, mereka mengelilingi mangkok raksasa yang berisi puluhan tengkorak kepala. Orang-orang tersebut, ada yang berteriak, menari, dan bergotong royong?
Di atas bejana besar, terdapat sosok ganjil. Dia berhidung panjang, sembari menggendong seorang bocah di pundak. Keduanya tertawa lepas, yang dengan sepatu lars, asyik berajojing. Semua bidang terisi penuh, bahkan hampir sebagian besar lukisan menggambarkan suasana ini, dengan warna, serta adegan berbeda.
Di balik karya ini, juga terdapat lukisan kecil berwarna. Sebuah panggung teater, di mana kedua sosok yang sama berdiri jejingkrakan di atas panggung. Ratusan orang asyik menge-gong-i, yang ditampilkan dalam bentuk siluet-siluet, sedangkan tangan-tangan raksasa dan jembalang mencoba keluar dari kerangkeng, hendak turut mengunyah kue.
Salah satu ukisan Tisna Sanjaya di Art Jakarta 2024 (Foto: Hypeabis.id/Abdurachman)
Jika dilihat dari goresan-goresannya, Tisna tampak tidak ambil pusing untuk menggambarkan kesamaan adegan dengan kenyataan. Cara menggambar ini, terlihat seperti guratan emosional untuk menyalurkan energi yang dibuang di atas kanvas, laiknya anak kecil mencoreti tembok. Subjek sang seniman, yang ditampilkan melukis juga tampak dalam kelimun tersebut.
Berjenis-jenis keramaian tampak menghiasi seluruh lukisan Tisna. Apakah, itu seremoni, atau bentuk peringatan sang seniman bahwa kita akan memasuki kalabendu, Genhype bebas menafsirkannya sendiri. Namun, ada satu yang mungkin luput dari perhatian. Dalam salah satu gambarnya, Tisna juga menuliskan "Seni berputar-putar di situ saja ngga ke mana-mana".
Lain dari karya sebelumnya, kini wujud sang seniman ditampilkan tengah melukis seorang diri di luar arus keramaian. Sebuah bukit kerontang. Sebuah bukit kerontang dengan tumbuhan yang serba mati. Di atasnya, tampak sang subjek sedang mencoba memaknai riuh rendah realitas, lalu merefleksikannya di bidang kanvas, lewat goresan spiral.
Udar Rasa Sang Seniman
Menimbang frasa yang menuliskan, seni hanya berputar di situ saja, menurut Tisna merupakan bentuk udar rasa, atau curahan hatinya sebagai seniman lewat bahasa rupa. Sebab, ketakutan telah membayang-bayangi sebagian besar entitas masyarakat. Kalabendu di depan mata, dan kehidupan tak akan baik-baik saja, jika tidak segera dikabarkan.Menurut Tisna, dalam konteks hari ini, untuk dapat menyuarakan hati nurani, para seniman seperti sudah mengalami sensor. Baik self sensor, atau sensor lain dari ekosistem yang bersangkutan, seperti kurator, institusi, dan lain sebagainya. Inilah yang akhirnya, terefleksi dalam instalasinya lewat tulisan; "wilujeng sumping neo orba".
Pengunjung berinteraksi di depan karya Tisna Sanjaya berjudul Ganjel (2024) di Art Jakarta. (sumber gambar: Hypeabis.id/Abdurachman)
"Dalam konteks ekspresi ada situasi sosial politik yang begitu jelas di depan kita ini merupakan sesuatu yang tidak baik-baik saja. Namun, kurasi seperti takut untuk memasuki wilayah tersebut," katanya.
Bentuk resistensi untuk melawan ketakutan itu, kemudian terejawantah dalam instalasi Ganjel, yang menjadi inti karyanya. Yakni dengan menumpuk semua capaiannya selama 5 dekade lebih, bergelut sebagai akademisi dan seniman. Tak tanggung-tanggung, Tisna juga menjadikan SK teguran dari rektorat ITB, sebagai ganjel dari monumen di AJ Spot itu.
Surat teguran tersebut diberikan karena dia dianggap tidak netral sebagai ASN. Karya-karyanya yang selama ini banyak mengkritik perilaku lalim penguasa dijadikan alasan sanksi. Tisna bahkan sempat diskor satu tahun, karier seni dan akademiknya terhambat, kenaikan jabatan profesornya juga ditangguhkan.
"Ini ada dekadensi dalam pendidikan seni. Kalau dari segi banyaknya pameran, sebenarnya 'wah', tapi kurang bunyi. Momentum ini membutuhkan reaksi berbeda. Mulai dari bentuk, format, medium, dan berbagai hal lain, yang saya yakin kalau itu dipicu oleh koordinasi yang sangkil, pasti akan sampai untuk mengabarkan keadaan," katanya.
Baca juga: Eksplorasi Seni Syaiful Garibaldi dalam Karya Antara Muara di Art Jakarta 2024
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.