Setengah Abad Jakarta Biennale & Metode Lumbung sebagai Kerja Kolektif Seniman
01 October 2024 |
22:39 WIB
Pameran seni dua tahunan, Jakarta Biennale kembali dihelat di Taman Ismail Marzuki (TIM) dan ruang kolektif lain yang tergabung dalam Majelis Jakarta, pada 1 Oktober sampai 15 November 2024. Memasuki perhelatan ke-18, ekshibisi kali ini juga menjadi perayaan ulang tahun ke-50 Jakarta Biennale sejak dihelat pertama kali pada 1974.
Penyelenggaraan tahun ini dijalankan dengan melibatkan 20 kolektif dan entitas seni di Jakarta yang tergabung dalam Majelis Jakarta. Ketua Harian Dewan Kesenian Jakarta, Bambang Prihadi mengatakan, berbeda dari tahun sebelumnya, Jakarta Biennale kali ini dihelat dengan metode berbeda. Yakni dengan mengetengahkan formulasi Lumbung sebagai wadah bagi tempat semua sumber daya yang dimiliki oleh kolektif/kelompok maupun individu yang disimpan dan dikelola bersama.
Baca juga: Islamic Arts Biennale, Pameran Perayaan Seni Islam dan Menjadi Seorang Muslim
Metode ini digunakan untuk memperluas jejaring antar berbagai kolektif seni di Tanah Air, termasuk kepesertaan yang selalu tumbuh di ruang pamer. Alhasil, sejumlah karya yang dihadirkan merupakan bentuk kerja-kerja kolektif dari para perupa sebagai bentuk bacaan ulang pembacaan estetika era kiwari.
"Yang menarik dari Jakarta Biennale kali ini juga tidak ada tema, dan tim kurator. Sedangkan, DKJ sejauh ini hanya menjadi inisiator, konseptor, dan pengadvokasi pada pemerintah. Kita juga akan memamerkan lebih banyak karya di ruang- ruang strategis," katanya.
Selaras, Berto Tukan, perwakilan dari Yayasan Biennale Lingkar Kota mengatakan, metode kerja lumbung digunakan untuk mendorong pembagian sumber daya dan kuasa kepada sejumlah kolektif di berbagai wilayah di Jakarta. Dia berharap, formulasi ini bisa menjadi program yang terus berjalan, karena ini merupakan metode yang baru pertama kali diuji coba.
Berto menjelaskan, Majelis Jakarta juga berkolaborasi dengan sejumlah pihak, termasuk di antaranya para kurator dan seniman asal Taiwan. Mereka bekerjasama dalam satu bingkai kuratorial di bawah arahan kurator asal Taiwan, Sandy Hsuchiu Lo, dalam program bertajuk Topography of Mirror Cities.
"Terkait seniman mancanegara yang terlibat, kita juga mengundang seniman Palestina, meski mereka tidak ke sini karena situasi krisis. Kita hanya berjejaring lewat email, dan menginstruksikan pembuatan karya yang nanti diinterpretasikan oleh seniman-seniman Majelis Jakarta," katanya.
Salah satu yang menarik dari Jakarta Biennale kali ini adalah memacak ratusan karya dengan berbagai pendekatan berdasarkan kegelisahan sejumah kolektif seni di Tanah Air. Momen itu terefleksi saat genhype memasuki Galeri Emiria Soenassa, dan S. Sudjojono, dan bersitatap dengan sejumlah karya yang dipacak di dinding atau ditata di ruang terbuka di kawasan ini.
Misalnya lewat karya dari Puji Lestari berjudul Tom & Regi yang membuat karya lukis kayu tradisional, setelah sang seniman melakukan residensi selama 35 hari di pedalaman Papua. Perupa asal Gunung Kidul itu melukis karakter masyarakat di pedalaman Papua yang selalu terbuka dalam menerima pendatang dan perubahan sosial.
Menggunakan pohon kombow yang dipipihkan hingga membentuk bentangan kanvas, seng seniman melukis dua karakter tersebut dengan berbagai ornamen khas Papua. Seperti melukis batik, teknik isian tato bernuansa tribal, hingga burung Maleo Waigeo yang tengah menaungi desa yang dilukiskan penuh warna, dan nuansa yang hangat.
"Untuk media kulit kayu ini digabung dari 10 lembar kayu kombow. Dari proses penebangan hingga dibuat menjadi karya membutuhkan waktu 2 minggu. Dalam pembuatan karya kami juga menggunakan pewarna alam, dan kayu-kayu yang ditemukan mengambang di danau Sentani," katanya.
Baca juga: 5 Pameran Seni Rupa Oktober 2024: Art The Fact 3.0 hingga View Finder ROH Projects
Beranjak ke bagian dalam galeri, kita juga akan bertemu instalasi berjudul Spotless Future, karya Tepian Kolektif dan Forum Sudutpandang. Instalasi berbahan plastik, batu, pasir, air, kertas, dan besi itu mencoba merespon hunian di kota Palu, yang beberapa tahun silam sempat terdampak bencana.
Azwar Ahmad, perwakilan dari Tepian Kolektif menjelaskan, karya ini sebelumnya merupakan hasil kerja kolektif dengan warga dalam menginterpretasikan bencana. Yaitu mencoba mempertukarkan konteks hunian warga yang dibayangi kerentanan akan wilayah Palu yang terus diindustrialisasi.
"Hadirnya air, pasir dan batu di dalam instalasi ini bukanlah metafora untuk kerentanan bencana di Palu. Melainkan bentuk interpretasi kami saat karya ini dibawa ke Jakarta, karena medan dan topografinya kami coba sesuaikan dengan lingkungan di sini," imbuhnya.
Sebagai tambahan infomasi, Jakarta Biennale lahir dari Pameran Besar Seni Lukis Indonesia (PBSLI) yang digagas oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), dan diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 1974. Namun lambat laun knsep pameran ini betrubah seiring waktu, di mana sejak 2009, Jakarta Biennale diselenggarakan dalam skala internasional.
Tahun ini Jakarta Biennale didselenggarakan oleh 20 kolektif dan entitas seni di Jakarta yang tergabung dalam Majelis Jakarta. Mereka adalah: RajutKejut, Setali Indonesia, Cut and Rescue, PannaFoto Institute, Kelas Pagi Indonesia, Komunitas Paseban, TrotoART, Gudskul Ekosistem, Westwew, Jakarta Wasted Artists, Atelir Ceremai, Asosiasi Pematung Indonesia - Jakarta, Dewan Kesenian Jakarta, Serrum ArtHandling, Sanggar Seroja, Galeri Saku Kolektif, Girls Pay the Bills, Sekolah Sablon Indonesia, Sanggar Anak Akar, dan Binatang Press!.
Editor: Fajar Sidik
Penyelenggaraan tahun ini dijalankan dengan melibatkan 20 kolektif dan entitas seni di Jakarta yang tergabung dalam Majelis Jakarta. Ketua Harian Dewan Kesenian Jakarta, Bambang Prihadi mengatakan, berbeda dari tahun sebelumnya, Jakarta Biennale kali ini dihelat dengan metode berbeda. Yakni dengan mengetengahkan formulasi Lumbung sebagai wadah bagi tempat semua sumber daya yang dimiliki oleh kolektif/kelompok maupun individu yang disimpan dan dikelola bersama.
Baca juga: Islamic Arts Biennale, Pameran Perayaan Seni Islam dan Menjadi Seorang Muslim
Metode ini digunakan untuk memperluas jejaring antar berbagai kolektif seni di Tanah Air, termasuk kepesertaan yang selalu tumbuh di ruang pamer. Alhasil, sejumlah karya yang dihadirkan merupakan bentuk kerja-kerja kolektif dari para perupa sebagai bentuk bacaan ulang pembacaan estetika era kiwari.
"Yang menarik dari Jakarta Biennale kali ini juga tidak ada tema, dan tim kurator. Sedangkan, DKJ sejauh ini hanya menjadi inisiator, konseptor, dan pengadvokasi pada pemerintah. Kita juga akan memamerkan lebih banyak karya di ruang- ruang strategis," katanya.
Suasana konferensi pers Jakarta Biennale pada Selasa (1/10/24). (sumber gambar: Hypeabis.id/ Abdurachman)
Berto menjelaskan, Majelis Jakarta juga berkolaborasi dengan sejumlah pihak, termasuk di antaranya para kurator dan seniman asal Taiwan. Mereka bekerjasama dalam satu bingkai kuratorial di bawah arahan kurator asal Taiwan, Sandy Hsuchiu Lo, dalam program bertajuk Topography of Mirror Cities.
"Terkait seniman mancanegara yang terlibat, kita juga mengundang seniman Palestina, meski mereka tidak ke sini karena situasi krisis. Kita hanya berjejaring lewat email, dan menginstruksikan pembuatan karya yang nanti diinterpretasikan oleh seniman-seniman Majelis Jakarta," katanya.
Hadirkan Ratusan Karya
Salah satu yang menarik dari Jakarta Biennale kali ini adalah memacak ratusan karya dengan berbagai pendekatan berdasarkan kegelisahan sejumah kolektif seni di Tanah Air. Momen itu terefleksi saat genhype memasuki Galeri Emiria Soenassa, dan S. Sudjojono, dan bersitatap dengan sejumlah karya yang dipacak di dinding atau ditata di ruang terbuka di kawasan ini.Misalnya lewat karya dari Puji Lestari berjudul Tom & Regi yang membuat karya lukis kayu tradisional, setelah sang seniman melakukan residensi selama 35 hari di pedalaman Papua. Perupa asal Gunung Kidul itu melukis karakter masyarakat di pedalaman Papua yang selalu terbuka dalam menerima pendatang dan perubahan sosial.
Karya berjudul Tom & Regi dalam Jakarta Biennale (sumber gambar: Hypeabis.id/ Abdurachman)
"Untuk media kulit kayu ini digabung dari 10 lembar kayu kombow. Dari proses penebangan hingga dibuat menjadi karya membutuhkan waktu 2 minggu. Dalam pembuatan karya kami juga menggunakan pewarna alam, dan kayu-kayu yang ditemukan mengambang di danau Sentani," katanya.
Baca juga: 5 Pameran Seni Rupa Oktober 2024: Art The Fact 3.0 hingga View Finder ROH Projects
Beranjak ke bagian dalam galeri, kita juga akan bertemu instalasi berjudul Spotless Future, karya Tepian Kolektif dan Forum Sudutpandang. Instalasi berbahan plastik, batu, pasir, air, kertas, dan besi itu mencoba merespon hunian di kota Palu, yang beberapa tahun silam sempat terdampak bencana.
Azwar Ahmad, perwakilan dari Tepian Kolektif menjelaskan, karya ini sebelumnya merupakan hasil kerja kolektif dengan warga dalam menginterpretasikan bencana. Yaitu mencoba mempertukarkan konteks hunian warga yang dibayangi kerentanan akan wilayah Palu yang terus diindustrialisasi.
"Hadirnya air, pasir dan batu di dalam instalasi ini bukanlah metafora untuk kerentanan bencana di Palu. Melainkan bentuk interpretasi kami saat karya ini dibawa ke Jakarta, karena medan dan topografinya kami coba sesuaikan dengan lingkungan di sini," imbuhnya.
Karya instalasi berjudul Spotless Future di Jakarta Biennale (sumber gambar: Hypeabis.id/ Abdurachman)
Tahun ini Jakarta Biennale didselenggarakan oleh 20 kolektif dan entitas seni di Jakarta yang tergabung dalam Majelis Jakarta. Mereka adalah: RajutKejut, Setali Indonesia, Cut and Rescue, PannaFoto Institute, Kelas Pagi Indonesia, Komunitas Paseban, TrotoART, Gudskul Ekosistem, Westwew, Jakarta Wasted Artists, Atelir Ceremai, Asosiasi Pematung Indonesia - Jakarta, Dewan Kesenian Jakarta, Serrum ArtHandling, Sanggar Seroja, Galeri Saku Kolektif, Girls Pay the Bills, Sekolah Sablon Indonesia, Sanggar Anak Akar, dan Binatang Press!.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.