Pengin Jadi Apoteker? Intip Dulu Tantangannya di Tengah Perkembangan Telemedicine
02 October 2024 |
11:36 WIB
Apoteker memiliki peran krusial dalam penjagaan mutu dan integritas obat yang beredar di masyarakat. Turut memastikan setiap tahap distribusi obat berjalan sesuai dengan standar Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB), penyebaran profesi ini belum merata dan mereka dituntut untuk beradaptasi dengan teknologi.
Ketua Umum Himpunan Seminat Farmasi Rumah Sakit (HISFARSI) Ruslan M Rauf menerangkan apoteker memiliki peran penting dalam perencanaan, penerimaan, penyimpanan, sampai obat bisa terdistribusi di masyarakat. Apoteker bertugas menjaga dan mengawasi kualitas hingga ketersediaan obat.
“Jadi di semua rumah sakit, di klinik, memang mesti ada apoteker. Kalau tidak ada, ketahanan, kualitas dan kuantitas itu tidak bisa dijamin,” ujarnya kepada Hypeabis.id beberapa waktu lalu.
Baca juga: 5 Tips Bijak Kelola Keuangan Untuk Hadapi Inflasi Medis
Sebuah rumah sakit misalnya, harus tahu jumlah tenaga apoteker yang dimiliki mulai dari meja pelayanan, perawatan, rawat jalan, gudang farmasi, dan administrasi. Semuanya harus terkoneksi agar pemberian obat dapat dilakukan dengan tepat.
Ruslan menyebut untuk ketersediaan apoteker di rumah sakit sejauh ini masih terbilang kurang. Tak ayal banyak apoteker di unit yang menjalani peran ganda.
Berdasarkan data Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) hingga 31 Juli 2024, terdapat 106.157 apoteker yang ada di Tanah Air. Tentu, jumlah ini masih dirasa kurang, terlebih distribusinya belum merata untuk pelayanan kesehatan yang paripurna.
Ketua Umum Pengurus Pusat IAI Noffendri Roestam mengatakan memang terjadi peningkatan produksi apoteker mulai tahun ini sebanyak 10.000 orang, dari sebelumnya 8.000 orang per tahun. Namun bicara rasio, 60 persen apoteker masih berada di Pulau Jawa. Itu pun mayoritas masih berada di ibu kota provinsi.
Masalah distribusi ini dikarenakan sarana kesehatan yang juga tidak merata. Oleh karena itu, IAI meminta pemerintah mendorong peningkatan distribusi sarana yang lebih merata, terutama di luar Pulau Jawa dan ibu kota provinsi.
“Pemerintah harus mengatur sebaran rumah sakit. Harus mengatur sebaran dari klinik, harus mengatur sebaran dari apotek. Kalau ini nggak diatur, sama saja bohong,” tegasnya.
Seiring peningkatan jumlah sarana untuk mendorong jumlah terciptanya sebaran apoteker yang merata, pemanfaatan teknologi seperti layanan telemedicine juga perlu ditingkatkan. Noffendri menyebut layanan digital ini sangat membantu kinerja dari para apoteker terutama dalam hal administrasi dan dokumentasi menjadi lebih praktis, cepat, dan tepat.
Menurutnya, telemedicine membantu mengurangi risiko kesalahan dalam hal pencatatan hingga rekomendasi obat yang tepat kepada masyarakat. Dia menyebut di sejumlah negara, bahkan keterbatasan SDM bisa diatasi dengan memanfaatkan teknologi artificial intelligence atau kecerdasan buatan.
Dengan teknologi AI, para apoteker tidak perlu lagi bersama-lama mencari rumus untuk menghitung kebutuhan obat. Oleh karena itu, para apoteker di harapan bisa beradaptasi dengan teknologi. Mulai dari pendidikan di kampus untuk mengenalkan teknologi-teknologi yang digunakan di dalam dunia kefarmasian.
“Mulai dari produksi obat, mendistribusikan obat, dalam pelayanan, mereka harus dikenalkan sehingga mereka nggak kaget. Teknologi itu hanya membantu untuk meringankan, bukan menggantikan,” tegas Noffendri.
Baca juga: Tanda Tangan Digital, Keamanan dan Efisiensi dalam Rekam Medis Elektronik
Dia menegaskan kehadiran telemedicine maupun telefarmasi sangat membantu pekerjaan apoteker di rumah sakit. Melalui layanan digital ini, para apoteker bisa melakukan pemantauan terutama ketersediaan dan pengiriman obat ke masyarakat.
Apoteker bisa mengetahui dengan cepat apakah terjadi kesalahan atau masalah dalam pengiriman obat. “Sekarang apoteker banyak menguasai teknologi. Setiap rumah sakit juga menerapkan aplikasi untuk pelayanan,” tambah Ruslan.
Dia berharap agar semua apoteker termasuk yang ada di rumah sakit tidak gagap terhadap teknologi. Mereka harus terus meningkatkan kemampuan dengan menyelaraskan perkembangan teknologi terkini.
Editor: Fajar Sidik
Ketua Umum Himpunan Seminat Farmasi Rumah Sakit (HISFARSI) Ruslan M Rauf menerangkan apoteker memiliki peran penting dalam perencanaan, penerimaan, penyimpanan, sampai obat bisa terdistribusi di masyarakat. Apoteker bertugas menjaga dan mengawasi kualitas hingga ketersediaan obat.
“Jadi di semua rumah sakit, di klinik, memang mesti ada apoteker. Kalau tidak ada, ketahanan, kualitas dan kuantitas itu tidak bisa dijamin,” ujarnya kepada Hypeabis.id beberapa waktu lalu.
Baca juga: 5 Tips Bijak Kelola Keuangan Untuk Hadapi Inflasi Medis
Sebuah rumah sakit misalnya, harus tahu jumlah tenaga apoteker yang dimiliki mulai dari meja pelayanan, perawatan, rawat jalan, gudang farmasi, dan administrasi. Semuanya harus terkoneksi agar pemberian obat dapat dilakukan dengan tepat.
Ruslan menyebut untuk ketersediaan apoteker di rumah sakit sejauh ini masih terbilang kurang. Tak ayal banyak apoteker di unit yang menjalani peran ganda.
Berdasarkan data Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) hingga 31 Juli 2024, terdapat 106.157 apoteker yang ada di Tanah Air. Tentu, jumlah ini masih dirasa kurang, terlebih distribusinya belum merata untuk pelayanan kesehatan yang paripurna.
Ketua Umum Pengurus Pusat IAI Noffendri Roestam mengatakan memang terjadi peningkatan produksi apoteker mulai tahun ini sebanyak 10.000 orang, dari sebelumnya 8.000 orang per tahun. Namun bicara rasio, 60 persen apoteker masih berada di Pulau Jawa. Itu pun mayoritas masih berada di ibu kota provinsi.
Masalah distribusi ini dikarenakan sarana kesehatan yang juga tidak merata. Oleh karena itu, IAI meminta pemerintah mendorong peningkatan distribusi sarana yang lebih merata, terutama di luar Pulau Jawa dan ibu kota provinsi.
“Pemerintah harus mengatur sebaran rumah sakit. Harus mengatur sebaran dari klinik, harus mengatur sebaran dari apotek. Kalau ini nggak diatur, sama saja bohong,” tegasnya.
Manfaat Telemedicine
Seiring peningkatan jumlah sarana untuk mendorong jumlah terciptanya sebaran apoteker yang merata, pemanfaatan teknologi seperti layanan telemedicine juga perlu ditingkatkan. Noffendri menyebut layanan digital ini sangat membantu kinerja dari para apoteker terutama dalam hal administrasi dan dokumentasi menjadi lebih praktis, cepat, dan tepat. Menurutnya, telemedicine membantu mengurangi risiko kesalahan dalam hal pencatatan hingga rekomendasi obat yang tepat kepada masyarakat. Dia menyebut di sejumlah negara, bahkan keterbatasan SDM bisa diatasi dengan memanfaatkan teknologi artificial intelligence atau kecerdasan buatan.
Dengan teknologi AI, para apoteker tidak perlu lagi bersama-lama mencari rumus untuk menghitung kebutuhan obat. Oleh karena itu, para apoteker di harapan bisa beradaptasi dengan teknologi. Mulai dari pendidikan di kampus untuk mengenalkan teknologi-teknologi yang digunakan di dalam dunia kefarmasian.
“Mulai dari produksi obat, mendistribusikan obat, dalam pelayanan, mereka harus dikenalkan sehingga mereka nggak kaget. Teknologi itu hanya membantu untuk meringankan, bukan menggantikan,” tegas Noffendri.
Baca juga: Tanda Tangan Digital, Keamanan dan Efisiensi dalam Rekam Medis Elektronik
Dia menegaskan kehadiran telemedicine maupun telefarmasi sangat membantu pekerjaan apoteker di rumah sakit. Melalui layanan digital ini, para apoteker bisa melakukan pemantauan terutama ketersediaan dan pengiriman obat ke masyarakat.
Apoteker bisa mengetahui dengan cepat apakah terjadi kesalahan atau masalah dalam pengiriman obat. “Sekarang apoteker banyak menguasai teknologi. Setiap rumah sakit juga menerapkan aplikasi untuk pelayanan,” tambah Ruslan.
Dia berharap agar semua apoteker termasuk yang ada di rumah sakit tidak gagap terhadap teknologi. Mereka harus terus meningkatkan kemampuan dengan menyelaraskan perkembangan teknologi terkini.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.