Tale of the Land. (Sumber gambar: KawanKawan Media)

Debut Film Sutradara Loeloe Hendra Tale of The Land Bakal Tayang di BIFF 2024

02 October 2024   |   06:00 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Kabar membahagiakan kembali datang dari dunia perfilman Indonesia. Tale of the Land, debut film Loeloe Hendra sebagai sutradara dan penulis, akan tayang perdana di Busan International Film Festival (BIFF) 2024. Film ini juga akan berkompetisi dalam program New Currents di festival yang akan digelar pada 2-11 Oktober 2024 tersebut.

New Currents ialah penghargaan yang diberikan pada dua film fitur terbaik karya pertama atau kedua sutradara Asia baru di BIFF. Film-film yang berkompetisi akan dinilai oleh juri yang terdiri dari pakar sinema terkenal dunia. Nantinya, sutradara yang karyanya terpilih untuk kategori ini akan mendapatkan hadiah utama sebesar US$30.000 atau sekitar Rp456 juta.

Baca juga: 6 Inisiatif Baru Hadir di Madani International Film Festival 2024

Tale of the Land merupakan debut film panjang Loeloe Hendra sebagai sutradara sekaligus penulis. Sebelumnya, pria kelahiran Ciamis, Jawa Barat, ini telah menulis sejumlah film pendek seperti Sinema Sihir Hitam (2022), Rumah Kuku (2022), Keajaiban yang Hilang (2016), dan Onomastika (2014).
 


Kisah film Tale of the Land berpusat pada seorang gadis Dayak bernama May yang diperankan oleh Shenina Cinnamon. May dihantui oleh trauma kematian orangtuanya dalam sebuah konflik tanah, yang membuatnya tidak dapat menginjakkan kakinya lagi di tanah kelahirannya.

May tinggal bersama kakeknya, Tuha (Arswendy Bening Swara), di sebuah rumah terapung yang terombang-ambing di atas danau yang jauh dari daratan.

Karakter May dalam film ini merupakan alegori yang merefleksikan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat adat di seluruh dunia, yang tanah airnya terus berubah akibat tekanan dunia modern.

Sutradara Loeloe Hendra mengatakan Tale of the Land menyajikan sebuah kisah tentang tanah. Secara pribadi, film ini merupakan gabungan dari imajinasi masa kecilnya dan realitas sosial masyarakat di Kalimantan saat ini.

Loeloe menambahkan melalui filmnya ini, dia ingin menunjukkan bahwa ada sesuatu yang berubah dan bergeser. Kondisi yang terjadi pada karakter May adalah bentuk pertanyaannya tentang situasi tersebut.

"Bagaimana jika manusia tidak bisa hidup di atas tanah? Bagaimana jika kita memiliki tanah yang luas, tapi kita tidak bisa menginjakkan kaki di atasnya lagi? Bagaimana dengan seseorang yang lahir di tanah leluhurnya, namun kemudian terpaksa pergi hingga ajal menjemput dan tidak bisa kembali lagi ke tanah kelahirannya," katanya.

KawanKawan Media selaku rumah produksi dari film Tale of the Land pun telah merilis poster dan trailer dari film tersebut. Poster yang dirilis menunjukkan aktris Shenina Chinnamon yang berperan sebagai May. Visualnya seolah menggambarkan May yang berada di dunia dunia, antara di lautan dan daratan.

Sementara triler yang dirilis menampilkan cuplikan kehidupan seorang gadis Dayak bernama May dan kakeknya yang hidup di sebuah rumah terapung.

May mempertanyakan kepada kakeknya mengapa rumah tinggal mereka tidak berdiri di tanah daratan yang lebih aman. May juga mempertanyakan keberadaan tanah makam leluhurnya yang ada di daratan.

Di tengah pertanyaannya itu, sang kakek mencoba menenangkannya dan berkata bahwa dimanapun mereka tinggal, mereka akan selalu dijaga oleh leluhur. Trailer juga menampilkan kehidupan mereka sebagai masyarakat adat yang kerap terancam oleh proyek-proyek masyarakat modern, salah satunya ditandai dengan kapal-kapal tongkang batu bara yang melintas di sekitar tempat tinggal mereka.

Selain Shenina Cinnamon dan Arswendy Bening Swara, trailer juga menampilkan aktor Angga Yunanda dan Yusuf Mahardika yang perannya memantik penasaran penonton. Klip ditutup dengan adegan May yang tampak mencoba menginjakkan kakinya di daratan. Namun, tiba-tiba dia ketakutan dan darah menetes dari hidungnya.
 


Yulia Evina Bhara selaku produser menuturkan proses pengambilan gambar film Tale of the Land dilakukan di sebuah delta sungai pedalaman. Dengan memahami ketidakpastian lingkungan alam Kalimantan, tim merancang produksi dan pengaturan yang efektif untuk mengatasi tantangan yang ada. 

Tantangan produksi berasal dari kondisi sungai yang berubah secara dramatis selama musim hujan, saat air mencapai puncak debitnya. Dengan kondisi itu, mereka pun berusaha menemukan momen terbaik untuk pengambilan gambar, yaitu ketika air berada pada debit tertinggi. Meskipun, tantangan berikutnya muncul yakni musim hujan yang disertai angin dan badai. 

Baca juga: Jakarta Film Week 2024 Beri Ruang Film Hasil Produksi AI Tayang di Festival

Menurutnya, dengan mengorkestrasi sebuah produksi yang sangat intim dan inovatif serta proses pengambilan gambarnya yang 90 persen dilakukan di atas air, film Tale of the Land menciptakan pengalaman yang imersif, memperkuat elemen fantasinya.

"Proses produksi selalu tentang menemukan cara teraman untuk melakukan pengambilan gambar di musim hujan yang penuh dengan angin dan badai. Kami sangat senang film ini akhirnya akan tayang perdana di Busan International Film Festival," ucapnya.

Editor: Fajar Sidik 

SEBELUMNYA

Kostum Nasional Nova Liana di Miss Grand International 2024 Angkat Kuliner Payakumbuah

BERIKUTNYA

Setengah Abad Jakarta Biennale & Metode Lumbung sebagai Kerja Kolektif Seniman 

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: