Instalasi interior Blue Note karya desainer Eko Priharseno. (Sumber gambar: The Colours of Indonesia/Instagram)

Hypereport: Romantisasi Masa Lalu pada Desain Interior & Arsitektur

30 September 2024   |   10:26 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Selama beberapa tahun terakhir, gaya jadul atau vintage semakin digandrungi banyak kalangan terutama anak muda. Gaya lawas yang telah ada dan populer sejak beberapa dekade silam kini kembali menjadi tren dan diadopsi sebagai bagian dari gaya hidup anak muda. 
 
Hal itu pun berlaku pada banyak bidang, tak terkecuali desain interior dan arsitektur. Desainer Interior Eko Priharseno mengatakan selama 5 tahun terakhir, banyak kliennya yang berasal dari kalangan Generasi Z --kelahiran 1997 hingga 2012--- mengadopsi gaya desain interior bernuansa vintage salah satunya mid century pada hunian mereka.
 
Populer pada pertengahan 1930-an hingga 1960-an, gaya desain interior mid century adalah perpaduan antara gaya minimalis dengan sentuhan retro klasik. Desain ini muncul pada pertengahan abad ke-20, di mana fungsionalitas dan kesederhanaan menjadi sorotan utama. 
 
"Jadi sebenarnya saat ini secara style [interior], yang paling diminati oleh generasi Z atau Milenial itu adalah gaya-gaya vintage 1950-an atau 1960-an. Gaya ini memang berkembangnya yang lebih terasa banget tahun-tahun belakangan ini," katanya saat diwawancarai Hypeabis.id

Baca juga laporan terkait: 
 
Eko berpendapat tren minat terhadap gaya interior mid century muncul salah satunya dipengaruhi oleh konsep desain ala rumah-rumah di Los Angeles, AS, yang cenderung menampilkan rumah minimalis dengan ragam furnitur vintage. Gaya ini selama satu dekade terakhir populer dan diadopsi oleh banyak kalangan dengan berbagai preferensi. 
 
Seperti diketahui, banyak hunian lawas yang berdiri di Los Angeles. Dengan tangan-tangan terampil para arsitek dan desainer interior, rumah-rumah tersebut dipugar dengan sempurna, mewujud menjadi hunian yang baru tapi tetap mempertahankan nilai-nilai dan estetika dari sejarah bangunan tersebut. 
 
Tren gaya interior mid century yang diminati oleh banyak kalangan pun membuat sejumlah brand furnitur mengeluarkan koleksi yang kental mengangkat gaya vintage. Salah satunya ialah brand furnitur premium asal Italia, Minotti, yang gencar membuat koleksi produk dengan gaya lawas era 1960-an. 
 
Eko melihat salah satu alasan mengapa gaya vintage pada desain interior diminati lantaran preferensi anak muda yang kini lebih suka nuansa yang lebih rileks pada rumah. Permainan desain, dekorasi, maupun furnitur vintage pada hunian yang terkesan tidak proporsional justru menjadi daya tarik tersendiri. 
 
Hal ini pula lah yang menjadi salah satu kelebihan gaya vintage pada interior rumah, yang memungkinkan pengaplikasiannya mengangkat beberapa desain tapi tetap menjadi kesatuan yang harmonis. 
 
"Anak-anak muda gayanya sekarang kan rileks gitu, enggak seperti generasi yang sebelumnya cenderung lebih suka nuansa rapi dan semuanya sentris gitu. Sekarang tuh yang imperfection terlihatnya jadi perfection, sehingga berasanya seolah-olah pas gitu," ucapnya.
 
Dalam mengimplementasikan nuansa lawas pada interior, Eko tidak serta merta mengadopsi gaya tersebut seutuhnya. Biasanya dia akan memadukan gaya vintage sekaligus modern, agar desainnya tidak lekang oleh waktu alias timeless sehingga bisa terus dinikmati sampai kapan pun.
 

Hal itu pun tercermin dalam salah satu karya instalasi interiornya pada ruang hobi (hobby room) yang diberi tajuk Blue Note. Kesan lawas dihadirkan oleh sejumlah furnitur bergaya vintage dengan ragam bentuk dan material yang menarik. Misalnya, rak penyimpanan koleksi vinyl berbahan stainless, rak kayu bernuansa coklat, serta single chair putih dengan bentuk yang unik. 
 
Layaknya ruang hobi, instalasi ini dipenuhi oleh perabotan dan barang-barang kolektif seperti panjangan, buku, koleksi piringan hitam, mainan, dan lainnya. Semua itu ditata dalam rak-rak penyimpanan berukuran besar dengan berbagai material
 
Selain itu, sejumlah furnitur dan elemen dekorasi juga menonjol karena bentuknya yang unik, seperti yang tampak pada meja santai, karpet lantai, standing lamp, jam dinding, dan single sofa. Bentuk dan material yang beragam menjadi kesatuan yang harmonis dan saling mengisi dalam ruangan. 
 
Eko bercerita nama Blue Note yang diambil untuk instalasinya terinspirasi oleh nama salah satu label rekaman jazz AS yang telah berdiri sejak 1939, dan berfokus pada genre-genre Black Music seperti jazz dan hip hop. Selain itu, biru yang menjadi warna dasar dari ruangan ini diambil lantaran dia suka dengan warna tersebut. 
 
Selain biru, hadir juga warna oranye atau jingga yang menjadi simbol spirit. Adapun, secara konseptual, ruangan ini mengusung gaya mid-century, perpaduan antara gaya minimalis dengan sentuhan retro klasik. 
 
Untuk furnitur, Eko menyampaikan karya instalasi ruangnya kali ini memadukan furnitur baru dan vintage buatan 1950-an dan 1970-an, seperti yang tampak pada laches, modular kabinet, serta elemen dekorasi geometri perpaduan kotak dan bulat yang rupanya merujuk pada bentuk vinyl dan cover-nya. 
 
"Jadi lambang-lambang ini semuanya nih benar-benar kita curate, kita pikirin. Kelihatannya simpel tapi pemikirannya banyak banget gitu. Semuanya itu kalau dibongkar ada temanya sendiri, semuanya satu sama lain saling rajut gitu," imbuhnya. 

Baca juga: Gaya Desain Interior Shabby Chic Terkini, Gabungan Nuansa Modern dan Lawas
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by M Bloc Space (@mblocspace)


Pemanfaatan Bangunan Tua

Adopsi gaya vintage juga berlaku pada bidang arsitektur, seperti yang dilakukan oleh M Bloc Group dengan salah satu proyeknya yang terkenal yakni M Bloc Space. Bangunan bergaya vintage dengan arsitektur tropis dekade 1950-an itu disulap menjadi ruang kreatif bagi anak muda, mulai dari sekadar menikmati waktu luang, mengadakan berbagai acara seni dan budaya, hingga berkomunitas. 
 
M Bloc Space merupakan proyek alih fungsi yang memanfaatkan aset idle Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri). Bangunan seluas 6.500 meter persegi itu dahulu merupakan rumah dinas pegawai Perum Peruri serta gudang produksi yang sudah dibangun sejak 1950-an.
 
Setelah lama terbengkalai selama bertahun-tahun, bangunan tersebut akhirnya disulap menjadi ruang kreatif (creative hub) publik yang inklusif dengan mempertahankan gaya arsitektur vintage. Hasilnya, sebanyak 16 rumah dinas kini berubah menjadi deretan kedai dan toko dengan merek lokal, serta 12 bangunan rumah di bagian belakang disulap menjadi tenant-tenant lokal dan venue pertunjukan.
 
Dibuka sejak 2019, M Bloc Space pun kini menjadi tren di Jakarta dan terbilang berhasil menghidupkan kembali kawasan Blok M yang sempat ht pada era 1980-an hingga 1990-an dengan gaya yang sesuai dengan minat anak muda saat ini.
 
Kehadiran M Bloc Space tak terlepas dari tangan dingin Jacob Gatot Surarjo, arsitek yang memiliki minat khusus pada pemanfaatan bangunan-bangunan lama sebagai ruang publik, dan menerapkannya dengan konsep placemaking. Lebih dari sekadar penciptaan ruang, placemaking menekankan pendekatan arsitektur yang mendorong interaksi sosial dan pertukaran budaya warga di satu kota.
 
Tak hanya M Bloc Space, Jacob bersama biro desain miliknya, Arcadia Architects, juga menjadi perancang bangunan-bangunan dengan konsep serupa dalam naungan M Bloc Group yang tersebar di beberapa kota di Indonesia seperti Pos Bloc di Jakarta, JNM Bloc di Yogyakarta, Lokananta Bloc di Solo, Pos Bloc di Medan, Fabriek Blok di Padang, dan Pos Bloc di Surabaya. 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by M Bloc Space (@mblocspace)


Jacob mengatakan proyek M Bloc Space berawal dari Peruri yang mengundang beberapa pihak dalam semacam tender terbatas untuk mendiskusikan pengelolaan bangunan terbengkalai. Ada yang mengusulkan untuk dijadikan klinik, perkantoran, atau mal. Namun, kala itu, Jacob justru mengusulkan ide membuat creative hub.
 
Lantaran Jacob pernah menggarap proyek creative space Uma Seminyak yang di Bali, akhirnya pihak Peruri menginginkan agar bangunan terbengkalai milik mereka dirancang menjadi ruang serupa. Dalam prosesnya, Jacob juga mengajak beberapa sosok pegiat kreatif kreatif lain yaitu Lance Mengong, alm. Glenn Fredly, Wendi Putranto, Handoko Hendroyono, dan Mario Sugianto.
 
Mereka pun akhirnya membentuk Radar Ruang Riang, perusahaan induk yang bergerak di jelajah cipta ruang ekonomi kreatif (creative economy placemaking).
 
"Sebagai arsitek, saya ingin mengangkat konsep adaptive reuse yang artinya mendaur ulang bangunan lama dengan fungsi baru. Itu misi saya sebagai arsitek. Saya ingin membuktikan ke masyarakat bahwa adaptive reuse itu juga bisa menghasilkan manfaat termasuk dari sisi ekonomi," katanya. 
 
Lantaran bangunannya telah berusia lebih dari 50 tahun, Jacob dan tim harus menjalani proses kajian atau sidang dari Cagar Budaya sebanyak 4-5 kali, untuk menyampaikan konsep rancangan arsitekturnya di depan Tim Sidang Pemugaran Cagar Budaya.
 
Tak hanya arsitek, tim tersebut juga diisi oleh ahli hukum, sejarah, ekonomi, sosial, dan politik. Nantinya, semua hasil dari sidang tersebut harus diimplementasikan ke dalam desain bangunan. 
 
Proses pembangunan M Bloc Space juga melibatkan komunitas arsitek untuk memahami pemanfaatan bangunan lama. Selain itu, setiap dua minggu sekali selama proses perancangannya, mereka juga mengundang komunitas kreatif yang berbeda-beda untuk tur keliling di sekitar bagunan, dan meminta masukan dari mereka. Itu semua dilakukan demi membangun rasa kepemilikan bersama untuk M Bloc.
 
"Hal itu juga berlaku dalam pembangunan bangunan M Bloc Group lain di kota-kota lain. Sebelum merancang bangunan, kami buat dulu forum group discussion (FGD) dengan mengundang komunitas-komunitas kreatif sebanyak 2-3 kali. Untuk tahu apa yang sebenarnya mereka butuhkan dari perancangan creative hub ini," kata Jacob.
 
Jacob menuturkan pemanfaatan bangunan lama menjadi fungsi baru erat kaitannya dengan pendekatan arsitektur placemaking, yang dimaksudkan untuk membuat kehidupan berkomunitas, menciptakan interaksi sesama komunitas, dan memberi ruang untuk berkreasi. Mewujud menjadi bangunan atau ruang publik yang bisa bermanfaat untuk orang banyak. 
 
Selain itu, dalam menerapkan placemaking, arsitek juga harus memikirkan bagaimana bangunan yang dibuat harus memberikan dampak ke lingkungan sekitar dari tempat tersebut. "Sekarang sebagai arsitek, saya mikirnya sudah bukan hanya soal bangunan fisik, tapi juga bikin program yang sesuai kultur setempat dan diminati anak muda," imbuhnya. 

Baca juga: Eksklusif Arsitek Jacob Gatot Surarjo: Menghidupkan Bangunan, Komunitas & Kreativitas

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

Hypereport: Tren Musik Lawas Tak Sekadar Nostalgia

BERIKUTNYA

Lagu "HAPPY" Milik Day6 Raih Penghargaan Setelah 6 Bulan Rilis

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: