Ilustrasi toko rilisan fisik (Sumber gambar: Unsplash/ Mick Haupt)

Hypereport: Tren Musik Lawas Tak Sekadar Nostalgia

30 September 2024   |   09:12 WIB
Image
Chelsea Venda Jurnalis Hypeabis.id

Sama halnya dengan fesyen, tren di dalam bidang musik juga kerap berputar ulang. Musik-musik lawas yang tadinya ditinggalkan, kini bisa bangkit lagi, lalu menemukan penikmat-penikmat anyar dan menjelma sebagai referensi baru bagi musisi-musisi lainnya.

Tak ada yang baru di bawah matahari, begitu pula dengan tren musik-musik lawas yang kembali disukai. Dalam dunia musik, ada terms yang cukup mewakili hal ini, yakni “Revival”.

Pada medio 2000-an awal, istilah Garage Revival, Post-Punk Revival, hingga Indie Rock Revival, bergaung dengan kencang. Istilah tersebut merujuk pada genre musik alternatif dan indie rok yang berkembang pada awal abad ke-21. Genre ini terinspirasi dari musik garage rock era 1960-an, new wave, dan post-punk pada 1980-an. 

Hingga hari ini, kemunculan “Revival” dalam bentuk-bentuk baru terus terjadi dan mewarnai belantika musik, baik Indonesia maupun dunia. Ini semacam siklus yang selalu berulang dan saling memengaruhi apa yang ada sekarang. 

Baca juga: Farid Stevy dan Momen Kebangkitan Band Jenny di Panggung Musik

Pengamat musik Nuran Wibisono mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan “Revival” terus terjadi. Menurut Nuran, salah satu faktornya adalah kebiasaan manusia yang selalu ingin mencari sesuatu yang baru bagi mereka, ini termasuk mencari ke belakang. 

Selain itu, jika seseorang menyukai musik atau band tertentu, ada kecenderungan orang tersebut pun mencari tahu siapa band atau musisi yang memengaruhi mereka.

“Misal suka Steel Panther. Dicari nih, siapa band-band yang memengaruhi mereka. Oh ternyata metal 80-an. Ada siapa saja? Ketemulah sama Guns N Roses, Motley Crue, Poison dan sebagainya. Band ini dipengaruhi siapa? Oh ketemu Glam Rock dan punk 70-an, T-Rex, dan begitu seterusnya,” ucap Nuran kepada Hypeabis.id.
 

(Sumber gambar: Unsplash/Shunya Koide)

(Sumber gambar: Unsplash/Shunya Koide)

Selain lewat pertalian tersebut, beberapa lagu lawas bisa disukai hingga hari ini juga karena kepopulerannya yang abadi. Nuran mencontohkan lagu-lagu The Beatles misalnya, masih didengarkan banyak orang hingga hari ini.

Kemudian, peralihan medium juga turut memengaruhi hal ini. Misalnya, Fleetwood Mac menjadi dikenal lagi gara-gara satu video viral di TikTok. Lalu, ada band rock 1980-an yang kembali didengar orang karena serial Cobra Kai dan Peacemaker.

“Ke depan pasti akan terus terjadi. Karena memang selalu ada keinginan untuk menengok ke belakang. Vintage is always the new cool,” jelasnya.

Melihat fenomena ini, Deezer, salah satu platform musik ternama, punya teori menarik. Mereka menyebutnya sebagai Paralisis Musikal. Deezer mulanya melakukan survei tentang preferensi dan kebiasaan seseorang mendengarkan musik di Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman dan Brasil. Survei yang digelar 2018 itu melibatkan 5.000 responden dari latar belakang dan usia berbeda.

Hasilnya cukup menarik, rata-rata seseorang berhenti mengeksplorasi musik baru saat berusia 30 tahun. Namun, setiap negara berbeda-beda rentangnya, Prancis sudah mulai mengalami saat seseorang berusia 27 tahun.

Kemudian, Jerman, Inggris dan Amerika masing-masing mengalami 31,30, dan 29 tahun. Pada usia tersebut, mereka mengalami apa yang disebut sebagai masa paralisis. Hal ini yang barangkali juga membuat musik lawas terlihat lebih menarik.


Pengaruhi Warna Musik Sekarang 

Pengunjung memilih CD yang dijual di Record Store Day (RSD) 2024 di Jakarta, Sabtu (27/3/2024) (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Abdurachman)
Musik lawas tak hanya berdampak pada pendengarnya. Musik lawas juga turut memengaruhi warna musik sekarang. Sejumlah musisi baik global maupun Indonesia, menggunakan formula musik lawas untuk karya-karya anyar mereka sekaligus menjadikannya ciri khas tersendiri.

Nuran mengatakan ada banyak musisi Indonesia sekarang yang akhirnya mengambil referensi musik lama untuk turut mewarnai karya-karyanya. Sebut saja misalnya White Shoes and the Couples Company.

Karya-karya musisi seperti White Shoes and the Couples Company banyak membawa warna musik 70-an. Bukan hanya dari musik saja, fesyen yang dikenakan pun demikian. Lalu, grup Diskoria juga karyanya banyak membawa kembali kejayaan warna-warna disko era 80-an.

“Fleur juga sempat memainkan musik rock n roll 1860-an. Band rock seperti Sangkakala, Tiger Paw, Bangkar, sampai Easy Peacy, setia dengan looks dan musik heavy metal dekade 1980-an,” imbuhnya.

Beberapa musisi lain yang lebih baru, seperti Iqbaal Ramadhan, juga mencoba mengusung musik 90-an. Dalam projek bernama BAALE tersebut, Iqbaal mencoba merekam rasa dan interpretasinya pada hal yang begitu disukainya, yakni segala hal tentang 1990-an.

Dia belum lama ini baru saja merilis album debutnya bernama Fortuna. Melalui album tersebut, Iqbaal ingin membawa semangat masa lalu yang dikerjakan pada masa sekarang, untuk kemudian bisa dinikmati hingga masa yang akan datang.

Dalam menggarap album ini, Iqbaal terinspirasi dengan fenomena subkultur menarik yang terjadi sejak era 1980-an akhir hingga awal 2000-an awal. Menurutnya, ada banyak hal menarik yang kemudian memunculkan budaya arus baru, dari media cetak, televisi, fesyen, kesenian, musik, hingga film. 

“Lagu-lagu yang aku dengar hari ini, kayanya banyak terinspirasi dari lagu era 1990-an. Jadi, bisa dibilang 1990-an adalah akar dari apa yang aku gemari sekarang. Aku berusaha mengungkapkan itu di album ini,” imbuhnya. 

Iqbaal mengatakan referensi sekaligus inspirasi bermusiknya tidak jauh dari Blur atau band britpop lainnya yang cukup bersinar di era 90-an. Dari sana, dirinya kemudian mencoba mengembangkannya lagi. “Gue pribadi lebih condong ke 90-an UK, masanya britpop gitu. Secara personal, gue lebih nikmati bentuk band gitu dan kayaknya gue itu suka ke britpop,” imbuhnya.


Daya Pikat Piringan Hitam 

Musisi memasang piringan hitam saat acara pembukaan Pabrik Piringan Hitam Pertama di Indonesia di PHR Pressing, Tangerang, Banten, Sabtu (5/8/2023). (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti)
Nuran mengatakan tak hanya soal warna musik, rilisan fisik seperti piringan hitam kini juga kembali digandrungi. Nuran menyebut beberapa faktor yang mendasari itu di antaranya soal potensi jadi koleksi, punya nilai lebih, tren back to retro, hingga kesukaan terhadap analog yang muncul lagi.

Kemudian, kebangkitan piringan hitam juga didorong oleh makin seringnya musisi independen dan arus utama yang menghargai nilai artistik dan estetika format tersebut, yang sering kali merilis edisi khusus atau konten eksklusif berbentuk piringan hitam. 

Menurut laporan Research and Markets bertajuk Laporan Bisnis Rekaman Vinyl 2023-2030, pasar piringan hitam diproyeksikan mencapai US$2,4 Miliar pada 2030.

“Di Indonesia juga makin gede. Sampai ada vinyl plant di dalam negeri kan, itu kerja sama PHR Senayan dan Elevation Record. Sekarang, makin banyak juga toko piringan hitam, baik yang ada tokonya maupun online,” tuturnya.

Sejak 2007, setiap 20 April dunia bahkan kini secara rutin merayakan Record Store Day (RSD). RSD merupakan acara tahunan yang merayakan toko kaset mandiri dan rilisan fisik musik di seluruh dunia. Di Indonesia, perayaan ini turut rutin digelar sejak 2012 hingga sekarang. 

Baca juga: White Shoes & The Couples Company Rilis Video Musik 'Halaman Ekstra' yang Penuh Nuansa Malam

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

Catat, Segini Kadar Kolesterol Normal Pria dan Wanita Berdasarkan Usia

BERIKUTNYA

Hypereport: Romantisasi Masa Lalu pada Desain Interior & Arsitektur

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: