Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid bersama dengan narasumber lainya di Studio mataWaktu (Sumber gambar: Hypeabis.id/ Salsabila Rahmadhany)

Memperkuat Literasi Demi Menangkal Propaganda

29 September 2024   |   21:16 WIB
Image
Yudi Supriyanto Jurnalis Hypeabis.id

Di dunia yang serba digital dan teknologi yang kian berkembang, propaganda kian masif dan tidak begitu terasa. Literasi menjadi salah satu cara bagi individu untuk mengetahui dan memahami bahwa suatu pesan merupakan bentuk propaganda.

Deretan poster terpajang di Studio Yayasan Riset Visual mataWaktu. Poster-poster itu menunjukkan berbagai macam propaganda yang dilakukan oleh Jepang, Belanda, dan juga tentara kemerdekaan yang melakukan gerilya.

Lewat poster tersebut terpampang jelas cara para individu atau organisasi di belakangnya bekerja membuat propaganda. Salah satu di antaranya adalah berjudul We Will Never Stop Attacking (1943) dari Saburo Miyamoto.

Baca juga: Proses Kreatif The Brandals Bikin Karya-karya yang Sarat Pesan Sosial Politik

Koleksi perpustakaan Nasional Indonesia itu merupakan poster patriotik resmi yang dicetak oleh Asosiasi Seni Angkatan Darat Jepang. Poster tersebut menggambarkan seorang Prajurit Senior infanteri dengan bayonet tetap menyerang ke depan diikuti oleh tank sambil menginjak bendera Amerika dan Inggris.

Teks di depan dimulai dengan baris puisi Jepang abad ke-8 dan diikuti dengan beberapa terjemahan kata di dalamnya, antara lain "Kami tidak akan pernah berhenti menyerang," Hari Peringatan Angkatan Darat ke-38" dan "Kementerian Angkatan Darat.

Poster dari Asosiasi Seni Angkatan Darat Jepang itu rasanya akan sangat sulit ditemui. Media propaganda mengalami pergerseran seiring perubahan zaman dan teknologi.

Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid menilai bahwa perbedaan yang mencolok antara propaganda pada era dahulu dengan saat ini adalah media. “Lanskapnya itu kan berubah sekali,” katanya.

Dia mengatakan bahwa orang pada zaman dahulu harus mencetak poster propaganda dan segala macamnya. Sementara pada saat ini, pesan propaganda mendapatkan bantuan dari mesin berupa algoritma dan sebagainya.

Mesin pencarian seperti Google dan sebagainya membaca pencarian individu ketika berselancar di dunia maya. Informasi tentang penjelajahan individu tersebut menjadi “senjata” bagi mesin propaganda global lantaran organisasi di belakangnya mendesain sesuai dengan informasi tersebut.

“Itu sebabnya kadang-kadang muncul dalam bentuk-bentuk yang mengejutkan.  Kita enggak menyangka, ternyata dibalik lucu-lucuan ada pesan politik yang luar biasa kuat,” ujarnya.

Tidak hannya itu, gambaran yang digunakan oleh pembuat propaganda juga tidak lagi seperti zaman dahulu. Jika dahulu kerap menampilkan sosok yang kuat melawan yang lemah dan sebagainya, penyebar propaganda pada saat ini justru menampilkan gambaran yang berbeda, yakni tidak berani, lemah, dan sebagainya.

Digitalisasi juga membuat para kreator propaganda pada era saat ini tidak perlu mengenal orang yang menjadi targetnya. Mereka cukup menggunakan data dan individu yang terkena propaganda kerap tidak merasakannya.

Sementara itu, pola propaganda dari zaman dahulu sampai saat ini masih sama meskipun menggunakan media yang berbeda, yakni pesan yang sederhana, repetitif, menyangkut emosi, dan sebagainya yang merupakan syarat pembuatan propaganda. “Daya cengkeram lebih luar biasa,” katanya.

Perubahan media ini juga membuat area pertarungan propaganda pun mengalami perubahan. Musisi dan juga vokalis The Brandals Eka Annash menilai area pertarungan atau perkumpulan propaganda sudah lebih ke layar kecil atau gawai pintar yang dipegang oleh setiap orang pada saat ini.

Tidak hanya itu, setiap orang juga sudah memiliki otoritas membuat propaganda sendiri dengan berbagai macam platform media sosial yang ada.

Dengan kata lain, “perang” propaganda yang terjadi pada saat ini sudah lebih kompleks dan rumit jika dibandingkan pada masa dahulu. Eka mengaku pernah merasakan “ganasnya” perang propaganda yang terjadi pada era digitalisasi.

Sejumlah postingan yang dibuat melalui salah satu akun media sosial mendapatkan “serangan” dari akun-akun lain yang kerap disebut dengan buzzer. Akun yang baru berusia 1 bulan sudah mendaptkan view hingga ribuan.

Tidak hanya itu, komentar yang masuk juga mencapai ribuan. Dari total tersebut, 85 persen di antaranya melakukan hujatan


Literasi

Dengan perubahan media propaganda, Hilmar menilai penting bagi setiap orang untuk meningkatkan literasi, sehingga tidak mudah termakan propaganda yang dibuat oleh pihak-pihak tertentu. Selain itu, literasi juga penting karena merupakan obat penawar paling hebat.

“kalau kita mengerti urusannya, enggak akan mudah juga dimanipulasi fakta dan sebagainya,” ujar Hilmar.

Dia menilai bahwa propaganda efektif di kalangan yang susah dan orang dengan literasi rendah. Orang yang berada dalam kondisi susah seperti bisnis yang sedang terganggu merupakan “lahan subur” bagi penyebar propaganda karena mereka memiliki kepentingan tertentu.

Propaganda efektif terhadap orang dengan literasi rendah telah terjadi pada masa Nazi. Pada saat itu, orang-orang dengan literasi rendah berbondong-bondong menjadi bagian Nazi dan melupakan perbedaan yang ada.

Dia mengatakan bahwa individu dengan literasi yang bagus akan dapat memahami apa yang sebenarnya terjadi di balik suatu narasi propaganda. “Kita sudah tahu ujungnya di mana sih ini sebenarnya,” ujarnya.

Masyarakat dengan literasi yang baik akan memiliki daya cerna kebudayaan yang lebih kuat, sehingga propaganda- propaganda yang menguntungkan pihak tertentu dan dapat memecah belah tidak mudah “dimakan”.

Baca juga: 6 Pameran Seni September 2024, Ada Propaganda: Official Hoax hingga Tanah Air Gerilya

Editor: Puput Ady Sukarno

SEBELUMNYA

Resep Sandwich Tuna Mayo, Camilan Lezat dan Sehat untuk Keluarga

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: