Mengungkai Refleksi Sosial dalam Pameran Komunikasih Vs Komunikacau di Bentara Budaya Jakarta
27 September 2024 |
08:00 WIB
Bentara Budaya akhirnya membuka pameran kartun Komunikasih Vs Komunikacau di Bentara Budaya Art Gallery, Jakarta. Pameran yang berlangsung pada 26 September sampai 28 Oktober 2024 itu, menampilkan puluhan karya dari 19 seniman Indonesia.
Seteleng Komunikasih Vs Komunikacau dihelat untuk memeringati hari jadi Bentara Budaya yang ke-42. Ekshibisi ini juga dibuka dengan pementasan repertoar bertajuk Lakon Tragedi Tentang Otak yang Bermigrasi, besutan sutradara Putu Fajar Arcana.
Baca juga: Pameran Solo Perdana Seniman Thailand Korakrit Arunanondchai Siap Hadir di Museum MACAN
Seperti tajuknya, pameran ini mencoba menampilkan karya-karya para seniman yang mencoba merefleksikan seperti apa dunia komunikasi masyarakat hari ini. Setiap peserta menggambarkan situasi, kondisi, tabiat dan perilaku orang-orang dalam berkomunikasi, baik dalam ranah personal hingga kebijakan yang berdampak pada global.
Salah satunya terlihat dalam karya M Syaifuddin Ifoed, berjudul Bahaya Pelintiran (print digital, 42x30 cm, 2024) yang melukiskan miskonsepsi antara satu orang dengan yang lain. Pada salah satu gambar, seseorang membicarakan 'A' kemudian menjadi 'B', dan ditangkap lainnya, menjadi 'C', dan seterusnya.
Ada pula karya Tommy Thomdean, berjudul Chatbox (tinta, digital, di atas kanvas, 50x70cm, 2024) yang dengan satir membalikkan momen keseruan bercengkrama di dalam sebuah kotak tembus pandang. Sedangkan, kelimun orang di luar kotak itu justru sibuk asyik dengan gawai dan dunia simulakra mereka sendiri.
Lain lagi dengan karya Beng Rahadian yang mencoba merepresentasikan pola komunikasi ngopi di Indonesia. Lewat karya bertajuk Komunikopi (digital print di atas kanvas, 30x30 cm, 2014), Beng menghadirkan ilustrasi menggelitik mengenai perbedaan persepsi seseorang dalam memaknai budaya minum secangkir semangat itu dalam 15 karyanya.
Misalnya, seorang pelanggan yang memesan kopi Flores, tapi oleh bartender ingin disajikan dengan cara Americano, atau yang lain. Walakin, sang pelanggan mencak-mencak karena proses sajian dengan cara tersebut dianggap menggunakan kopi bukan dari Flores melainkan kopi dari Amerika.
"Ini kan sebenarnya persoalan bahasa. Persepsi budaya juga sangat berpengaruh. Di tempat kita [Indonesia] minum kopi itu kan umumnya hanya menyeduh bubuknya dengan air panas, tapi ada juga kan proses pembuatannya dengan cara yang lain," kata Beng.
Kurator Hilmi Faiq mengatakan, proses komunikasi masyarakat telah bertransformasi. Dulunya masyarakat dikenal lewat komunikasi tatap muka gethok tular, dimana sekali berkabar, info akan tersebar, tanpa teknologi apapun. Hanya dari mulut ke mulut dan seluruh warga kampung akan menerima pesan.
Namun, saat ini polanya telah berubah menjadi gethok digital. Di mana sekali pencet tombol, seluruh dunia akan tersenggol. Sehingga, informasi apa saja, dalam hitungan menit akan menyebar luas dan orang akan merespons, dan bereaksi berdasarkan persepsi yang mereka terima, di tengah kelindan informasi yang begitu cepat.
Citraan tersebut, terejawantah dalam karya Hardiman Radjab berjudul Suplemen, (media campuran, kinetik, 40x30 cm, 2024). Karya instalasi ini mengimak sebuah mulut yang dibentuk dari koper jinjing, yang di dalamnya terdapat berbagai lambang media sosial, dan hampir setiap hari digunakan publik. Namun, kopor itu dibiarkan setengah terbuka, seolah ingin memangsa sang empu.
Perkembangan teknologi komunikasi di satu sisi, menurut Hilmi memang menyuburkan proses demokratisasi. Akses yang kian mudah juga mendorong semua orang bisa berkomunikasi dengan siapa saja nyaris tanpa sekat kelas. Bahkan, seorang Presiden bisa disapa rakyat jelata di pedalaman kampung lewat media sosial. Begitu sebaliknya.
"Alhasil, orang akan memuja, atau bisa jadi malah mencela. Orang akan menebar rasa benci, atau memaki-maki. Informasi akan berkembang, ditambahi, dikurangi, didandani, atau dibiarkan apa adanya. Dalam kasus ini, informasi bisa mencerahkan, atau dapat pula menyesatkan," katanya.
Baca juga: Museum Nasional Indonesia Bakal Pamerkan Koleksi Repatriasi Puputan Badung & Era Singhasari
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Seteleng Komunikasih Vs Komunikacau dihelat untuk memeringati hari jadi Bentara Budaya yang ke-42. Ekshibisi ini juga dibuka dengan pementasan repertoar bertajuk Lakon Tragedi Tentang Otak yang Bermigrasi, besutan sutradara Putu Fajar Arcana.
Baca juga: Pameran Solo Perdana Seniman Thailand Korakrit Arunanondchai Siap Hadir di Museum MACAN
Seperti tajuknya, pameran ini mencoba menampilkan karya-karya para seniman yang mencoba merefleksikan seperti apa dunia komunikasi masyarakat hari ini. Setiap peserta menggambarkan situasi, kondisi, tabiat dan perilaku orang-orang dalam berkomunikasi, baik dalam ranah personal hingga kebijakan yang berdampak pada global.
Salah satunya terlihat dalam karya M Syaifuddin Ifoed, berjudul Bahaya Pelintiran (print digital, 42x30 cm, 2024) yang melukiskan miskonsepsi antara satu orang dengan yang lain. Pada salah satu gambar, seseorang membicarakan 'A' kemudian menjadi 'B', dan ditangkap lainnya, menjadi 'C', dan seterusnya.
Ada pula karya Tommy Thomdean, berjudul Chatbox (tinta, digital, di atas kanvas, 50x70cm, 2024) yang dengan satir membalikkan momen keseruan bercengkrama di dalam sebuah kotak tembus pandang. Sedangkan, kelimun orang di luar kotak itu justru sibuk asyik dengan gawai dan dunia simulakra mereka sendiri.
Lain lagi dengan karya Beng Rahadian yang mencoba merepresentasikan pola komunikasi ngopi di Indonesia. Lewat karya bertajuk Komunikopi (digital print di atas kanvas, 30x30 cm, 2014), Beng menghadirkan ilustrasi menggelitik mengenai perbedaan persepsi seseorang dalam memaknai budaya minum secangkir semangat itu dalam 15 karyanya.
Seseorang berdiri di depan karya Beng Rahadian berjudul Komunikopi dalam pameran Komunikasih Vs Komunikacau di Bentara Budaya Art Gellery. (sumber gambar: Hypeabis.id/Arief Hermawan P)
"Ini kan sebenarnya persoalan bahasa. Persepsi budaya juga sangat berpengaruh. Di tempat kita [Indonesia] minum kopi itu kan umumnya hanya menyeduh bubuknya dengan air panas, tapi ada juga kan proses pembuatannya dengan cara yang lain," kata Beng.
Kurator Hilmi Faiq mengatakan, proses komunikasi masyarakat telah bertransformasi. Dulunya masyarakat dikenal lewat komunikasi tatap muka gethok tular, dimana sekali berkabar, info akan tersebar, tanpa teknologi apapun. Hanya dari mulut ke mulut dan seluruh warga kampung akan menerima pesan.
Namun, saat ini polanya telah berubah menjadi gethok digital. Di mana sekali pencet tombol, seluruh dunia akan tersenggol. Sehingga, informasi apa saja, dalam hitungan menit akan menyebar luas dan orang akan merespons, dan bereaksi berdasarkan persepsi yang mereka terima, di tengah kelindan informasi yang begitu cepat.
Karya Hardiman Radjab berjudul Suplemen, (media campuran, kinetik, 40x30 cm, 2024) dalam Komunikasih Vs Komunikacau di Bentara Budaya Art Gellery. (sumber gambar: Hypeabis.id/Arief Hermawan P)
Perkembangan teknologi komunikasi di satu sisi, menurut Hilmi memang menyuburkan proses demokratisasi. Akses yang kian mudah juga mendorong semua orang bisa berkomunikasi dengan siapa saja nyaris tanpa sekat kelas. Bahkan, seorang Presiden bisa disapa rakyat jelata di pedalaman kampung lewat media sosial. Begitu sebaliknya.
"Alhasil, orang akan memuja, atau bisa jadi malah mencela. Orang akan menebar rasa benci, atau memaki-maki. Informasi akan berkembang, ditambahi, dikurangi, didandani, atau dibiarkan apa adanya. Dalam kasus ini, informasi bisa mencerahkan, atau dapat pula menyesatkan," katanya.
Baca juga: Museum Nasional Indonesia Bakal Pamerkan Koleksi Repatriasi Puputan Badung & Era Singhasari
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.