Industri Penerbitan Buku Terjepit Regulasi dan Penurunan Minat Baca
19 September 2024 |
08:30 WIB
Industri perbukuan di Indonesia tampaknya begitu menantang. Tidak hanya pandemi Covid-19 yang menjadi alasan mengapa industri literasi ini semakin terhimpit, namun juga kurangnya fasilitas untuk meningkatkan minat baca masyarakat.
Dalam catatan Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) bisnis penerbitan buku mengalami penurunan yang signifikan sejak 10 tahun lalu. Diperparah dengan adanya pandemi Covid-19 yang membuat sejumlah toko buku legendaris seperti Gunung Agung akhirnya gulung tikar karena kerugian yang terus membesar.
Baca juga: Memacu Penerbitan Novel Berbahasa Daerah di Negeri yang Kaya Bahasa
Pun ketika pandemi mereda. Ketua Umum Ikapi Arys Hilman Nugraha mengatakan industri penerbitan buku masih terengah. Toko buku yang masih bertahan menyiasati dengan memperkecil area ruang. Padahal, toko buku terbilang menjadi media terbesar bagi para penerbit dan penulis memasarkan dan menjual produknya dalam jumlah banyak.
Tak hanya buku umum, penerbitan buku pendidikan juga mengalami kemerosotan. Arys menyebut banyak penerbit buku pelajaran yang kesulitan karena saat ini pemerintah menutup akses penjualan atau pembelian buku sekolah.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Permendikbud Nomor 8 Tahun 2016 tentang buku yang digunakan oleh satuan pendidikan yang diperbolehkan. Sekolah kini dilarang membeli dan memperjual belikan buku di luar ketentuan.
"Sejumlah kepala daerah pun mengeluarkan peraturan pembelian buku bahkan kurang dari 5 persen dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). “Itu juga membuat dunia perbukuan kita mengalami kemerosotan,” ujar Arys kepada Hypeabis.id beberapa waktu lalu.
Arys menerangkan penjualan buku pelajaran hanya bisa dilakukan melalui marketplace milik Kemendikbud, SIPLah. Hanya, setiap buku yang ingin masuk ke sekolah, harus lulus penilaian dari Kemendikbud terlebih dahulu. Sementara kemampuan Kemendikbud untuk menyeleksi dan menilainya terbatas, sehingga tidak setiap saat penerbit bisa memasukkan bukunya ke marketplace tersebut.
Kalaupun lulus penilaian, buku tersebut harus memenuhi harga eceran tertinggi yang ditetapkan. Nah, ini menjadi kendala bagi penerbit umum. Oleh karena itu, banyak buku populer, tetapi tidak ada di sekolah karena penerbitnya keberatan jika harus dijual dengan harga eceran tertinggi yang ditetapkan Kemendikbud, yang biasanya membuat harga buku tersebut jatuh.
Sementara itu, Arys menyampaikan dasar literasi adalah kemampuan membaca, dalam arti melek huruf. Menurutnya, 96 persen masyarakat sejatinya bisa membaca, tetapi tingkat melek huruf ini harus dibantu dengan akses terhadap bahan bacaan.
Adanya toko buku, harga buku yang terjangkau, pameran buku, perpustakaan dengan koleksi yang menarik untuk didatangi dan dikunjungi, adalah akses terhadap bahan bacaan. Tinggal dilakukan pembinaan kebiasaan membaca.
Arys percaya minat baca masyarakat Indonesia sejatinya tidak rendah. Namun, tidak ada upaya yang signifikan, terutama dari pemerintah untuk membina kebiasaan membaca di tengah masyarakat. “Padahal literasi itu hanya berhasil kalau kinerja bacanya bagus. Kinerja baca bagus itu hanya bisa terjadi kalau memang kebiasaan membacanya tinggi,” tuturnya.
Ketika kinerja membacanya bagus, masyarakat akan memiliki kemampuan untuk bersikap kritis terhadap informasi yang diterima. Sayangnya berdasarkan hasil riset, Indonesia termasuk negara yang paling rendah dalam hal kemampuan membedakan fakta dan opini.
“Ini adalah hasil dari literasi yang rendah. Literasi yang rendah itu bukan karena tidak punya minat baca, tetapi karena memang tidak dibiasakan untuk membaca,” tegasnya.
Kendati demikian, menurutnya tidak banyak yang peduli terhadap situasi ini. Padahal pemerintah sendiri mencanangkan Indonesia Emas 2045. “Kalau literasinya ambruk seperti itu. Apa yang bisa kita harapkan nanti pada 2045?,” singgung Arys.
Oleh karena itu, butuh perbaikan dengan menghadirkan bahan bacaan yang cukup dan berkualitas guna meningkatkan literasi di tengah masyarakat. Dia berpendapat dukungan terhadap industri perbukuan sangat penting dilakukan pemerintah.
Arys berharap pemerintah setidaknya memberikan insentif terhadap industri penerbitan buku berupa pembebasan PPN terhadap buku yang terbit dan diperjualbelikan. Gerakan masyarakat untuk membaca buku juga perlu digalakkan.
Seorang pemimpin katanya harus menunjukkan bahwa dia mencintai buku sehingga masyarakat akan tahu bahwa buku sangatlah penting. “Sekarang ini percuma, kalaupun kita didorong-dorong bikin buku bagus juga percuma, karena yang bacanya juga nggak banyak, masyarakat tidak dibiasakan,” tegas Arys.
Tidak dipungkiri, bisnis penerbitan juga bersinggungan dengan fasilitas ruang baca seperti perpustakaan yang tersedia. Di Indonesia, perpustakaan yang kondisinya bagus jumlahnya tidak banyak, hanya berada di level pemerintah pusat atau di tingkat provinsi.
Kalaupun ada di tingkat desa, koleksi bukunya terbilang lama, tidak diperbaharui dan kehilangan aktualitasnya. Alhasil masyarakat tidak tertarik untuk datang ke perpustakaan.
Begitu pula perpustakaan di sekolah. Arys menjabarkan jumlah sekolah dasar yang memiliki perpustakaan sebanyak 61 persen, sementara hanya 19 persen dari jumlah tersebut memiliki kondisinya laik.
Kondisi ini juga terjadi di SMP hingga SMA. Bila akses bahan bacaan ini tidak diperbaiki, jangan berharap bahwa pembinaan kebiasaan membaca bisa dilakukan. Perlu diingat, jumlah pembaca yang sedikit pun membuat harga jual buku semakin mahal. Sebab buku yang diterbitkan jumlahnya tidak banyak.
Baca juga: Begini Cara Gramedia Mempertahankan Eksistensi di Industri Penerbitan
Editor: Dika Irawan
Dalam catatan Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) bisnis penerbitan buku mengalami penurunan yang signifikan sejak 10 tahun lalu. Diperparah dengan adanya pandemi Covid-19 yang membuat sejumlah toko buku legendaris seperti Gunung Agung akhirnya gulung tikar karena kerugian yang terus membesar.
Baca juga: Memacu Penerbitan Novel Berbahasa Daerah di Negeri yang Kaya Bahasa
Pun ketika pandemi mereda. Ketua Umum Ikapi Arys Hilman Nugraha mengatakan industri penerbitan buku masih terengah. Toko buku yang masih bertahan menyiasati dengan memperkecil area ruang. Padahal, toko buku terbilang menjadi media terbesar bagi para penerbit dan penulis memasarkan dan menjual produknya dalam jumlah banyak.
Tak hanya buku umum, penerbitan buku pendidikan juga mengalami kemerosotan. Arys menyebut banyak penerbit buku pelajaran yang kesulitan karena saat ini pemerintah menutup akses penjualan atau pembelian buku sekolah.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Permendikbud Nomor 8 Tahun 2016 tentang buku yang digunakan oleh satuan pendidikan yang diperbolehkan. Sekolah kini dilarang membeli dan memperjual belikan buku di luar ketentuan.
"Sejumlah kepala daerah pun mengeluarkan peraturan pembelian buku bahkan kurang dari 5 persen dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). “Itu juga membuat dunia perbukuan kita mengalami kemerosotan,” ujar Arys kepada Hypeabis.id beberapa waktu lalu.
Arys menerangkan penjualan buku pelajaran hanya bisa dilakukan melalui marketplace milik Kemendikbud, SIPLah. Hanya, setiap buku yang ingin masuk ke sekolah, harus lulus penilaian dari Kemendikbud terlebih dahulu. Sementara kemampuan Kemendikbud untuk menyeleksi dan menilainya terbatas, sehingga tidak setiap saat penerbit bisa memasukkan bukunya ke marketplace tersebut.
Kalaupun lulus penilaian, buku tersebut harus memenuhi harga eceran tertinggi yang ditetapkan. Nah, ini menjadi kendala bagi penerbit umum. Oleh karena itu, banyak buku populer, tetapi tidak ada di sekolah karena penerbitnya keberatan jika harus dijual dengan harga eceran tertinggi yang ditetapkan Kemendikbud, yang biasanya membuat harga buku tersebut jatuh.
Sementara itu, Arys menyampaikan dasar literasi adalah kemampuan membaca, dalam arti melek huruf. Menurutnya, 96 persen masyarakat sejatinya bisa membaca, tetapi tingkat melek huruf ini harus dibantu dengan akses terhadap bahan bacaan.
Adanya toko buku, harga buku yang terjangkau, pameran buku, perpustakaan dengan koleksi yang menarik untuk didatangi dan dikunjungi, adalah akses terhadap bahan bacaan. Tinggal dilakukan pembinaan kebiasaan membaca.
Arys percaya minat baca masyarakat Indonesia sejatinya tidak rendah. Namun, tidak ada upaya yang signifikan, terutama dari pemerintah untuk membina kebiasaan membaca di tengah masyarakat. “Padahal literasi itu hanya berhasil kalau kinerja bacanya bagus. Kinerja baca bagus itu hanya bisa terjadi kalau memang kebiasaan membacanya tinggi,” tuturnya.
Ketika kinerja membacanya bagus, masyarakat akan memiliki kemampuan untuk bersikap kritis terhadap informasi yang diterima. Sayangnya berdasarkan hasil riset, Indonesia termasuk negara yang paling rendah dalam hal kemampuan membedakan fakta dan opini.
“Ini adalah hasil dari literasi yang rendah. Literasi yang rendah itu bukan karena tidak punya minat baca, tetapi karena memang tidak dibiasakan untuk membaca,” tegasnya.
Kendati demikian, menurutnya tidak banyak yang peduli terhadap situasi ini. Padahal pemerintah sendiri mencanangkan Indonesia Emas 2045. “Kalau literasinya ambruk seperti itu. Apa yang bisa kita harapkan nanti pada 2045?,” singgung Arys.
Oleh karena itu, butuh perbaikan dengan menghadirkan bahan bacaan yang cukup dan berkualitas guna meningkatkan literasi di tengah masyarakat. Dia berpendapat dukungan terhadap industri perbukuan sangat penting dilakukan pemerintah.
Arys berharap pemerintah setidaknya memberikan insentif terhadap industri penerbitan buku berupa pembebasan PPN terhadap buku yang terbit dan diperjualbelikan. Gerakan masyarakat untuk membaca buku juga perlu digalakkan.
Seorang pemimpin katanya harus menunjukkan bahwa dia mencintai buku sehingga masyarakat akan tahu bahwa buku sangatlah penting. “Sekarang ini percuma, kalaupun kita didorong-dorong bikin buku bagus juga percuma, karena yang bacanya juga nggak banyak, masyarakat tidak dibiasakan,” tegas Arys.
Tidak dipungkiri, bisnis penerbitan juga bersinggungan dengan fasilitas ruang baca seperti perpustakaan yang tersedia. Di Indonesia, perpustakaan yang kondisinya bagus jumlahnya tidak banyak, hanya berada di level pemerintah pusat atau di tingkat provinsi.
Kalaupun ada di tingkat desa, koleksi bukunya terbilang lama, tidak diperbaharui dan kehilangan aktualitasnya. Alhasil masyarakat tidak tertarik untuk datang ke perpustakaan.
Begitu pula perpustakaan di sekolah. Arys menjabarkan jumlah sekolah dasar yang memiliki perpustakaan sebanyak 61 persen, sementara hanya 19 persen dari jumlah tersebut memiliki kondisinya laik.
Kondisi ini juga terjadi di SMP hingga SMA. Bila akses bahan bacaan ini tidak diperbaiki, jangan berharap bahwa pembinaan kebiasaan membaca bisa dilakukan. Perlu diingat, jumlah pembaca yang sedikit pun membuat harga jual buku semakin mahal. Sebab buku yang diterbitkan jumlahnya tidak banyak.
Baca juga: Begini Cara Gramedia Mempertahankan Eksistensi di Industri Penerbitan
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.