Program Sastra Masuk Kurikulum, Begini Saran Implementasinya dari Kalangan Sastrawan
27 May 2024 |
16:03 WIB
Sastra telah resmi masuk dalam Kurikulum Merdeka. Hal ini dilakukan oleh Kemendikbudristek RI guna memperkuat kompetensi dan budaya literasi pelajar lewat buku untuk meningkatkan minat baca, empati, kreativitas, dan nalar kritis sehingga siswa dapat menjadi pembaca kritis sekaligus reflektif.
Seiring dengan itu, Kemendikbudristek juga telah meluncurkan buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra. Buku setebal hampir 800 halaman itu berisikan daftar 177 buku sastra sebagai rekomendasi bacaan di sekolah sesuai jenjang pendidikan, serta panduan bagi pendidik untuk menghadirkan kegiatan bersastra di kelas.
Baca juga: Begini Pro Kontra Soal Sastra Masuk Kurikulum Sekolah di Kalangan Sastrawan
Panduan itu menyebut ada beberapa faktor yang dapat dipertimbangkan dalam memilih buku, mulai dari kebutuhan kelas, kemampuan peserta didik, topik yang sedang hangat dibicarakan, minat peserta didik, hingga sejauh mana kesiapan pendidik untuk dapat membawakan buku pilihan.
Merespons program ini, sejumlah pegiat sastra memberikan rekomendasi terkait implementasi pengajaran sastra di kelas yang bisa dilakukan oleh guru dan peserta didik.
Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta Anton Kurnia menilai hal utama yang perlu difokuskan dalam program Sastra Masuk Kurikulum adalah membuat anak sekolah terbiasa membaca karya-karya sastra, serta bisa mengakumulasi pengetahuan yang mereka dapatkan dari membaca dengan sejumlah kegiatan yang menyenangkan di kelas.
Namun, sebelumnya, penting untuk menyediakan buku-buku karya sastra di perpustakaan sekolah yang telah direkomendasikan oleh pemerintah, dan bekerja sama dengan sejumlah penerbit. Setelah itu, guru bisa memberikan tugas kepada siswa untuk membaca, misalnya 1 buku dalam waktu seminggu.
Setelah selesai membaca, guru bisa meminta murid untuk menuliskan sinopsis kritis terhadap buku itu secara tertulis, dilanjutkan dengan mendikusikannya di kelas. Dalam praktiknya, guru diharapkan bisa membimbing murid untuk saling berdiskusi dan menuangkan pendapatnya, alih-alih hanya memberikan materi satu arah.
"Jadi secara personal murid sudah membaca dengan aktif, kemudian membuat sinopsis yang kritis, dan nanti didiskusikan di kelas. Kalau di kelas ada 25 siswa, berarti ada 25 pendapat yang berbeda dan guru bisa membimbing mereka untuk berdiskusi bukan memberi petuah, sehingga pengetahuan itu berjalan dan lebih punya makna dari proses membaca ini," kata Anton kepada Hypeabis.id.
Anton berharap dengan kegiatan aktif seperti itu, membaca dan menulis menjadi keterampilan yang dapat dikuasai oleh para siswa. Bukan hanya memastikan siswa bisa membaca, tetapi juga melatih mereka untuk membaca dengan pemahaman serta mengakumulasi pengetahuan mereka.
Begitupun dengan keterampilan menulis. Bukan untuk mengarahkan siswa menjadi penulis, tetapi keterampilan untuk menyampaikan gagasan secara tertulis dengan jelas dan kritis. Menurutnya, dua hal itu kerap terlupakan dalam proses pengajaran siswa di sekolah. Pelajaran bahasa dan sastra di kelas tak lebih dari kegiatan menghafal, sama seperti kebanyakan mata pelajaran yang lain.
"Kemampuan literasi itu penting di segala bidang. Tidak sekadar melek huruf, tapi juga memahami bacaan, menjadi bagian dari akumulasi pengetahuan, dan kemampuan memilah informasi. Itu semua harus diajarkan dan dilatih terus-menerus. Jadi saya sangat berharap banyak dengan program ini," ujarnya.
Sementara itu, Sastrawan Hasan Aspahani berpendapat karya-karya sastra sudah semestinya digunakan sebagai bahan-bahan bacaan untuk siswa di sekolah, alih-alih menghadirkan teks deskripsi yang tidak jelas untuk mengajarkan materi-materi yang berkaitan dengan bahasa Indonesia. Misalnya, menggunakan cerpen dan puisi sebagai narasi soal-soal bahasa Indonesia.
Selain itu, dia juga mengusulkan daftar buku-buku yang menjadi rekomendasi dalam panduan yang telah diterbitkan Kemendikbudristek bisa menjadi pilihan guru untuk mengajak siswa membaca dan mendiskusikannya. Diskusi yang dilakukan juga bisa mengaitkannya dengan teori-teori yang tengah dibahas dalam mata pelajaran bahasa Indonesia.
"Misalnya belajar tentang teks dekripsi, eksposisi, metafor, repetisi, atau rima. Guru mengajarkan itu semua misalnya lewat puisi karya Joko Pinurbo, tapi tentu saja gurunya harus membacanya terlebih dahulu," kata pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua I Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta itu.
Menurut Hasan, sastra bisa membantu siswa dalam hal pembentukan karakter yang utuh, serta melatih mental karena berani untuk mengekspresikan pendapat dan gagasan dengan membuat karya misalnya puisi dan cerpen. "Sastra itu bisa mengajak pembacanya belajar tentang moral dan kehidupan bukan dengan dicekokin, tapi lewat membaca cerita," ucapnya.
Anton menilai ke depan, program Sastra Masuk Kurikulum perlu terus dilanjutkan secara sistematis dan terencana. Misalnya, ada pembaruan daftar rujukan buku bacaan sastra secara berkala. Selain itu, perlu juga melakukan improvisasi dengan mempertimbangkan sejumlah masukan yang diberikan oleh para pegiat sastra terkait program ini.
"Saya berharap ke depannya program ini dikembangkan dengan cara lebih implementatif, bukan hanya selesai di memberikan panduan bacaan sastra. Jadi bagaimana terkait mengimplementasikan keterampilan membaca dan menulis. Misalnya, dengan menghadirkan program sastrawan masuk ke sekolah," imbuhnya.
Sastra Masuk Kurikulum merupakan program yang diinisiasi oleh Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan sejak 2023 dengan mengumpulkan beberapa sastrawan, akademisi, dan pendidik yang memiliki perhatian khusus terhadap pemanfaatan sastra dalam pembelajaran di sekolah.
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Anindito Aditomo, mengatakan karya sastra adalah media pembelajaran yang sangat potensial. Karya sastra, katanya, mengundang pembaca untuk menghayati dunia batin tokoh-tokoh yang melihat dan mengalami sesuatu dengan caranya masing-masing.
"Karya-karya sastra terbaik juga mengupas isu-isu kompleks dan menyajikan perdebatan moral yang mendorong pembaca keluar dari pemikiran hitam-putih, dan memikirkan ulang opini serta prasangka-prasangka yang mungkin tak disadari sebelumnya," katanya.
Anindito menambahkan agar murid mendapat pengalaman transformatif, tidak cukup meminta mereka sekadar membaca karya sastra. Mereka juga perlu mendiskusikan dan memperdebatkan beragam tafsir terhadap sebuah karya. Mereka perlu dipandu mengubah tafsir yang mereka pilih ke wahana yang berbeda, dari prosa ke puisi atau sebaliknya; dari teks menjadi gambar, drama, atau film; serta dari fiksi menjadi kritik sastra atau karya ilmiah.
"Model pembelajaran seperti ini terbuka lebar di Kurikulum Merdeka. Harapan saya, suatu saat nanti penggunaan karya sastra menjadi bagian normal dari pembelajaran di sekolah seluruh Indonesia, sehingga melahirkan generasi baru pembaca sastra yang kritis dan reflektif," imbuhnya.
Baca juga: Rekomendasi 177 Buku Sastra Kemendikbud Tuai Kritik di Kalangan Penulis
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Seiring dengan itu, Kemendikbudristek juga telah meluncurkan buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra. Buku setebal hampir 800 halaman itu berisikan daftar 177 buku sastra sebagai rekomendasi bacaan di sekolah sesuai jenjang pendidikan, serta panduan bagi pendidik untuk menghadirkan kegiatan bersastra di kelas.
Baca juga: Begini Pro Kontra Soal Sastra Masuk Kurikulum Sekolah di Kalangan Sastrawan
Panduan itu menyebut ada beberapa faktor yang dapat dipertimbangkan dalam memilih buku, mulai dari kebutuhan kelas, kemampuan peserta didik, topik yang sedang hangat dibicarakan, minat peserta didik, hingga sejauh mana kesiapan pendidik untuk dapat membawakan buku pilihan.
Merespons program ini, sejumlah pegiat sastra memberikan rekomendasi terkait implementasi pengajaran sastra di kelas yang bisa dilakukan oleh guru dan peserta didik.
Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta Anton Kurnia menilai hal utama yang perlu difokuskan dalam program Sastra Masuk Kurikulum adalah membuat anak sekolah terbiasa membaca karya-karya sastra, serta bisa mengakumulasi pengetahuan yang mereka dapatkan dari membaca dengan sejumlah kegiatan yang menyenangkan di kelas.
Namun, sebelumnya, penting untuk menyediakan buku-buku karya sastra di perpustakaan sekolah yang telah direkomendasikan oleh pemerintah, dan bekerja sama dengan sejumlah penerbit. Setelah itu, guru bisa memberikan tugas kepada siswa untuk membaca, misalnya 1 buku dalam waktu seminggu.
Setelah selesai membaca, guru bisa meminta murid untuk menuliskan sinopsis kritis terhadap buku itu secara tertulis, dilanjutkan dengan mendikusikannya di kelas. Dalam praktiknya, guru diharapkan bisa membimbing murid untuk saling berdiskusi dan menuangkan pendapatnya, alih-alih hanya memberikan materi satu arah.
"Jadi secara personal murid sudah membaca dengan aktif, kemudian membuat sinopsis yang kritis, dan nanti didiskusikan di kelas. Kalau di kelas ada 25 siswa, berarti ada 25 pendapat yang berbeda dan guru bisa membimbing mereka untuk berdiskusi bukan memberi petuah, sehingga pengetahuan itu berjalan dan lebih punya makna dari proses membaca ini," kata Anton kepada Hypeabis.id.
Anton berharap dengan kegiatan aktif seperti itu, membaca dan menulis menjadi keterampilan yang dapat dikuasai oleh para siswa. Bukan hanya memastikan siswa bisa membaca, tetapi juga melatih mereka untuk membaca dengan pemahaman serta mengakumulasi pengetahuan mereka.
Begitupun dengan keterampilan menulis. Bukan untuk mengarahkan siswa menjadi penulis, tetapi keterampilan untuk menyampaikan gagasan secara tertulis dengan jelas dan kritis. Menurutnya, dua hal itu kerap terlupakan dalam proses pengajaran siswa di sekolah. Pelajaran bahasa dan sastra di kelas tak lebih dari kegiatan menghafal, sama seperti kebanyakan mata pelajaran yang lain.
"Kemampuan literasi itu penting di segala bidang. Tidak sekadar melek huruf, tapi juga memahami bacaan, menjadi bagian dari akumulasi pengetahuan, dan kemampuan memilah informasi. Itu semua harus diajarkan dan dilatih terus-menerus. Jadi saya sangat berharap banyak dengan program ini," ujarnya.
Ilustrasi siswa membaca buku. (sumber foto: Pexels/RDNE Stock project)
Selain itu, dia juga mengusulkan daftar buku-buku yang menjadi rekomendasi dalam panduan yang telah diterbitkan Kemendikbudristek bisa menjadi pilihan guru untuk mengajak siswa membaca dan mendiskusikannya. Diskusi yang dilakukan juga bisa mengaitkannya dengan teori-teori yang tengah dibahas dalam mata pelajaran bahasa Indonesia.
"Misalnya belajar tentang teks dekripsi, eksposisi, metafor, repetisi, atau rima. Guru mengajarkan itu semua misalnya lewat puisi karya Joko Pinurbo, tapi tentu saja gurunya harus membacanya terlebih dahulu," kata pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua I Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta itu.
Menurut Hasan, sastra bisa membantu siswa dalam hal pembentukan karakter yang utuh, serta melatih mental karena berani untuk mengekspresikan pendapat dan gagasan dengan membuat karya misalnya puisi dan cerpen. "Sastra itu bisa mengajak pembacanya belajar tentang moral dan kehidupan bukan dengan dicekokin, tapi lewat membaca cerita," ucapnya.
Anton menilai ke depan, program Sastra Masuk Kurikulum perlu terus dilanjutkan secara sistematis dan terencana. Misalnya, ada pembaruan daftar rujukan buku bacaan sastra secara berkala. Selain itu, perlu juga melakukan improvisasi dengan mempertimbangkan sejumlah masukan yang diberikan oleh para pegiat sastra terkait program ini.
"Saya berharap ke depannya program ini dikembangkan dengan cara lebih implementatif, bukan hanya selesai di memberikan panduan bacaan sastra. Jadi bagaimana terkait mengimplementasikan keterampilan membaca dan menulis. Misalnya, dengan menghadirkan program sastrawan masuk ke sekolah," imbuhnya.
Sastra Masuk Kurikulum merupakan program yang diinisiasi oleh Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan sejak 2023 dengan mengumpulkan beberapa sastrawan, akademisi, dan pendidik yang memiliki perhatian khusus terhadap pemanfaatan sastra dalam pembelajaran di sekolah.
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Anindito Aditomo, mengatakan karya sastra adalah media pembelajaran yang sangat potensial. Karya sastra, katanya, mengundang pembaca untuk menghayati dunia batin tokoh-tokoh yang melihat dan mengalami sesuatu dengan caranya masing-masing.
"Karya-karya sastra terbaik juga mengupas isu-isu kompleks dan menyajikan perdebatan moral yang mendorong pembaca keluar dari pemikiran hitam-putih, dan memikirkan ulang opini serta prasangka-prasangka yang mungkin tak disadari sebelumnya," katanya.
Anindito menambahkan agar murid mendapat pengalaman transformatif, tidak cukup meminta mereka sekadar membaca karya sastra. Mereka juga perlu mendiskusikan dan memperdebatkan beragam tafsir terhadap sebuah karya. Mereka perlu dipandu mengubah tafsir yang mereka pilih ke wahana yang berbeda, dari prosa ke puisi atau sebaliknya; dari teks menjadi gambar, drama, atau film; serta dari fiksi menjadi kritik sastra atau karya ilmiah.
"Model pembelajaran seperti ini terbuka lebar di Kurikulum Merdeka. Harapan saya, suatu saat nanti penggunaan karya sastra menjadi bagian normal dari pembelajaran di sekolah seluruh Indonesia, sehingga melahirkan generasi baru pembaca sastra yang kritis dan reflektif," imbuhnya.
Baca juga: Rekomendasi 177 Buku Sastra Kemendikbud Tuai Kritik di Kalangan Penulis
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.