Penulis sekaligus Ketua Komite Sastra DKJ Anton Kurnia. (Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta)

Eksklusif Ketua Komite Sastra DKJ Anton Kurnia: Perlu Serius Menghidupkan Jakarta sebagai Kota Sastra

07 September 2024   |   08:53 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Penulis Anton Kurnia baru pulang dari Jerman. Lawatannya ke Negeri Industri itu selama tiga bulan ialah untuk mengikuti program residensi penulis yang diorganisasi UNESCO City of Literature Heildelberg bekerja sama dengan Kulturstiftung Rhein-Neckar-Kreis, Yayasan Kebudayaan Persilangan Sungai Rhein & Neckar.
 
Program residensi itu diadakan untuk para penulis yang bermukim dan produktif berkarya di wilayah yang telah dinobatkan sebagai Kota Sastra oleh UNESCO. Anton menjadi satu-satunya perwakilan Indonesia bahkan Asia yang terpilih untuk mengikuti residensi itu bersama 55 penulis lainnya dari seluruh dunia.

Baca juga: Eksklusif Seniman Landung Simatupang: Menekuni Teater Sebagai Hobi Ketimbang Gila
 
Selama tiga bulan di Jerman, Anton melakukan banyak kegiatan yang berkaitan dengan kesusastraan, mulai dari riset, menulis, membina jejaring, menghadiri berbagai acara, hingga mengerjakan novel yang diajukannya dalam proposal seleksi residensi tersebut.
 
Penulis berusia 50 tahun itu mendapatkan kesempatan mengikuti residensi tersebut lantaran Jakarta yang telah dinobatkan sebagai Kota Sastra. Dengan status itu, terbuka kesempatan bagi para penulis di Jakarta untuk mengikuti ragam kegiatan dan program yang dibuat oleh negara-negara yang juga dinobatkan sebagai Kota Sastra, untuk berjejaring dan residensi.
 
Seperti diketahui, Jakarta terpilih sebagai City of Literature atau Kota Sastra Dunia oleh UNESCO pada 8 November 2021. Dengan predikat itu, Jakarta masuk sebagai salah satu dari 49 kota lain di dunia yang tergabung dalam jaringan kota kreatif dunia atau UNESCO’s Creative City Network (UCCN).
 
Anton bercerita tentang kesannya terhadap Heidelberg yang benar-benar menghidupkan wilayahnya sebagai Kota Sastra. Predikat City of Literature benar-benar terasa di setiap sudut kota, di taman-taman, toko buku, perpustakaan, halte bus, bahkan di stasiun kereta. Sastra dirayakan sebagai bagian dari keseharian kehidupan.
 
Semua itu, katanya, tidak terlepas dari pemerintah setempat yang sangat mendukung pergerakan kesastraan di Heidelberg baik dari segi infrastruktur maupun pendanaan. Predikat Kota Sastra menjadi hal yang sangat berharga dan prestisius, sehingga benar-benar direalisasikan, dirayakan, dan terus dijalankan secara berkelanjutan.
 
"Jakarta juga mestinya bisa seperti itu. Tapi nyatanya kita ini seperti orang yang punya perhiasan, tapi tidak mengerti bahwa ini barang mahal. Kita sudah punya [predikat Kota Sastra], jangan disia-siakan," katanya saat ditemui Hypeabis.id di kantor Dewan Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM) Cikini Jakarta, Jumat (6/9/2024).
 
Anton Kurnia ialah penulis, penerjemah, dan editor. Sebagai penulis, pria kelahiran 9 Agustus 1974 ini telah memublikasikan sejumlah buku, antara lain kumpulan esai Menuliskan Jejak Ingatan (2019) dan Ensiklopedia Sastra Dunia: Pengantar Menjelajah dan Kawan Membaca (2019), beberapa novel seperti Majnun (2022), dan Nostalgia kisah-Kisah Ganjil tentang Maut dan Cinta (2023), serta kumpulan cerpen Insomnia (2004) yang telah diterjemahkan ke bahasa Inggris dan bahasa Arab.
 
Buku terjemahannya yang sudah terbit berjumlah lebih dari 60, antara lain Cinta Semanis Racun: 99 Cerita dari 9 Penjuru Dunia (2016) dan Maut Lebih Kejam daripada Cinta (2008). Sesekali dia juga menjadi narasumber dalam diskusi dan lokakarya tentang penulisan, penerjemahan, dan perbukuan di dalam dan luar negeri, antara lain di Frankfurt Book Fair 2019.
 
Anton juga pernah bekerja di dunia penerbitan sebagai Manajer Redaksi Penerbit Serambi, Jakarta, dan Direktur Penerbit Baca, Tangerang Selatan. Termasuk, sempat aktif sebagai Koordinator Program Penerjemahan Sastra di Komite Buku Nasional yang dibentuk oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2016-2019.
 
Pada Juli 2023, Anton dipercaya sebagai Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) untuk periode 2023-2026. Kepada Hypeabis.id, Anton membagikan rencana upayanya dan tim di DKJ untuk bisa lebih mendekatkan sastra dengan keseharian warga kota di Jakarta, program-programnya, termasuk pandangannya terkait realisasi Jakarta sebagai Kota Sastra.
 
Berikut adalah petikan obrolan kami.
 
Anda terpilih sebagai Ketua Komite Sastra DKJ, kira-kira apa yang ingin ditawarkan untuk menghidupkan sastra di Jakarta?
Itu pertanyaan sederhana tapi jawabannya sulit. Saya anggap ini tugas kolektif sebenarnya. Kami bersama-sama ada lima orang di Komite Sastra, saya, Hasan Aspahani, Dewi Kharisma Michellia, Imam Maarif, dan Fadjriah Nurdiasih, merumuskan program.
 
Sederhananya yang kami lakukan adalah melaksanakan program-program yang sudah ada yang kami anggap baik, dan itu bagian dari legasi. Misalnya Sayembara Novel dari 1974 itu terus akan kami lanjutkan dengan keinginan untuk peringkatan kualitas, mencari terobosan baru, mencari karya-karya baru yang baik.
 
Tahun ini juga kami akan melanjutkan tradisi lomba Kritik Sastra yang kami kaitkan dengan peringatan 100 tahun AA. Navis. Selain itu, kami juga membuat program-program baru misalnya merintis kerja sama dengan dinas terkait sastra masuk sekolah.
 
Ada juga nanti program podcast yang akan membicarakan isu-isu sastra yang menarik yang dibawakan dengan menyenangkan, tidak melulu serius. Intinya adalah kami ingin mendekatkan sastra ini ke khalayak, menjadi sesuatu yang bisa sehari-hari. Tidak berjarak.
 

 
Bagaimana Anda melihat minat warga Jakarta terhadap kegiatan sastra?
Sebetulnya sastra berkembang di berbagai kalangan, kalau saya lihat ya. Komunitas-komunitas sastra itu hidup kan, tapi mungkin masalahnya adalah pada bagaimana mendekatkan sastra ke kalangan yang lebih luas gitu, terutama generasi muda.
 
Kemudian yang juga perlu dikembangkan adalah bagaimana buku itu tidak menjadi barang yang mahal gitu. Sebenarnya orang-orang senang baca kok, orang-orang suka buku. Tapi jangan mahal-mahal gitu. Hal ini berkaitan dengan kebijakan bagaimana mengatur tata niaga perbukuan.
 
Jangan misalnya prosentasi terbesar itu tersudut ke toko buku. Pemerintah juga mungkin bisa membuat kebijakan membebaskan pajak kertas supaya harga buku bisa lebih murah, termasuk membebaskan pajak penulis. Pokoknya supaya buku ini bisa lebih murah.
 
Kemudian distribusi buku yang bisa lebih mudah, kalau bicara konteks nasional. Kalau di Jakarta sebetulnya kita lebih beruntung karena relatif banyak toko buku gitu ya. Tapi kalau kita bicara konteks nasional kan bahkan untuk menemukan bukunya sendiri sulit tuh buat kawan-kawan yang di pulau-pulau yang di Indonesia Timur gitu. Ini harus dipikirkan.
 
Karena saya yakin selain juga meningkatkan kecerdasan, akses buku yang mudah juga penting untuk menemukan bibit-bibit penulis karya sastra yang baru. Saya yakin ada banyak sekali cerita yang tersimpan dan itu menunggu dikeluarkan, ditulis oleh anak-anak di berbagai pulau. Dan itu akan tersemai oleh buku-buku yang bisa mereka akses.
 
Sebenarnya sejauh mana peran DKJ untuk mendorong geliat sastra di Jakarta?
Tahun ini DKJ mengangkat tema Reposisi: Seni, Warga, Kota. Artinya kami ingin kesenian di Jakarta melibatkan lebih banyak peran warga kotanya. Kami ingin merangkul semua kesenian, tidak hanya mencakup seni yang elitis gitu ya.
 
Kadang-kadang TIM sebagai pusat kesenian dianggap hanya mengandalkan acara-acara disini gitu, tampak eksklusif, padahal tidak seperti itu. Kami juga melakukan hal yang sangat teknis menjangkau akar rumput gitu. Jadi memang idenya seperti itu, yang nantinya diimplementasikan ke seluruh komite di DKJ termasuk sastra.
 
Adakah tantangan yang dihadapi untuk mewujudkan ide itu?
Dalam praktiknya kami terkendala banyak hal gitu ya. Misalnya anggaran. Saya harus bilang bahwa tahun ini DKJ mengalami kesulitan bujet gitu ya, karena penurunan anggaran yang luar biasa besar. Tahun lalu itu untuk program saja ya, secara keseluruhan DKJ itu kami dapat sekitar Rp6 miliar ya. Itu pun kecil sebetulnya karena kami ada 6 komite.
 
Sekarang ini hanya Rp1,3 miliar selama setahun untuk seluruh DKJ ini dan itu berat. Padahal kita punya tanggung jawab besar. Sebetulnya kami mestinya kan lebih untuk dalam konteks pemikiran, merancang program dan sebagainya, dalam platform-platform intelektual. Tapi karena situasi itu mau enggak mau kami ya harus juga cari sponsorship. Ini satu situasi yang tidak ideal, dan mestinya ada penganggaran yang lebih masuk akal. Saya berharap tahun depan tidak seperti ini lagi, sehingga kami bisa berperan optimal.
 

 
Bagaimana Anda memaknai Jakarta sebagai Kota Sastra?
Predikat Jakarta sebagai Kota Sastra itu sesuatu yang prestisius buat saya, dan itu perlu kita hargai dan digunakan dengan seoptimal mungkin. Saya pribadi menganggap Jakarta cukup layak sebagai Kota Sastra, tetapi potensi-potensinya harus dioptimalkan. Dalam hal ini peran pemerintah daerah sangat diperlukan.
 
Kemudian penyadaran kepada khalayak luas terkait Jakarta sebagai Kota Sastra. Perlu suatu penyemarakan yang lebih luas. Termasuk dari pihak penyelenggaranya sendiri. Kerjasama yang lebih erat antara pemangku kepentingan sastra di Jakarta, agar kehidupan sastra di Jakarta ini lebih semarak. 
 
Jakarta itu sebetulnya kalau kita lihat dari sejarah sastra dunia, menjadi tempat penting bagi proses kreatif. Misalnya ada seorang penyair dari Chile namanya Pablo Neruda yang pernah tinggal di Jakarta sekitar 1930-an dan menulis buku puisinya disini. Sebetulnya itu heritage juga, dan mungkin bisa dicari jejak rumahnya dan dibuatkan plakat.
 
Misalnya cari rumah tinggalnya Chairil Anwar yang bisa menjadi destinasi wisata kunjungan bagi publik, dan bisa dicari tokoh-tokoh lain. Jadi jejak-jejak sastra itu menubuh di sekujur tubuh kota, yang kemudian menyemangati predikat sebagai Kota Sastra. Plus, seperti Heildelberg, kalau perlu lakukan juga riset mendalam terkait warisan historis sastra di Indonesia yang bisa menjadi satu buku komprehensif terkait Jakarta sebagai Kota Sastra.
 
Menurut Anda, tolok ukur atau parameter Kota Sastra itu seperti apa?
Kalau buat saya, selain tonggak-tonggak kesastraan seperti tadi ya, kegiatan sastra, perpustakaan, dan lain-lain, juga aktivitas warganya yang memang mencerminkan itu. Ada keterlibatan warga dalam sastra yang hidup gitu. Tapi kan ini perlu ditunjang oleh infrastruktur. Jangan orang senang membaca di mana-mana, tapi bukunya tidak ada atau buku mahal. 
 
Saya lihat di Heidelberg itu di berbagai sudut kota ada perpustakaan umum. Isinya hanya berupa rak buku tidak terlalu besar, taruh beberapa buku, yang nanti secara organik orang boleh ambil ataupun nyumbang. Lalu masyarakat juga terus digiatkan, didorong, dan diberi kesadaran untuk bisa mengakses buku.
 
Masyarakat menjadi tokoh penting untuk menghidupkan Kota Sastra, menurut Anda sejauh mana itu sudah terwujud di Jakarta? 
Kalau saya lihat secara sporadis, itu sebenarnya sudah terjadi secara organik. Di tempat-tempat tertentu itu terjadi. Tetapi kan itu sporadis, tidak terhubung. Bukan sesuatu yang organik, yang tersistematis.

Nah, idealnya itu kan ada sesuatu yang sistematis, berkelanjutan dan terhubung, sehingga ini tidak hanya menjadi sesuatu yang gerak-gerik saja tapi menjadi satu gerakan yang masif dan bermanfaat untuk kebaikan bersama. Secara parsial, menurut saya warga Jakarta di berbagai tingkatannya, mereka punya ketertarikan. Tapi kemudian bagaimana ini bisa jadi lebih semarak. 
 
Menurut pandangan Anda, secara infrastruktur apakah Jakarta sudah memadai untuk mengakomodir realisasi Kota Sastra?
Mestinya kita bisa lebih baik dari ini dan memang kita masih membutuhkan pengembangan, dukungan jelas terutama dari pihak pemerintah daerah. Yang paling sederhana itu act knowledge, mengakui, memahami dan menghargai bahwa ini milik kita yang berharga. Itu aja dulu. Ini city of literature, ini kota sastra.
 
Kemudian kalau kita punya sesuatu yang berharga, dalam konteks pribadi kita ngapain sih? Pasti kita akan gunakan dengan sebaiknya. Nah itu, gunakan dengan optimal, diakomodasi. City of literature ini bukan sekadar predikat, tapi harus dihidupkan. Perlu biaya juga dan memang begitu, supaya bergerak.
 
Sebenarnya Jakarta itu kan anggarannya besar, problemnya adalah political will [kemauan politik] aja menurut saya, dan kepedulian pemegang kebijakan ini. Sayangnya belum ada satu sistem atau blueprint-nya. Artinya kalau sistemnya sudah berjalan dengan baik, kan sebetulnya mau siapapun kepala dinasnya, mau siapapun gubernurnya, program tetap jalan, gitu. Seharusnya begitu.Tapi ternyata saat ini, itu tidak terjadi.
 
Kami dari dari Dewan Kesenian Jakarta dengan senang hati membantu kalau itu akan diprogramkan lebih lanjut. Kami punya banyak ide. Kami bisa berdayakan potensi-potensi yang ada dalam konteks ini kan di komunitas sastra misalnya. Bagaimana kita bisa menyinergikan itu, kemudian mengoptimalkan potensi-potensi yang ada, dan tidak secara sporadis, tapi sebagai satu program yang sistematis dan berkelanjutan.

Baca juga: Eksklusif Butet Kartaredjasa: Saat Seni Menjelma Laku Spiritual & Kritik Sosial Politik

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News

Editor: Nirmala Aninda
 

SEBELUMNYA

Cek 4 Agenda Seru untuk Merayakan Musim Gugur & Halloween di Hong Kong 

BERIKUTNYA

11 Event Seru Akhir Pekan di Jakarta 7-8 September 2024

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: