Penghargaan Sastra Masih Terbatas pada Puisi dan Prosa
08 September 2021 |
12:59 WIB
Penghargaan karya sastra masih terbatas antara puisi maupun prosa saja. Padahal karya sastra cukup beragam jenisnya. Ada genre sastra anak, sastra yang ditulis dalam bahasa daerah, komik, sastra lisan, hingga sastra yang didongengkan.
Hal ini disampaikan oleh Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Prof. Dr. Melani Budianta. Ia mengatakan bahwa banyak genre sastra lain yang belum diperhatikan dalam sebuah penghargaan.
“Belum ada penghargaan terhadap pendongeng atau penulis komik. Hal ini mungkin remeh temeh, tetapi kalau tidak ada komik, tidak ada komik wayang, pendongeng, mungkin saya tidak bisa jadi pakar sastra saat ini,” ujarnya dalam diskusi virtual bertajuk Harga Sastra dalam Penghargaan Sastra Kita yang digelar Dewan Kesenian Jakarta, Selasa (7/9/2021) malam.
Dia menyebut komik memang bisa disebut sebagai karya sastra. Begitu pula dengan sastra lisan yang didongengkan. Semua ini menurutnya menjadi bagian dari gairah imajinasi.
Selain kurangnya keberagaman dalam penghargaan karya sastra. Melani menyebut akses terhadap karya sastra yang diproduksi di berbagai pelosok daerah untuk ikut dalam penghargaan juga masih sulit.
“Apakah kita dapat mengakses dan mengenalnya. Badan bahasa mempunyai balai-balai. Itu bisa mencatat kegiatan sastra bahkan bisa mengadakan lomba-lomba lokalnya,” tuturnya.
Memang masih ada kesenjangan bagi para penulis di daerah mulai dari teknologi, media, dan wadah untuk menyalurkan karyanya. Untuk itu menurutnya perlu ada pencarian bakat untuk menarik dan menelisik karya sastra di daerah.
Dahulu katanya hal ini sempat dilakukan oleh Ajip Rosidi. Namun langkah itu tidak terlihat lagi semenjak sastrawan yang memenangkan sejumlah penghargaan tersebut meninggal dunia pada 2020 lalu.
“Artinya laju kepunahan sastra dalam bahasa daerah masih cukup tinggi. Bagaimana Pemda, Dinas Kebudayaan punya kepedulian untuk hal ini,” ucap Melani.
Editor: Avicenna
Hal ini disampaikan oleh Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Prof. Dr. Melani Budianta. Ia mengatakan bahwa banyak genre sastra lain yang belum diperhatikan dalam sebuah penghargaan.
“Belum ada penghargaan terhadap pendongeng atau penulis komik. Hal ini mungkin remeh temeh, tetapi kalau tidak ada komik, tidak ada komik wayang, pendongeng, mungkin saya tidak bisa jadi pakar sastra saat ini,” ujarnya dalam diskusi virtual bertajuk Harga Sastra dalam Penghargaan Sastra Kita yang digelar Dewan Kesenian Jakarta, Selasa (7/9/2021) malam.
Dia menyebut komik memang bisa disebut sebagai karya sastra. Begitu pula dengan sastra lisan yang didongengkan. Semua ini menurutnya menjadi bagian dari gairah imajinasi.
Selain kurangnya keberagaman dalam penghargaan karya sastra. Melani menyebut akses terhadap karya sastra yang diproduksi di berbagai pelosok daerah untuk ikut dalam penghargaan juga masih sulit.
“Apakah kita dapat mengakses dan mengenalnya. Badan bahasa mempunyai balai-balai. Itu bisa mencatat kegiatan sastra bahkan bisa mengadakan lomba-lomba lokalnya,” tuturnya.
Memang masih ada kesenjangan bagi para penulis di daerah mulai dari teknologi, media, dan wadah untuk menyalurkan karyanya. Untuk itu menurutnya perlu ada pencarian bakat untuk menarik dan menelisik karya sastra di daerah.
Dahulu katanya hal ini sempat dilakukan oleh Ajip Rosidi. Namun langkah itu tidak terlihat lagi semenjak sastrawan yang memenangkan sejumlah penghargaan tersebut meninggal dunia pada 2020 lalu.
“Artinya laju kepunahan sastra dalam bahasa daerah masih cukup tinggi. Bagaimana Pemda, Dinas Kebudayaan punya kepedulian untuk hal ini,” ucap Melani.
Editor: Avicenna
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.