Seniman Butet Kartaredjasa dalam diskusi pameran Melik Nggendong Lali di Galnas (Sumber gambar: Hypeabis.id/Arief Hermawan P)

Eksklusif Butet Kartaredjasa: Saat Seni Menjelma Laku Spiritual & Kritik Sosial Politik

27 April 2024   |   14:09 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Setelah lama tidak menggelar pameran tunggal, Butet Kartaredjasa kembali turun gunung menampilkan karya-karya teranyar. Seniman serba bisa itu tampil solo lewat ekshibisi bertajuk Melik Nggendong Lali, di Galeri Nasional Indonesia pada 26 April-25 Mei 2024.

Dalam pameran tunggal keduanya ini, Butet memacak koleksi karyanya yang dihasilkan selama dua setengah tahun terakhir dalam berbagai medium. Karya-karya tersebut merupakan hasil laku spiritualnya lewat kegiatan melatih keluwesan tangan bernama wirid visual.

Ya, meski populer sebagai Raja Monolog dan penggawa Teater Gandrik, Butet sebenarnya adalah seniman lukis. Dia merupakan alumni sekolah menengah seni dan pernah belajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Sejak remaja, Butet mencari nafkah dengan membuat lukisan vignet. 

Baca juga: Eksklusif Slamet Rahardjo: Memaknai Hidup Sebagai Panggung Sandiwara

Sore itu, di ruang depan Gedung A Galeri Nasional Indonesia, Hypeabis.id berkesempatan mengikuti diskusi proses pengkaryaan dan ihwal pameran Butet. Bersama Hamid Basyaib dan Kurator Asmudjo Jono Irianto, Butet pun bercerita mengenai bagaimana dia memulai wirid visual hingga mewujud dalam pameran ini.

Lantas, apa alasan utama seniman kawakan itu menekuni seni kaligram ini? Bagaimana dia melihat kondisi lanskap seni rupa Tanah Air, terutama dengan munculnya teknologi terbarukan? Berikut cuplikan wawancaranya.  
 

ajaja

Seniman Butet Kartaredjasa dalam diskusi pameran Melik Nggendong Lali di Galnas (Sumber gambar: Hypeabis.id/Arief Hermawan P)

Bagaimana Anda memulai ihwal laku wirid visual ini, sejak kapan. Bisa dijelaskan?
Lewat laku wirid visual ini saya itu sekarang cuma ini ingin menegaskan. Jadi kalau orang lain sakit itu menyebut dirinya musibah, saya saat itu justru menyebutnya jadi berkah. Sebab lewat momen inilah saya kembali melakukan ritual wirid visual yang dimulai pada 5 Maret 2022.  

Momen tersebut juga ada hubungannya dengan IKN. Ini saat Arkand Bodhana [guru spiritual Butet-red] yang menginginkan perubahan Indonesia dengan nama Nusantara. Di sisi lain, kok kebetulan negara memutuskan nama ibu kota baru Indonesia menjadi Nusantara.

Arkian, saya memutuskan bahwa saya mendapat mukjizat dari sakit saya. Oleh karena itu saya bertekad untuk mempertahankan dan merawat kesehatan dengan menulis wirid lagi. Tidak hanya menulis nama Bambang Ekolojo Butet Kartaredjasa sebagai personal, tapi juga ingin mewirid negeri saya lewat nama Nusantara. 

Kegiatan ini biasanya saya mulai sebelum tidur, sambil ngobrol dengan teman-teman saya. Inilah cara saya melakukan ibadah. Lalu setelah setahun melakukan itu, saya ulang lagi hingga menjadi banyak aset. Insting saya sebagai seniman pun melenting, terutama untuk menjadikannya sebagai karya seni.

Ada satu karakter yang menarik dalam pameran ini, yakni tokoh Petruk, di mana Anda menuliskan  Nusantara sebagai isian di dalamnya. Bisa dijelaskan wirid apa yang ingin disampaikan lewat visual ini?

 
Butet Kartaredjasa berpose dengan salah satu karyanya di pameran Melik Nggendong Lali. (Sumber gambar: Hypeabis.id/Arief Hermawan)
Sebelum saya menuliskan menuliskan wirid itu biasanya saya membuat sketsa. Apapun. Inspirasinya bisa datang dari mana saja. Apa yang saya baca lihat, dan yang lain. Nah situasi sosial politik Indonesia saat ini itu mengingatkan akan sebuah sanepan (perumpamaan) Petruk Dadi Ratu.

Secara umum, sanepa yang juga sering dipentaskan dalam wayang ini mengisahkan tokoh Punakawan yang mendadak jadi penguasa. Karakter ini ada yang saya isi dengan nama saya, dan juga Nusantara. Cuma dalam elaborasinya, saya membayangkan ini tokoh Petruk yang disumbat telinganya. Petruk yang tuli permanen, tidak bisa diingatkan.

Karakter ini merupakan jongos, representasi dari wong cilik. Mendapat tahta, tapi saat diingatkan tidak mau, disuruh turun rewel, bahkan ngamuk. Oh ini berarti tuli. Oleh karena itu saya gambarkan lewat tokoh yang telinganya disumbat.

Tokoh Petruk ini juga saya jadikan patung yang wajahnya saya kasih prada emas. Jadi bukan kulitnya, yang membuat orang terpana saat melihat parasnya. Lalu di belakangnya ada tulisan Melik Nggendong Lali yang menjadi tagline dari pameran ini, yang biasanya terdapat di lukisan kaca rumah adat di Jawa Tengah.

Kalimat tersebut bermakna, kepemilikan, dalam hal ini memiliki harta atau kekuasaan, sering membuat kita lupa. Jadi, ini warning kepada semua orang supaya eling terhadap sangkan paraning dumadi. Selalu ingat asal muasal kita dan akan menuju ke mana. Melik Nggendong Lali juga jadi semacam value yang bersandar pada moralitas dan etika.

Bagaimana Anda melihat perubahan teknologi saat ini, dan dampaknya terhadap seniman?
Saat ini kita berada di tengah budaya digital. Setiap perubahan-perubahan itu kan ujungnya adalah memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia. Dari sinilah arsip-arsip tersebut saya susun dijadikan kolase, diprint di atas kanvas menjadi satu draf baru. Blueprint tersebut bisa saya cetak positif atau negatif, bahkan bisa dikomposisikan ulang.

Ada banyak objek wirid visual yang harinya berbeda, seperti gambar binatang, manusia yang bisa disusun ulang menjadi karya baru. Saya juga bisa menciptakan adegan dari material ini, karena saya orang teater. Makanya dalam pameran ini ada banyak begitu karya karena saya itu memang opo-opo wae isoh (apa saja bisa).

Di lelaku inilah saya juga kembali menemukan kemerdekaan saya sebagai seniman visual. Sebab, saat saya kuliah dulu yang dirasa paling memberikan kemerdekaan adalah desain elementer. Sumber pengetahuan seni rupa itu ada di situ semua, dan saya bisa bebas memainkan media, mulai dari garis, komposisi, bentuk dan segalanya.
 

agagag

Pengunjung memotret salah satu karya Butet Kartaredjasa dalam pameran Melik Nggendong Lali di Galnas (Sumber gambar: Hypeabis.id/Arief Hermawan P)
 

Dalam pameran ini Anda banyak mengeksplorasi material, mulai dari kertas hingga keramik. Seperti apa tantangannya? Selain itu, bagaimana Anda melihat lanskap seni rupa Tanah Air saat ini?
Kalau saya, lewat pengkaryaan ini lebih ingin memaksimalkan kemerdekaan. Saya sudah tidak hirau lagi dengan lanskap seni rupa mau seperti apa. Isme-isme itu sudah saya tinggalkan. Pokoknya saya mau menjadi manusia merdeka yang mengartikulasikan pikiran gagasan kreatif. Ini bisa di mana saja, baik di panggung, di seni visual, bahkan di dunia literasi saya juga menulis. 

Baca juga: Eksklusif Harry de Fretes: Lika-liku Lenong Rumpi dan Upaya Menjaga Eksistensi Budaya Betawi

Saya sebagai praktisi juga ingin bebas. Jadi ketika ada orang yang bilang, lho Butet kok sekarang berkhianat dari panggung. Enggak laku di pertunjukan sekarang pindah ke seni rupa ya? Ya silahkan, karena bagi saya tidak ada batas teritori dalam berkesenian. Begitu. 

Editor: Fajar Sidik 

SEBELUMNYA

5 Rekomendasi Setting Powder Merek Lokal, Studio Tropik sampai Make Over

BERIKUTNYA

6 Artis Ramai-ramai Resign dari AOMG dalam Sebulan Terakhir

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: