Aktor gaek Landung Simatupang tetap setia menekuri teater meski kerap tak bisa membuat dapurnya ngebul. (sumber gambar: Istimewa)

Eksklusif Seniman Landung Simatupang: Menekuni Teater Sebagai Hobi Ketimbang Gila

16 August 2024   |   20:30 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Nama Landung Simatupang tentu sudah tidak asing lagi di dunia seni peran. Aktor berambut perak itu selalu berhasil memukau penonton dengan aktingnya yang luwes. Selain sensibilitas tubuh, dia juga memiliki perbawa yang low profile dengan intonasi yang jelas saat membahasakan kata.

Lebih dari lima dekade, pria kelahiran Yogyakarta, 25 November 1951 itu berkiprah di dunia panggung dan film. Lahir dari pasangan guru seni dan bidan, Landung memang sudah menggandrungi kesenian sejak kanak-kanak. Bahkan, hingga masa tuanya dia masih konsisten menggeluti teater.

Baca juga: Eksklusif Ahmad Mahendra: Pameran Repatriasi 2024 Suguhkan Koleksi Lebih Lengkap

Belum lama ini, Hypeabis.id berkesempatan berbincang-bincang dengan peraih nominasi Pemeran Pendukung Pria Terbaik (FFI 2011) itu di Komunitas Salihara, Jakarta. Di sela-sela latihannya menggarap Pentas Ceramah 50 Tahun Seni Peran di Jalur Olahraga Kesehatan, Landung berbagi secuil pengalamannya sebagai anak wayang.
 

Aktor Landung Simatupang saat gladi resik pementasan pada Senin, (12/8/24) (sumber gambar: Salihara/Sumber gambar: Witjak Widhi Cahya)

Aktor Landung Simatupang saat gladi resik pementasan pada Senin, (12/8/24) (sumber gambar: Salihara/Witjak Widhi Cahya)

Di bawah perdu pohon, sore mulai menggelayut. Panas udara Jakarta memuai bersama asap rokoknya yang mengebul. Sosok rendah hati ini, merefleksikan apa yang telah dilalui di tengah tempik sorak penonton atau, hari-hari sunyi saat berkutat dengan proses yang tak mudah di dunia kesenian.

Yohanes Rusyanto Landung Laksono Simatupang, itulah nama lengkapnya. Si gaek yang tetap setia menekuri teater meski kerap tak bisa membuat dapurnya ngebul. Namun, alih-alih menjadikan teater sebagai profesi, Landung menegaskan, bahwa seni peran hanyalah sekedar hobi, tinimbang gila, katanya.

Lantas, bagaimana Landung melihat lanskap seni pertunjukan Indonesia kiwari dibandingkan pada masanya? Apakah setelah sejauh ini, teater belum bisa dijadikan sandaran hidup bagi para pekerja di dalamnya? Berikut secuplik obrolannya, setelah mengalami sedikit editorial yang bisa Genhype baca:

Lima dekade bukan waktu yang sebentar. Apa yang membuat Anda tetap tegak berdiri, meski sempat mengatakan bahwa seseorang tidak bisa hidup dan mengandalkan teater?

Kalau yang saya rasakan ya, setiap proses pementasan, setiap proses pemeranan yang saya lakukan, saya selalu menemukan hal yang baru, sisi yang baru tentang kehidupan dan juga tentang diri saya sendiri. Saya banyak melakukan pementasan.

Berperan untuk lakon-lakon yang bernaskah, ada naskahnya tertulis. Saya membaca naskah itu, saya berusaha memahaminya, saya berusaha menemukan pengalaman kemanusiaan yang tertuang di naskah itu. Dan saya melihat diri saya di situ.

Ini lho, karya seni itu kan sebenarnya salah satu fungsinya adalah sarana bagi publik untuk memaknakan dirinya sendiri. Mengenali pengalamannya. Saya misalnya melihat lukisan Affandi yang kayak gitu. Bisa saya artikan saya melihat amarah saya di situ. Jadi ada hal baru tentang diri saya. Tentang pengalaman saya yang dimaknakan atau diperjelas oleh karya seni, termasuk naskah drama. 

 



Aktor Landung Simatupang (sumber gambar: Salihara/Sumber gambar: Witjak Widhi Cahya)
Saya baca Endgame [drama karya Samuel Beckett-red] misalnya. Ketika saya menyutradarai Endgame, saya melihat diri saya di situ. Terkurung dalam kebiasaan-kebiasaan yang sudah gak punya makna lagi. Misalnya, Kloff dan Ham. Kenapa sih Kloff itu selalu ngusung tangga setiap pagi, taruh di situ, naik, lihat keluar jendela, dan terus diulang.

Itu enggak ada alasannya. Itu sesuatu kebiasaan. Habit yang sudah mati, yang sebenarnya tidak bermakna. Itulah absurditas hidup. kita terjebak dalam habit yang kita sudah tidak ngerti lagi maknanya. Nggak ada maknanya, tapi terus kita lakukan. Apakah itu terjadi dalam kehidupan sehari-hari? Iya tentu saja.

Misalnya, saya ketemu orang. "Eh mas, ke mana"? Apa artinya pertanyaan saya itu? Kenapa saya harus tanya ke sana? Itu habit yang mati, yang sudah kehilangan makna, tapi terus kita praktikkan sehari-hari. Ada orang jalan, "Loh kok cuma jalan?" Loh, ya kenapa sih kalau cuma jalan? Kalau kita gali, banyak sekali hal-hal absurd dalam kehidupan kita ini, seperti itu. Itu yang saya maksud.

Setiap naskah itu, saya melihat diri saya di situ, saya melihat bagaimana saya selalu cenderung menyalahkan orang lain, seperti Ham menyalahkan Kloff, bentak-bentak begini..begini. Saya melihat bahwa saya kadang-kadang justru tergantung pada orang yang saya kira saya kuasai, termasuk Ham kepada Kloff. Dia selalu tergantung pada Kloff, tapi selalu dimaki-maki. 

Jadi itu yang membuat saya tidak kapok-kapok, tetap menekuni teater, drama. Karena lewat karya itu, karya drama tertulis, saya membaca, saya menemukan pengalaman-pengalaman. Lalu saya bisa memaknakan pengalaman-pengalaman saya, dan saya ingin menularkan hasil cerapan saya dari naskah itu kepada publik.

Itu mengasyikkan, walaupun tidak mendatangkan duit. Ya biarlah saya mencari duit dari tempat yang lain. Saya menerjemahkan buku, saya ngajar ini itu, saya main film. Namun, kalau main film paling senang kalau aktingnya yang cuma sedikit, satu hari syuting atau tiga syuting days itu sudah cukup lah. Karena itu untuk menegakkan periuk nasi. Walaupun saya menikmati itu, tapi kalau main film memang untuk mencari duit.

Baca juga: Eksklusif Komika Mo Sidik: Pentingnya Special Show di dalam Ekosistem Stand up Comedy

Apakah sampai sekarang teater memang belum bisa dijadikan sebagai sandaran hidup?

Sampai sekarang belum. Ya itu tadi, Teater koma misalnya. Mereka tidak hidup dari teater loh. Mas Nano Riantiarno, Mbak Ratna Riantiarno, juga teman-teman yang lain itu. Sekarang diteruskan anaknya, Rangga Buana, kan enggak dari teater hidupnya. Karena memang harus diakui saat ini belum bisa. Mungkin suatu saat bisa. 

Tetapi pengalaman saya ketika saya bergabung dengan Black Swan Theatre Company di Australia, saya bekerja di sana, sama itu ternyata. Aktor-aktor teater di sana juga tidak hidup dari teater. Ada salah satu teman saya aktor Australia di sana yang mengaku pada saya, dia bisa hidup dari teater karena istrinya yang juga aktris, itu kebetulan laku untuk iklan televisi.

Dia bilang, dari situlah kami hidup. Enggak dari pementasan-pementasan seperti itu. Padahal itu teater di Australia, yang pentasnya itu bisa satu bulan penuh, naskah yang sama, tiap hari full house.Tetap juga belum bisa untuk hidup. 

Jadi kesimpulan saya, ya teater untuk saya pribadi paling nggak. Nggak usah untuk hidup lah, itu untuk berekspresi, untuk mengembangkan diri. Dan seperti olahraga kesehatan, untuk menjaga supaya tidak gila karena frustasi, karena melihat keadaan seperti ini [perang, dehumanisasi, dll].

Kita bikin sesuatu yang membuat kita senang, membuat kita punya harapan untuk masih bisa melanjutkan kehidupan. Tapi kalau saya memang pengennya main teater, sampai tua. Saya sekarang 73. Tapi masih tetap senang. Itu yang untuk dinikmati. 

Apabila melihat masa silam.  Pada dekade 70-an misalnya, kita tahu ada tiga pendekar teater, seperti  Rendra, Arifin C. Noer, dan Teguh Karya  (Steve Liem).  Anda juga besar pada dekade tersebut. Refleksi apa mungkin bisa Anda petik dan dibagi ke ekosistem teater sekarang? 

 
Aktor Landung Simatupang (sumber gambar: Salihara/Witjak Widhi Cahya)
Yang utamanya itu ketiga orang itu ya. Itu kan mereka benar-benar mengalami, melakoni proses belajar. Proses belajar sebelum akhirnya Rendra jadi seterkenal, itu Arifin jadi sukses. Itu yang mereka belajar kebanyakan. 

Nah proses belajar, proses berlatih itu yang menurut saya makin lama makin berkurang minatnya. Sekarang kan seperti mie semuanya kan. Maunya instan. Kalau di grup saya dulu itu. ada dua hari dalam seminggu itu berlatih latihan dasar namanya.  Walaupun kami tidak akan pentas tetap latihan dasar itu kami lakukan. Latihan tubuh, latihan vokal, latihan imajinasi, latihan bekerja sama, latihan improvisasi.

Sekarang ini kelompok-kelompok yang seperti itu sejauh pengamatan saya itu berkurang. Sekarang orang, kalau di teater kita mau pentas apa? Langsung bikin naskah, bagi naskah, ngapalin. Sementara hal-hal yang dasar sebelumnya gimana sih berlatih? Itu kan jarang dilakukan. Kalau kita mau belajar dari tiga pendekar itu, kita menekuni lagi proses, dan kembali ke hal-hal dasar.

Aktor Stanislavski kan bilang, kalau pianis itu tiap hari sekian jam melatih jari-nya, melatih jangkauannya di klip piano. Orang Jepang, pelukis tradisional Jepang, setiap hari walaupun dia sudah pelukis besar, itu menghabiskan waktu menggambar lingkaran sesempurna mungkin. Hanya itu.  Jadi, semuanya sebagai sebuah laku. Sebagai upaya untuk menjaga posisi di mana dia berada di ekspresi kesenian. Nah itu yang saya kira kurang.

Apa faktor yang mungkin menurut pandangan Anda berpengaruh? Apakah memang kita saat ini sudah banyak pilihan lain? 

Pilihan lain banyak. Sekarang ini pilihan lain banyak. Yang mudah-mudah banyak. Apa itu? Yang segala macam, yang online-an itu banyak. Rupanya orang muda merasa sudah cukup exist kalau dia muncul di media sosial itu. Nah, itu. Dan juga pilihan-pilihan makin banyak. 

Ketika saya masih muda dulu memang nggak banyak pilihan untuk rekreasi. Main teater. Kalau sekarang kan banyak sekali. Jadi itu tantangan untuk kami juga, orang-orang teater. Nah, cara saya menjawab tantangan adalah mengatakan bahwa teater nggak harus berdarah-darah kok.

Kalau kamu punya waktu, intens, ayo. Tapi nggak usah itu satu-satunya kegiatanmu. Nggak usah itu satu-satunya tujuan hidupmu. Justru itu yang mau saya tawarkan dari [pentas] ceramah ini. Marilah kita ada di teater itu sebagai salah satu kegiatan. 

Sebagai salah satu hobi dalam hidup anak-anak muda yang bisa menyenangkan. Dan tidak usah terpatok kalau menjadi seakan-akan teater itu memiliki misi yang sangat besar. Nah, itu zamannya Rendra dulu. Kita tidak perlu hilangkan itu. Namun, kita kasih sesuatu yang menjajari itu. Ya, bisa begitu. 

Tapi teater juga bisa juga begini loh. Low profile. Sebab dengan begitu, walaupun seorang anak muda yang ikut teater amatiran meski akhirnya berhenti, tapi setidaknya dia sudah mencicipi dan tahu. Paling enggak ketika dia menonton, dia bisa mengapresiasi, "oh ini yang namanya bagus, ini yang namanya kurang". 

Saya setuju semua yang diperjuangkan pendekar-pendekar teater itu. Tapi, bukan hanya itu kemungkinan orang berteater. Itu maksud saya. Apakah itu nggak penting? Penting. Tapi yang begini juga nggak kalah penting ya. Menjaga kesehatan mental daripada gila. Kan lebih baik menjalankan hobi.

Baca juga: Eksklusif Onno W. Purbo: Sumber Daya Manusia Jadi Elemen Penting Menangkal Serangan Siber

Momen tersebut untuk saat ini mungkin agak lebih ringan. Namun saat awal-awal Anda menekuni teater pasti perjuangannya lebih berat. Bagaimana Anda menyikapinya?

Nah, iya memang sulit. Terbenturnya di situ. Jadi grup saya namanya Teater STEMKA itu pentas terakhirnya tahun 1988. Saya mementaskan Yerma [karya Federico Garcia Lorca-red]. Setelah itu, nggak pentas lagi. Kenapa? Karena aku harus cari uang untuk keluargaku. Terutama karena itu sebenarnya.

Dan jeleknya waktu itu [anggota kelompok] bergantung ke aku. Cuma aku nggak ada teman lain yang bisa membantu, mengelola. Yaudah, saya bilang yaudah. Saya sekarang harus memikirkan keluarga dulu. Nah, untuk periku nasi, aku menerjemahkan buku, dan mengajar Bahasa Inggris di SMA Santo Thomas Yogyakarta.

Sejak kapan Anda masuk ke industri film?
 
Aku masuk ke film itu tahun 1998. Yaitu saat masuk di filmnya Garin judulnya Daun di Atas Bantal. Aku jadi pacarnya Christine Hakim. Dulu tuh aku sebenarnya nggak suka main film.

Kenapa Pak? 

Dulu film itu kerjaan orang Jakarta kan. Kadang-kadang syutingnya di daerah. Cari pemain daerah. Pemain ekstra atau pemain pendukung. Dulu zamannya organisasi tunggal namanya Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI). Jadi kalau orang Jakarta bikin film, di Jogja misalnya perlu pemain, harus lewat PARFI.

Yang saya tidak mau karena bakal ada uang ke lembaga. Entah resmi entah nggak. Dipotong-potong kayak gitu. Banyak teman-teman yang ikut tapi saya nggak mau. Ya kali ya bilang gitu. Lama saya nggak suka film. Karena saya merasa film itu kerjaannya director. Yang menentukan hasil akhir kan mereka kan, yang ngedit dan yang lain.

Apalagi kalau dibandingkan dengan sarana-sarananya dibandingkan dengan anggarannya. Anggaran untuk manusia. Kalau manusianya di film kan jauh lebih kecil. Daripada anggaran untuk alat. Dari situ sebetulnya sudah kelihatan. Duit-duit dari situ. Tapi saya nggak pernah benar-benar bisa masuk ke situ. Karena kadung seneng nyari-nyari di teater. 

Kalau Anda sekarang melihat lanskap teater Indonesia seperti apa? Apakah itu sudah berubah? Atau kesamarataan antara aktor dan sutradara itu sudah secair apa sekarang? Waktu itu kan mungkin agak berbeda. 

Sekarang memang itu belum banyak berubah. Jadi tetap ada tokoh. Keunggulan tokoh utama. Dalam tanda petik menentukan segala-galanya. Tetapi kalau kita melihat misalnya  Teater Garasi sudah mulailah itu. Jadi ada distribusi kekuasaan, ada distribusi pengaruh. Jadi sudah mulai juga itu. Tidak lagi di tangan satu orang. 
 
Aktor Landung Simatupang saat gladi resik pementasan pada Senin, (12/8/24) (sumber gambar: Salihara/Witjak Widhi Cahya)
Paling tidak kalau secara teknis ya. Sekarang sudah ada misalnya yang namanya kesadaran tentang stage management. Manajer panggung. Yang di zaman dulu, di zaman saya tahun 70-an itu nggak ada. Semuanya itu sutradara yang menentukan. Sampai ke hari pementasan. 

Kalau sekarang kan sudah banyak grup tidak melakukannya. Itu bukan tugas sutradara lagi. Sekarang tugasnya stage manager. Untuk mengelola segalanya. Bahkan kalau perlu dia bisa memerintah sutradara atau melarang sutradara. Jangan dulu mas. Dia sudah begini-begini.Lighting-nya sudah begitu mas. 

Yang dulu nggak bisa kayak gitu. Dulu satu orang sutradara itu... Wah, bisa marah-marah kalau gitu. Ini... Stock sudah mulai kelihatan. Walaupun secara garis besar. Ya, masih, penentunya masih. Apa yang namanya... Kepala suku kelompok itu belum-belum... Belum terlalu... Dibagi rata secara profesional. 

Kalau pengalaman saya di... Black Swan Theatre Company misalnya. Itu sudah jelas sekali. Perbedaannya. Stage manager itu... Ini kerjaannya. Pernah kami latihan... Berlatih... Akhir. Latihan akhir. Sudah di gedung teaternya. Berlatih. Masih tengah-tengah latihan. Tiba-tiba listrik dimatikan. Di gedung pertunjukan itu.

Sutradaranya marah. Teriak. "What happened?" Terus stage manager yang jawab. "No time left". Sudah habis waktunya. Kamu enggak bilang kalau ada latihan sampai segini. Lebih dari ini. Enggak ada uang lembur. Pemikirannya sudah begitu. Enggak ada uang lembur. 

Kalau pemain-pemain kamu suruh latihan lagi sampai itu. Itu harus ada uang lembur. Kamu harus mengajukan anggarannya lebih dulu. Profesionalis banget. Kita enggak sampai ke tingkat itu. Ya sudah. Jadi itu yang saya maksud tadi. 

Baca juga: Eksklusif Dana Maulana: Kreatif di Balik Desain dan Pelopor Streetwear Danjyo Hiyoji

Sutradara itu bukan penguasa tunggal. Kepala suku grup teater itu bukan menentukan segala-galanya. Di sini masih sering berlangsung seperti itu. Jadi seorang yang menentukan hitam putihnya. Menentukan sampai ke detail-detail proses. 

Kalau di sana, sutradara selama sebulan pertunjukan ini nggak nongol sama sekali. Paling di green room gitu. Selesai pentas gitu di ruang istirahatnya pemain. Dia nongol sebentar. Nyalamin. "Well done". Enggak nongol sama sekali. Ora ono urusane. Itu sudah tugas stage manager.

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

Jepang Tetap Waspada Meski Peringatan Megaquake Palung Nankai Dicabut

BERIKUTNYA

Daftar Harga Tiket Fancon Red Velvet Happiness: My Dear Reve1uv in Asia di Jakarta

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: